Bangunan itu tampak mulai menua, cat dinding yang berwarna biru muda mulai pudar. Sejumlah kamar mulai tak berpenghuni. Asrama mahasiswa, itulah nama bangunan itu. Asrama mahasiswa yang biasa disebut Ramsis itu berada di depan Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum. Lokasi yang cukup strategis karena mudah dijangkau oleh mahasiswa.
Menurut terbitan identitas edisi oktober 1976, Ramsis menjadi salah satu bagian dari perencanaan proyek kampus Unhas Tamalanrea. Kemudian resmi dihuni pada 17 november 1988. Ramsis kala itu dipersiapakan menjadi tepat tinggal mahasiswa. Fasilitas yang dipersiapkan juga sangat mumpuni, keamanannya terjamin, bahkan telah disiapkan Ibu Binatu yang siap mencuci dan menyetrika pakaiaan penghuni. Namun pengoprasiaan Ramsis secara resmi yang lebih profesional pada awal tahun akademik 1990/1991, tepatnya 1 juli 1990.
Kehidupan di Ramsis memiliki dinamika tersendiri. Seperti Ramsis unit I dan II yang dihuni oleh kaum adam. Tiap sabtu sore, kebanyakan dari mereka berangkat ke kota (saat itu, tahun 1990an Unhas Tamalanrea dianggap daerah terpencil) untuk sekedar melapas penat.
Unit ketiga diisi oleh kaum hawa. Di unit ini akan sering terlihat mahasiswi bercengkrama atau sedang meminum teh dengan tamu pria. Pada hari minggu juga sering diadakan kerja bakti, mereka memiliki motto “Ramsis indah, damai, dan cemerlang”. Tidak hanya itu, tiap sudut akan ditemukan slogan “Jangan buang sampah sembarangan”.
Jika sekarang penghuni Ramsis nyaris tidak bertegur sapa atau saling mengenal, hal itu sangat berbanding terbalik dengan masa lalu, medio 1990an hingga awal tahun 2000an. Pada terbitan identitas edisi akhir April 2002, diceritakan bahwa kala itu, penerimaan penghuni baru Ramsis tidak semudah saat ini, namun harus melewati sebuah ‘ritual’ tertentu: Ospek Ramsis (Opram) serta Pendidikan dan Latihan (Diklat).
Pada masa itu, Ramsis terdiri dari banyak blok, mulai dari RT ABCD dan RT EFGH. Tiap blok diketuai oleh seorang mahasiswa yang bergelar Ketua RT. Di RT EFGH, prosesi penerimaan calon penghuni baru disebut Opram (Ospek Ramsis). Terbitan identitas edisi akhir April 2002 menggambarkan prosesi itu:
“Sebelum masuk, persiapkan fisik dan mental anda, begitulah ungkapan untuk menggambarkan prosesi awal penerimaan warga baru di Ramsis” dikutip dari rubric civitas identitas edisi akhir April 2002.
Masih pada tulisan yang sama, di Opram, calon penghuni baru Ramsis itu mesti melewati tahap screening oleh senior yang telah lebih dulu tinggal di Ramsis. “Setelah lulus dalam screening dan dipertimbangkan untuk diterima sebagai warga baru, calon warga baru memiliki kewajiban membersihkan blok tersebut,” tulis Nursyamsi, reporter identitas kala itu.
Setelah itu, Opram belum selesai. Para penghuni baru juga wajib melayani seniornya, membersihkan area pekarangan, sampai membetulkan genteng yang bocor.
Di RT ABCD, prosesi penerimaan calon penghuni Ramsis bernama Diklat (Pendidikan dan Latihan). Ketua RT ABCD, Sabarudin menuturkan bahwa ‘ritual’ (prosesi penerimaan) ini berjalan hingga tiga bulan, “Lewat Diklat ini komunikasi warga baru dengan seniornya diharapkan lebih berjalan” ujarnya.
Adanya prosesi penerimaan ini membuat para penghuni atau warga Ramsis memiliki kedekatan emosional antar tetangga kamar. Setiap permasalahan diselesaikan bersama warga senior maupun warga baru.
Namun, walau begitu, para penghuni baru Ramsis kala itu kadang pula menerima sikap kurang bersahabat dari sang senior. “Senior tak segan melontari anak baru dengan kata-kata kotor jika dianggap lamban,” ujar Affir, salah satu warga baru Ramsis, saat itu, dikutip dari tulisan Nursyamsi di identitas edisi April 2002.
Terlepas dari hal itu, Ramsis tetap menjadi huniaan yang diminati masa itu. Walau begitu, Ramsis tetap memiliki segudang permasalahan. Seperti sejak awal berdirinya, kesulitan air memang menjadi permasalahan utama. Sehingga di medio 1990an hingga awal 2000an, di belakang Ramsis unit I, pada pagi atau sore hari kala itu, banyak mahasiswa menggunakan celana pendek berebutan air, di atas bak mandi berukuran 6×6 meter.
“Ini duka buat kami, tiap hari libur pasti air tidak mengalir, sementara kami tetap tinggal di sini, susah pengelola seperti tidak mau tahu,” tutur seorang warga ramsis kala itu.
Saat itu biaya huniaan Ramsis hanya 15 ribu per bulan, dengan biaya itu Ramsis masih jadi pilihan bagi para senior yang telah sarjana.
Masa itu, sejumlah masalah yang dihadapi Ramsis. Mulai dari pengelolaan yang tidak teratur, WC tidak terawat dan aliran air yang tidak jelas, dengan biaya per bulan itu langkah perbaikan juga tidak kunjung dilakukan.
Ramsis mulai menemukan titik terang pada tahun 2005, renovasi akan dilakukan. Kemudian pada tanggal 20 agustus 2006, keluar surat edaran mengosongkan Ramsis sehubungan dengan dilakukan renovasi besar-besaran. Tahun 2009, renovasi Ramsis telah rampung.
September 2009, keluar peraturan baru mengenai penggunaan Ramsis. Surat rektor No.2802/H4/P/2009 menyangkut aturan dan tata tertib Ramsis. Di saat itu pula, biaya kamar Ramsis mulai naik pembayaranya menjadi Rp. 1. 650. 000,- untuk jangka waktu 11 bulan. Selain itu, mahasiswa mulai dibebankan dengan biaya listrik untuk peralatan mahasiswa yang menggunakan aliran listrik seperti rice cooker.
Demikian cerita yang pernah terjadi di Ramsis, salah satu saksi bisu lahirnya para sarjana kampus merah.
Reporter: Norhafizah