Tahun 1978 merupakan era kepemimpinan Presiden Soeharto. Di masa itu, pemerintah Indonesia membangun sebuah lembaga pemberdayaan perempuan. Lembaga yang dibangun untuk menjalankan tugas sesuai pedoman pembangun nasional dengan istilah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Salah satu fokus utama dari delapan jalur tersebut adalah pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khusunya bagi generasi muda dan kaum wanita.
Munculnya pedoman pembangunan nasional ini menjadi cikal bakal dilantiknya menteri muda. Di mana Presiden Soeharto memilih dan melantik Lasiyah Sutano sebagai Menteri Muda Urusan Peranan Wanita (Meneg UPW). Munculnya kementerian yang membidangi ‘urusan wanita’ ini merupakan awal kisah menarik bagi pengabdian sosok perempuan kelahiran Jakarta dalam dunia perjuangan anak dan perempuan. Ia adalah Anindyati Sulasikin Murpratomo menggantikan Lasiyah Soetanto Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada 1983 hingga 1987 dalam Kabinet Pembangunan IV.
Sosok perempuan cantik ini dilahirkan dan diberi nama Sulasikin Mupratomo pada tanggal 18 April 1927. Anak dari pejabat Kementerian Agama, tumbuh menjadi perempuan yang patuh pada kedua orang tua. Memiliki cita-cita kuliah hukum dan menjadi Meester in de Rechten (gelar yang diperoleh setelah menyelesaikan studi pada sebuah universitas yang berlaku di Belanda dan Belgia). Sayangnya, mimpi tersebut harus ditepis, lantaran ayahnnya berkeinginan untuk menjadikan Sulasiki seorang guru.
Setelah tamat dari Frobel Kweekschool (jenjang pendidikan resmi untuk menjadi guru masa itu), kedua orang tuanya yaitu R Hadrodipuro dan Rd Nganten Iskiatin mendorong Sulasikin agar menikah dengan R Moepratomo. Sifat Sulasikin yang memiliki kepatuhan kuat pada orang tuanya hanya dapat menerima pernikahan. Hingga ayahnya meninggal pada tahun 1948, kehidupan Sulasikin berubah. Ibu, kakak dan empat adiknya turut tinggal bersama di kediaman Sulasikin.
Pada saat itu, Sulasikin ingin menggapai mimpi lamanya untuk berkuliah dan menjadi seorang sarjana. Ia kemudian kembali lanjut di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) jurusan Sastra Inggris. Tahun 1952 menjadi awal perjalanannya di dunia perjuangan perempuan. Turut andil dalam Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) Ranting Senen dan bergabung dalam golongan karya (Golkar, kala itu belum dapat dikatakan sebagai partai).
Setelah bergabung di Golkar, Sulasikin menjadi salah seorang kepercayaan Presiden Soeharto dan diberi mandat menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanti (Meneg UPW). Inilah yang menjadi titik bali kehidupan Sulasikin. Mulai berkarier dan menjadi tokoh penting bagi perempuan Indonesia maupun di bidang pendidikan.
Menilik kisah pencapainnya tersebut, Sulasikin juga pernah bekerja di Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk anak, khususnya dalam lembaga UNICEF. Bergabungnya dalam lembaga ini, membuat Sulasikin terlatih dari berbagai aspek. Mulai dari pembuatan perencanaan, anggaran, evaluasi, hingga pemantauan. Bermodalkan ilmu tersebut, Sulasikin akhirnya mampu memahami konsep birokarsi.
Meski demikian, kisah perjuangan Sulasikin tak semulus yang dikira. Bahkan diawal pengangkatanya sebagai menteri, banyak pihak yang kontra dengannya. “Ketika saya diangkat menjadi Menteri UPW, ada juga yang meragukan pengetahuan saya mengenai birokrasi, saya diam saja, kemudian baru mereka mengakui,” jelasnya, dilansir dari Kepustakaan Presiden Perpusnas.
Memiliki tekad yang kuat membuanya terus berkiprah dalam dunia tersebut, hingga menunjukkan prestasi dengan mendirikan Pusat Studi Wanita (PSW), sebuah lembaga yang menjadi tunas Pusat Studi Wanita di berbagai perguraan tinggi di seluruh Indonesia.
Berbekal pengalamanya di UNICEF mengenai analisis data, Sulasikin memiliki cara tersendiri untuk berkomunikasi dan melaporkan kinerjanya kepada kepala negara kala itu. Ia sajikan data kepada presiden dan langsung berbicara kepadanya. Berbeda dengan menteri lainnya yang harus konsultasi terlebih dulu dengan pihak lainnya. Bahkan riset yang Sulasikin lakukan bukan hal enteng, sebagian besar membahas mengenai ketertinggalan perempuan pada eranya, yang notabene kala itu masih didominasi oleh lelaki.
Tak hanya itu, Sulasikin memiliki strategi tersendiri saat menjabat sebagai menteri. Misalnya dengan merangkul para penjabat yang memiliki kedudukan untuk mengambil keputusan agar dapat membantunya, di antaranya Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Departemen Keuangan.
Sibuk sebagai menteri tak membuat Sulasikin melupakan kepeduliannya kepada sesama. Ia selalu menyempatkan waktu untuk mengurus organisasi sosial kemasyarakatan. Salah satunya adalah Yayasan Amal Bakti Ibu (YABI) yang ia dirikan bersama teman-temanya.
Banyaknya fenomena kekerasan di ruang publik dengan alasan etnis, ras, suku dan agama menjadi latar belakang terbentuknya organisasi tersebut. YABI sendiri memilih konsep khusus dalam menciptakan suasana yang cocok untuk mengajarkan budaya kepada anak-anak usia taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD).
Tak hanya mengajarkan budaya, YABI juga melatih guru TK, SD, pesantren dan bahkan ibu-ibu untuk mendidik murid dan anaknya mengenai konsep hidup damai antar suku, etnis, agama, lapisan sosial, cinta tanah air, kebersamaan, dan tolong menolong. Berkat kerja keras dan dedikasi Sulasikin, kini YABI telah berada di delapan provinsi dan bekerja sama Departmen Pendidikan Nasional untuk melatih ribuan guru, berdasarkan Kepustakaan Presiden Perpusnas.
Sayangnya, sosok teladan ini telah berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 23 Januari 2019 lalu. Dilansir dari Kepustakaan Presiden Perpusnas, Sulasikin mengucap “Saya tidak pernah menyerah, bila sudah saya putuskan, akan saya usahakan sampai berhasil.”
Reporter : Muhammad Alif M.
Editor : Wandi Janwar