Beberapa waktu lalu, saya duduk di sebuah aula kampus, menunggu kegiatan organisasi mahasiswa dimulai. Di depan, tergantung spanduk besar penuh warna, lengkap dengan jargon penyemangat dan deretan logo sponsor yang ukurannya hampir menyaingi nama acaranya sendiri.
Panitia sibuk berkeliling dengan seragam yang senada, memakai headset dan membawa clipboard seperti sedang menyiapkan konser besar. Semua tampak begitu rapi pencahayaan, proyektor, dan dekorasi disusun dengan sempurna hingga isi acara seolah menjadi hal yang sekunder. Saya pun bertanya dalam hati: apakah beginilah wajah organisasi mahasiswa hari ini?
Yang tampak di depan mata bukan lagi ruang belajar bersama atau wadah perjuangan ide, melainkan seolah sebuah event organizer dengan nama organisasi. Kini, eksistensi organisasi mahasiswa sering diukur dari seberapa sering mereka mengadakan seminar, lomba, festival, atau webinar yang ramai di media sosial. Jiwa aktivisme yang dulu menjadi napas pergerakan perlahan memudar, tergantikan oleh budaya seremoni yang terus direproduksi.
Dari Ruang Kritis ke Pabrik Kepanitiaan
Alih-alih menjadi tempat membangun kesadaran politik sosial, banyak organisasi mahasiswa kini berubah fungsi menjadi semacam “pabrik kepanitiaan.” Kita dilatih untuk mahir membuat proposal, menyusun jadwal acara, mencari sponsor, dan menulis laporan pertanggungjawaban.
Semua itu tentu bermanfaat untuk kemampuan manajerial, tetapi bila berhenti di situ saja, makna mendasar organisasi mahasiswa hilang: memperjuangkan suara mahasiswa, membuka ruang diskusi, dan mengasah kepekaan sosial terhadap persoalan di luar kampus.
Sebagian orang mungkin beralasan bahwa zaman telah berubah, mahasiswa tidak bisa disamakan dengan generasi sebelumnya. Benar, konteks sosial memang berbeda. Namun perubahan zaman bukan alasan untuk kehilangan sikap kritis.
Justru di era modern yang serba cepat ini, mahasiswa membutuhkan organisasi yang bukan hanya melatih keterampilan administratif, tetapi juga menumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab sosial-politik mereka.
Organisasi yang Terkontrol Birokrasi
Fenomena lain yang memperkuat perubahan ini adalah cara kampus menata kehidupan organisasinya. Segala kegiatan harus melewati prosedur panjang: proposal, izin, laporan, dokumentasi.
Di permukaan tampak tertib, tapi secara perlahan, mekanisme ini membuat organisasi menjadi jinak. Aktivitas yang dianggap aman seperti seminar, lomba, atau festival budaya mudah mendapat izin.
Sebaliknya, kegiatan yang bersifat kritis seperti diskusi politik, kajian isu masyarakat, atau aksi solidaritas seringkali dicurigai dan dibatasi. Tidak jarang ruang diskusi sulit didapat, surat izin dipersulit, atau kegiatan diberi label “mengganggu ketertiban.”
Akibatnya, banyak organisasi memilih bermain aman dan lebih nyaman mengurus acara seremonial ketimbang berhadapan dengan resistensi birokrasi. Aktivisme pun bergeser menjadi rutinitas kepanitiaan.
Mahasiswa yang Kehilangan Daya Juang
Kecenderungan ini membuat mahasiswa kehilangan ruang untuk berlatih memperjuangkan kepentingan kolektif. Mereka terbiasa menjadi panitia yang terampil namun kehilangan arah politik. Mahasiswa mahir menata kursi dan mengatur rundown, tapi lupa bertanya: untuk siapa kursi-kursi itu disusun?
Padahal, dari ruang-ruang organisasi inilah seharusnya mahasiswa belajar menyusun sikap, membaca situasi sosial, dan mengekspresikan pandangan politiknya. Pendidikan politik tidak hanya berlangsung di ruang kuliah, tetapi justru lahir dari dinamika organisasi yang kritis dan reflektif terhadap realitas sekitar.
Birokrasi yang Menjinakkan Imajinasi
Keterikatan organisasi pada sistem administrasi kampus membuatnya kehilangan daya kritis. Banyak mahasiswa yang awalnya tertarik karena semangat intelektual dan sosial, akhirnya lelah dengan tumpukan surat, tanda tangan pejabat, dan urusan sponsor. Aktivisme yang seharusnya lahir dari keprihatinan, berubah menjadi rutinitas yang didorong oleh kewajiban formal.
Lambat laun, organisasi mahasiswa kehilangan imajinasi tentang peran transformatifnya. Mereka tak lagi berani membayangkan kampus yang lebih demokratis atau masyarakat yang lebih adil. Kepuasan berhenti pada dokumentasi rapi, jumlah likes di Instagram, dan sertifikat kepanitiaan yang mempercantik portofolio.
Harapan yang Masih Menyala
Meski begitu, saya masih percaya ada api kecil yang belum padam. Masih ada kelompok mahasiswa yang memilih jalannya sendiri, berdiskusi di kantin, membuat kajian sederhana, menulis refleksi kritis di media kecil, atau sekadar berbagi keresahan tanpa panggung besar. Aktivisme mungkin tidak lagi ramai di aula, tapi ia tetap hidup dalam bentuk yang sederhana, jujur, dan tulus.
Organisasi mahasiswa masih punya peluang untuk menemukan kembali jati dirinya, asal berani keluar dari jebakan seremonial dan kembali menumbuhkan kesadaran kolektif. Memang tidak mudah, apalagi dengan tekanan birokrasi yang kuat, tetapi tanpa keberanian itu, organisasi mahasiswa hanya akan menjadi EO intelektual tanpa substansi.
Menata Kursi, Menata Arah
Ketika saya mengingat kembali deretan kursi plastik di aula itu, pertanyaan lama muncul kembali: untuk siapa kursi-kursi itu disusun dengan rapi? Organisasi mahasiswa seharusnya bukan hanya tempat menata kursi, melainkan ruang untuk menata arah dan masa depan. Jika kepuasan kita berhenti pada kemeriahan acara, maka kita sudah kehilangan sesuatu yang lebih penting: keberanian untuk berpikir kritis dan menjadi bermakna di luar panggung itu sendiri.
Martunas Dosniroha Munthe
Mahasiswa Departemen Ilmu Pemerintahan, FISIP Unhas
Angkatan 2021
