Transparency International (TI) melakukan survei terhadap 180 negara terkait persepsi publik terhadap korupsi pada jabatan publik. Dalam laporan Corruption Perception Index (CPI) 2023, Indonesia mendapatkan skor 34 dari 100. Skor tersebut sama seperti tahun sebelumnya tetapi peringkatnya merosot dari 110 menjadi 115 dibandingkan dengan seluruh negara yang diteliti oleh TI.
Persepsi publik yang kurang baik ini tentu bukan tanpa alasan, melihat sejarah beberapa rezim yang pernah berkuasa, korupsi tidak pernah terselesaikan dengan baik. Memang, sifat korupsi tak pandang bulu menginfeksi siapa saja dan juga di mana saja.
Mengutip kata Lord Acton, “kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut”.
Sialnya, Kampus Merah pun pernah diterpa dengan kasus korupsi, tepatnya di Sekolah Pascasarjana. Kasus korupsi yang terjadi pada 2005 silam melibatkan petinggi Pascasarjana yakni bendahara, pimpinan sub proyek, dan seorang staf.
Laporan identitas edisi Februari 2005 menyebutkan kasus korupsi ini adalah temuan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan. Korupsinya berbentuk penggelapan dana penelitian mahasiswa Pascasarjana senilai 1,8 miliar rupiah. Dana tersebut seharusnya diberikan kepada mahasiswa tetapi malahan dipindahkan ke rekening pribadi pelaku.
Penggelapan dana itu terindikasi telah dilakukan sejak 1999 hingga 2002. Kasus ini kemudian menyeret Rektor dan Direktur Pascasarjana untuk bersaksi di Kejati. “Mereka akan jadi saksi,” tutur Kepala Kejati, HM Prasetyo kala itu.
Kasus korupsi Pascasarjana Universitas Hasanuddin (Unhas) menjadi pembicaraan terpanas di kancah nasional sekaligus kembali melambungkan nama kampus merah dengan sesuatu yang menyedihkan.
Perhatian banyak pihak tertuju ke Unhas dan juga memanen kritik dari berbagai pihak. Pasalnya kala itu Unhas belum memiliki badan audit permanennya sendiri. Biasanya Unhas membentuk badan audit sementara untuk menyelesaikan masalah, salah satunya kasus Pascasarjana.
“Ia muncul kalau ada kericuhan. Setelah menjalankan tugas kiprahnya pun berakhir,” ucap Drs Alimuddin M MAk, salah seorang anggota badan audit pada kasus yang berbeda sekaligus dosen Akuntansi FEB.
Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Anti Corruption Committee kala itu, Abraham Samad SH MH menuturkan kasus korupsi di Kampus umumnya sulit diusut, utamanya karena informasi-informasi yang sulit untuk diakses.
Dimana, saat itu Unhas setiap tahun diperiksa oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sesuai dengan pemaparan Kepala Biro Administrasi Keuangan Unhas, H Massepeary SH.
Berita identitas edisi April 2005 mencatatkan setelah menjalani pemeriksaan dan penyidikan oleh Kejati, berujung pada penahanan Pimpinan Sub Proyek Pascasarjana, Syahruddin Kadir. Tetapi, kedua tersangka lain belum ditahan karena pemeriksaan dilakukan terbatas satu orang pada satu waktu.
Tetapi suara sumbang terdengar dari Rektorat. Rektor Unhas melayangkan surat permohonan penangguhan penahanan Syahrudin ke Kejati. Namun, permohonan itu tidak dikabulkan oleh Kejati.
Kasus korupsi yang menimpa Pascasarjana belum menemukan titik terang, ia menghilang begitu saja.
Lahirnya Satuan Pengawas Internal (SPI)
Setahun berselang atau pada 2006, Unhas berbenah dengan membentuk satuan pengawasan internal keuangan dan pelaksanaan pendidikan dengan dibentuknya Unit Pengawasan Internal (UPI) melalui Surat Keputusan (SK) Rektor Unhas No. 610/J04/O/2006. UPI kemudian berubah nama menjadi Lembaga Satuan Pengawas Internal (SPI) pada 2016 hingga sekarang.
SPI berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Rektor, dan memiliki beberapa fungsi penting seperti penyusunan program pengawasan, pengawasan kebijakan, program dan investigasi potensi pelanggaran peraturan bidang SDM, keuangan, dan aset, dan berbagai fungsi lainnya yang kemudian menjamin pelaksanaan berbagai hal di Unhas agar tetap sesuai dengan koridornya masing-masing.
Kasus korupsi yang kemudian memicu terbentuknya SPI ini dapat menjadi pelajaran. Seperti kata pepatah, lebih baik mencegah daripada mengobati. Usaha-usaha pencegahan agar kasus yang merugikan negara sekaligus civitas academica ini sebaiknya menjadi prioritas sehingga korupsi tidak terjadi. Oleh karena itu dibutuhkan peran dari berbagai pihak, baik itu SPI hingga mahasiswa Unhas sendiri.
SPI bekerja dengan serius menyusun mekanisme pengawasan yang baik sedangkan mahasiswa harus menanamkan sikap anti korupsi sejak di bangku kuliah, sehingga di masa yang akan datang diharapkan dapat menolak terlibat dalam segala bentuk korupsi.
Cukup sudah kasus yang terjadi di Pascasarjana mencoreng Unhas, semoga tidak ada lagi kasus serupa.
M Ridwan