“Hujan emas di kampung orang, tapi saya lebih memilih kampung sendiri.”
Di kala hobi menjadi sebuah profesi, maka terciptalah keajaiban. Boleh dikata keajaiban itu telah tercipta dari kecintaan seorang akademisi ini terhadap bidang keilmuannya. Ia adalah Prof Dr Ir Andi Mappatoba Sila MSc, salah satu guru besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin (Unhas) paling berpengaruh dalam perkembangan ilmu pengetahuan lebah madu di Indonesia. Kecintaan Mappatoba pada keilmuan ini membuat julukan ‘Prof Lebah’ senantiasa terpatri padanya.
Mappatoba lahir pada 31 Desember 1944 di Sakkoli Kabupaten Wajo. Di kampung halamannya itu pula Mappatoba kecil menyelesaikan sekolah dasar. Karena profesi Ayahnya seorang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), mengharuskan keluarga mereka akhirnya berpindah-pindah domisili. Ia kemudian menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Bone, dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Negeri Makassar.
Sebagai lulusan sekolah pertanian, Mappatoba akhirnya meneruskan pendidikan dengan mengambil Jurusan Kehutanan di Fakultas Pertanian, Unhas. Pada masa itu, Fakultas Pertanian berafiliasi dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) membuka jurusan ini. Oleh karenanya, setelah menjadi sarjana muda, ia melanjutkan pendidikan ke IPB hingga selesai pada 1973.
Tak sampai disitu, untuk menimba ilmu lebih tentang hama hutan, Prof Lebah mengambil gelar master di negara Lumbung Padi, University of Philippines Los Baños. Tidak butuh waktu lama, 22 bulan kemudian dirinya telah menyandang gelar Master Of Science. Pendidikan S3 juga ditempuhnya pada universitas yang sama.
Sepulangnya dari menempuh pendidikan, tak henti-hentinya ia turun ke lapangan untuk melakukan penelitian. Bukan hanya karena tanggung jawab sebagai seorang akademisi, namun meneliti sudah bagian dari kegemarannya. Menurut asistennya, Dr Ir Budiaman MP, kehidupan pribadi Mappatoba telah menyatu dengan hobinya.
“Bahkan kalau kita ke lapangan 24 jam saya dampingi beliau. Dunianya di lapangan, berinteraksi dengan tanaman, dan lebah madu. Intinya beliau cinta gitu, cinta lingkungan, alam, dan serius sekali di lebah madu,” jelas Budiaman saat ditemui di Laboratorium Perlindungan dan Serangga Hutan, Fakultas Kehutanan Unhas, Kamis (6/4).
Hasil-hasil penelitian Mappatoba yang tekun dan konsisten di dunia perlebahan kemudian digunakan untuk pembinaan masyarakat di berbagai daerah. Mulai dari Sulawesi Selatan, Kalimantan, hingga Papua. Disamping itu, dengan melihat khasiatnya, lebah madu dikembangkannya bersama tim sampai industri pengolahan dan diversifikasi produk.
Mappatoba juga mendirikan badan usaha PT Masari Cipta Perkasa. Namun untuk mengabadikan namanya, pada 1999 timnya sepakat mengubah nama usaha menjadi PT Bee Toba Makassar.
Tidak berhenti disitu, Prof Lebah kemudian mengembangkan pengobatan terapi lebah (Apiterapi) di kampus Unhas. Tak disangka pasien membludak hingga 400 orang per hari, oleh karena itu dibuatlah klinik Apiterapi. Berangkat dari hal ini, salah satu keinginan Mappatoba akhirnya terealisasikan. Di mana pada 2005 ia berhasil mendirikan Rumah Sakit yang diberi nama RS Apiterapi 165. Namun sayang, karena masyarakat masih asing dengan pengobatan ini, RS Apiterapi 165 tidak berkembang baik. Bernasib beda dengan klinik Apiterapi yang lebih dulu didirikannya malah berkembang pesat hingga menjalar ke seluruh Indonesia. Bahkan klinik ini telah melahirkan 35 cabang dan masih beroperasi hingga saat ini.
Walaupun perkembangan bisnisnya bisa dikata sangat sukses, Prof Lebah yang dikenal dengan kesederhanaannya tidak ingin terlalu terlibat dalam dunia bisnis. Setelah mengusung ide, ia lebih banyak menyerahkan pada asisten dan timnya untuk mengembangkan, sedangkan dirinya tetap pada hobi menelitinya. Berkat hasil penelitian dan ilmunya, Mappatoba kerap kali menjadi pembicara internasional, mulai dari Arab Saudi, Korea Selatan, hingga menjadi profesor tamu langganan negeri Jiran, Malaysia.
Setelah pidato penerimaan jabatan guru besar tetap Fakultas Kehutanan pada 2007, dua tahun setelahnya Mappatoba mulai diundang sebagai profesor kunjungan dan menjadi pembicara langganan di Universiti Sains Malaysia (USM). Bermodal ilmu tentang lebah madu, ia menjadi pembicara hampir di setiap sudut Malaysia, mulai dari Johor, Shah Alam, Perak, Kedah, dan masih banyak daerah lainnya.
Bermil-mil perjalanan Mappatoba mengelilingi dunia untuk berbagi ilmu, ia senantiasa ditemani oleh Andi Maryam Munu, istrinya. Maryam menjadi saksi betapa dicarinya ilmu yang dimiliki sang Prof Lebah di berbagai penjuru dunia.
“Sampai bapak itu sebenarnya ditawari tinggal disana (Malaysia), diiming-imingi semua fasilitas tapi dia bilang hujan emas di kampung orang, tapi saya lebih memilih kampung saya sendiri,” ujar Maryam, Jumat (7/4).
Saking cintanya Mappatoba pada lebah dan keinginan besar memajukan kampung halamannya Kabupaten Wajo, ia membuat kelambu raksasa untuk memelihara lebah di sana. Karyanya yang dibuat karena rasa cinta itu, pada akhirnya berhasil mendapatkan piagam penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) atas rekor Pemrakarsa Pembuatan Kelambu (Tempat Pemeliharaan Lebah Madu Terbesar) pada 2012.
Seiring bertambahnya usia, kondisi fisik Mappatoba tak lagi mampu menampung berbagai komplikasi penyakit. Meski begitu ia masih terus beraktivitas dengan berbagi ilmu hingga ke negara tetangga, Malaysia. Namun sayang, setelah dua bulan sepulangnya dari Malaysia ditemani sang istri, ia menghembuskan nafas terakhir pada 11 April 2017. Walau sang Prof Lebah kini telah tiada, namun jasa dan pengabdiannya kepada negara senantiasa manis terkenang.
Yaslinda Utari Kasim