“Belajar tidak mengenal tempat, waktu, maupun usia karena tidak pernah ada kata terlambat untuk belajar.”
Kalimat itu dibuktikan oleh Dosen Teknik Elektro Unhas, Dr Ir H Rhiza S Sadjad MSEE, yang kembali mendaftar sebagai mahasiswa Strata 1 (S1) setelah pensiun menjadi tenaga pengajar di Unhas.
Rhiza telah mengabdikan hidupnya sebagai tenaga pendidik di Universitas Hasanuddin selama 40 tahun. Dosen kelahiran bogor ini, awalnya menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB), dengan mengambil program studi teknik elektro. Setelah lulus pada tahun 1981, Rhiza melamar sebagai tenaga pengajar di Universitas Hasanuddin. Walau sempat terkendala karena berlatar belakang aktivis, Rhiza berhasil menjadi dosen Unhas dengan bantuan Prof Amiruddin rektor Unhas kala itu.
Kemudian pada tahun 1987, Rhiza mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S2 dan S3 di University of Wisconsin Madison, WI, USA dengan mengambil studi Automatic Control Systems. Setelah menyelesaikan studinya, Rhiza kembali bekerja sebagai tenaga pengajar di Fakultas Teknik Unhas dan mengabdikan diri selama kurang lebih 40 tahun. Menjelang hari-hari menuju masa purna baktinya, Rhiza tergerak untuk kembali melanjutkan pendidikan demi menggapai cita-citanya yang sempat tertunda. Berawal dari obrolan dengan rekan sesama tenaga pendidik Unhas, Prof Mustari di Facebook, Rhiza mulai merencanakan perwujudan mimpi masa kecilnya.
“Tanggal 1 Oktober saya sudah purna bakti, kemudian Prof Mustari mengatakan kepada Saya bahwa berhenti jadi ASN tapi jangan berhenti jadi guru. Percakapan itu membuat Saya CLBK, cita-cita lama belum kesampaian,” ucap Rhiza tertawa.
Rhiza kemudian menceritakan, semasa kecilnya ia tumbuh di lingkungan tenaga pengajar. Ayahnya adalah seorang dosen di Institut Pertanian Bogor, dan Ibunya adalah seorang guru. Rhiza yang tumbuh melihat kedua orang tuanya merupakan seorang pengajar, membuat ia turut senang melakukan hal yang sama. Sedari kecil passion Rhiza menjadi seorang guru sudah terlihat dari kegiatan bermain sekolah-sekolahan bersama adik-adiknya.
Setelah masuk SMA, ia mendapati pelajaran sejarah sangat menarik bahkan sampai saat ini masih menjadi peminat sejarah. Kegemarannya akan pelajaran sejarah membuat Rhiza ingin menjadi seorang guru sejarah. Namun dalam perjalanan hidupnya, Rhiza jatuh pada jurusan Teknik Elektro di ITB karena ikut dengan pilihan mayoritas teman-temannya kala itu. Hal tersebut membuat Rhiza beralih menjadi dosen teknik dan justru semakin menjauh dari ilmu sejarah. Cita-cita yang tak sampai ini, membuat Rhiza mendaftarkan diri di Universitas Terbuka setelah pensiun di usianya yang ke 65 tahun.
Tidak hanya sampai disitu perjuangan Rhiza dalam meraih cita-citanya, nyatanya jurusan sejarah tidak tersedia di Universitas Terbuka, sehingga ia terpikirkan untuk mengambil ilmu pendidikan. Sayangnya, jika ingin mengambil ilmu pendidikan di Universitas Terbuka hanya diperuntukkan pada guru yang telah mengajar di sekolah dasar maupun menengah selama kurang lebih dua tahun.
Maka dari itu, ia kemudian mencari jurusan yang bisa menjadi batu loncatan untuknya agar bisa bisa masuk di bidang Pendidikan.
Menyiasati hal itu, karena ia juga tertarik bagaimana kecerdasan buatan atau Artificial intelligence (AI) mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat, Rhiza memilih bidang studi Sosiologi untuk didaftari. Ia pun melaksanakan masa orientasi mahasiswa di Universitas Terbuka dan sudah mulai mengerjakan modul-modul pembelajarannya. Walau sempat mengalami culture shock karena bidang keilmuan yang selama ini ia tekuni adalah bidang eksakta, Rhiza menanggapi dengan santai dan merasa lebih bersemangat lagi untuk belajar dari awal.
Meskipun mengambil bidang sosiologi, Rhiza berharap bidang yang dia ambil tetap dapat menjadi batu loncatan untuk mengajar sejarah untuk generasi kedepan. Besarnya keinginan Rhiza untuk mengajar sejarah didorong dengan realita yang amati bahwa dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah menengah menjadikan masa penjajahan sebelum kemerdekaan sebagai dasar sejarah, padahal sudah tidak relevan lagi di masa sekarang karena sudah tidak merasakan penjajahan. Walau sejarah ini yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebaiknya dibuatkan modul pembelajaran sejarah yang berbasis bukan pada masa lalu saja tapi juga pada masa depan. Berdasarkan literatur yang Rhiza baca, tiga buku karya sejarawan Israel Thomas Harari, History of The Past, History of The Future dan History of Today, ia menyimpulkan bahwa sejarah itu tidak hanya masa lalu, tapi ada masa kini dan masa depan.
“Sejarah itu sebetulnya seperti berkendara. Ketika berkendara yang harus difokuskan adalah melihat ke depan, hanya sekali-sekali saja melihat ke kaca spion. Sejarah juga seperti itu, kita harus fokus melihat ke masa depan, dan sesekali melihat ke masa lalu,” tambahnya.
Keinginan Rhiza untuk kembali berkuliah ini ditanggapi positif oleh keluarga. Istri dan anak-anak Rhiza merasa senang dengan adanya kegiatan ini, jika tidak ada kegiatan Rhiza mengatakan takut menjadi stress karena terbiasa bekerja.
Dalam penghujung wawancaranya, Rhiza mengungkapkan empat pilar pembelajaran yang selama ini ia pegang, yaitu Learn to know (belajar untuk mengetahui), Learn to do (belajar untuk melakukan) Learn to be, (belajar untuk menjadi), dan Learn to live together (belajar untuk hidup bersama).
“Saya pesankan ketika semangat belajar turun, maka carilah pengalihan suasana, salah satunya dengan berbisnis, namun tetap mengutamakan belajar. Saya juga mendaftar Universitas terbuka setelah pensiun untuk memulai hidup baru,” pungkasnya.
Yaslinda Utari Kasim