Rumata’, rumah kebudayaan yang menyelenggarakan segala kegiatan dengan semangat kesukarelawanan.
Rumah tanpa sekat individu dan lembaga, di mana seseorang maupun kelompok bebas beraktivitas dan berkreasi, menjadi tempat berbagi dan menjalin kolaborasi. Itulah kalimat yang terbentuk di kepala saya ketika berbincang dengan Manajer Administrasi Rumata’, Ita Ibnu tentang Rumata’ Artspace. Tempat yang berlokasi di Jl Bontonompo No.12A, Gunung Sari, Tamalate, Makassar ini diinisiasi oleh Mohammad Rivai Riza atau yang lebih dikenal dengan Riri Riza bersama sahabatnya Lili Yulianti Farid.
Siapa yang tak kenal dengan sosok Riri Riza, seorang sutradara film terkenal yang berhasil memenangkan enam penghargaan di Festival Film Indonesia, termasuk penghargaan Film Terbaik. Lulusan Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta ini mendapatkan gelar master di royal Holloway, University of London.
Sedangkan Lili, alumni Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin yang mendapatkan gelar masternya dalam bidang Gender dan Pembangunan di University of Melbourne, Australia. Lili memang gemar menulis sejak kecil dan memulai karir kepenulisannya di Penerbitan Kampus identitas Unhas, kemudian melanjutkan karir sebagai wartawan di Harian Kompas hingga menjadi produser Radio Jepang NHK World, Tokyo.
“Dua orang sahabat ini lahir dan besar di Makassar. Meski sempat berpisah untuk mengejar cita-cita masing-masing, keduanya pernah berjanji akan kembali ke kampung halaman dan ikut andil dalam pengembangan intelektual dan kebudayaan,” kata Ita.
Rumata’ Artspace adalah wujud nyata dari janji mereka. Sekarang mereka tidak menetap di Makassar, tetapi kegiatan Rumata’ Artspace masih terus berjalan. Di atas lahan 900 meter persegi itu terdapat berbagai fasilitas berupa galeri, ruang kegiatan, ruang kerja dan halaman belakang.
Galeri Rumata’ biasanya dijadikan sebagai tempat pameran fotografi, karya senirupa dan pertunjukkan film yang bisa memuat 50 orang penonton. Sementara halaman belakang dijadikan sebagai tempat diskusi, menggelar event dan juga screening film dengan kapasitas yang lebih banyak. Rumata’ juga sering dijadikan sebagai tempat residensi. Di tahun 2018 lalu, Rumata’ dijadikan tempat residensi pertukaran seniman antara seniman Aborigin dan seniman Makassar.
Sejak diresmikan 18 Februari 2011, hingga kini Rumata’ tetap beroperasi dengan mendapatkan dana bantuan dari publik. Dana tersebut diperoleh dengan cara penggalangan dana ataupun donasi langsung dari para donatur yang memberikan kepercayaan kepada Rumata’. Dana yang didapatkan digunakan untuk menunjang segala aktivitas di Rumata’.
Rumata’ sendiri memiliki dua program besar yaitu Makassar International Writer Festival (MIWF) dan Makassar-South East Asian Academy atau SEAScreen. MIWF merupakan kegiatan yang lebih fokus dalam bidang kepenulisan yang mulai digelar sejak 2011 lalu. Pada tahun 2016, MIWF mencatat ada delapan ribu pengunjung dengan seratus lebih narasumber yang berasal dari berbagai kota dan negara. Sementara SEAScreen fokus dalam bidang perfilman. Di SEAScreen orang-orang bisa belajar membuat film dari pengajar-pengajar terbaik yang berasal dari Asia Tenggara dan negara lainnya.
Berbagai program reguler juga sering diadakan di Rumata’. Program tersebut biasanya berasal dari kerja sama dengan komunitas maupun lembaga atau organisasi. Adapun kegiatannya berupa pemutaran film, diskusi, kelas dongeng anak, pementasan musik, beasiswa seni dan budaya bagi mahasiswa asing serta kegiatan-kegiatan lainnya.
Yang tak kalah menarik, orang-orang yang membantu pekerjaan di Rumata’ bekerja atas dasar kesukarelawanan. “Semua program-programnya Rumata’ itu dikelola oleh anak-anak mahasiswa maupun profesional dengan sistem relawan,” ucap Ita kepada identitas.
Di Rumata’ mereka ditawarkan sebuah pekerjaan yang tidak bisa dinilai dengan uang. Namun, bagaimana mereka bisa memberikan manfaat kepada banyak orang melalui pekerjaan tersebut. Para relawan bisa saling bekerja sama, saling berkolaborasi dalam mengembangkan dan menyukseskan kegiatan di Rumata’.
Ita mengaku awalnya memang sulit untuk merangkul dan mendapatkan kepercayaan dari para relawan. Mereka harus melepaskan ego masing-masing dan menyatukan pikiran di dalam Rumata’. Jumlah relawan yang diterima juga tergantung dari kapasitas kegiatan masing-masing.
Tak lupa, demi menjaga kelestarian lingkungan, Rumata’ menerapkan kebiasaan mengolah sampah secara mandiri. Rumata’ mengedukasi orang-orang yang beraktivitas dan berkegiatan di sana untuk bertanggung jawab terhadap sampahnya sendiri. “Rumata’ memilki inkubator dan tim zero waste untuk mengolah sampah. Sampah organik akan diolah menjadi kompos dan sampah plastik disulap menjadi ecobrick,” jelasnya.
Tahun ini Rumata’ mulai membuka kelas berbayar bernama Kelas Baik. Kelas ini diharapkan mampu menjawab permasalahan dari masyarakat.
Fatimah Thussara