Dalam melanggengkan usahanya, para pemilik warkop menjalin hubungan dengan media massa. Kiat bertahan menjadikan ruang publik sarat kepentingan.
Muda mudi memang gemar pergi ke warung kopi (warkop), kadang kala ada yang menyambangi lebih dari sekali dalam sehari. Tidak mengherangkan warkop menjadi salah satu tempat yang mudah ditemukan dan paling ramai dikunjungi dari siang hingga malam, bahkan sampai dini hari.
Menjamurnya warkop di penjuru-penjuru kota, menjadikan salah satu kota terbesar di Indonesia, yakni Kota Makassar sering disebut “Kota Seribu Warkop.” Selain ngopi, nongkrong, ngobrol hal receh, kadang warkop jadi tempat ngumpul untuk jumpa pers, rapat konsolidasi, seminar, diskusi politik dan lain-lainnya.
Tak jarang warkop yang merupakan ruang publik ditunggangi kepentingan dari kelompok tertentu, misal partai politik dan media massa. Rupanya fenomena warkop, menarik perhatian Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Dr Andi Faisal S S M Hum, untuk terjun langsung melakukan penelitian, dengan judul riset “Warung Kopi, Media dan Konstruksi Ruang Publik di Makassar.”
Saat ditemui di ruangnya, Kamis (9/6/2021), dosen Sastra Prancis ini bercerita, penelitiannya dilakukan untuk mengungkap praktik relasi kuasa yang membentuk realitas ruang publik di warkop Makassar. Riset yang dilakukan mengacu pada publik space sebagai ruang yang mengindiksikan tempat hanya sebagai latar atau lokasi pertemuan, dan public sphere yang menurut Harbermas adalah ruang yang meliputi wilayah interaksi opini-opini masyarakat bisa terbentuk.
Lebih lanjut, untuk memudahkan dalam mengumpulkan data penelitian, peneliti menggunakan metode etnografi dan pendekatan analisis kajian budaya sebagai acuan utama metode penelitian.
Menyambangi beberapa lokasi warkop menjadi rutinitasnya dalam meneliti, seperti Warkop Poenam, Dottoro (Dg. Naba), Daeng Anas, Hai Hong, Tong San, Safari, Kumala, Sahabat, dan Lagaligo. Tak berhenti di situ, Ical melanjutkan penyelidikannya di café-cafe seperti Starbucks, Coffee Bean, dan Exelso.
“Mendatangi lokasi penelitian secara bertahap, hari pertama Warkop Poenam, hari kedua dan ketiga beda warkop lagi,” ujar Ical.
Pria kelahiran Pare-pare 1973 ini mengatakan warkop dimanfaatkan oleh media seperti radio Merkurius FM, Fajar FM dan Tribun sebagai ladang informasi. Adanya perubahan Orde Baru ke Reformasi jadi bagian dari faktor utama maraknya media massa dan radio berkegiatan di warkop.
“Masa orde baru media massa digaji pemerintah, namun setelah reformasi semua media massa tidak dibiayai lagi oleh pemerintah, maka mereka harus menghidupi dirinya untuk survive,” tambahnya.
Menurut Ical, radio Merkurius maupun Fajar FM menciptakan talkshow yang kebanyakan persoalan politik terutama mendekati pemilihan kepala daerah. ”Contohnya, 2004 diselenggarakan pemilihan anggota DPR, membahas soal siapa kandidatnya, kriteriannya seperti apa di warkop,” jelanya.
Salah satu warkop yang menjadi langganan diskusi publik berada di Hertasning. Di mana Ical turut mendapati, kedekatan antar media dengan tokoh publik dan pemilik warung kopi menjadi semacam hubungan simbiosis mutualisme.
“Media butuh survive, di samping pengusaha, tokoh atau elit, pembicara-pembicara publik, butuh nama atau citra. Sehingga, semakin banyak yang minum kopi sambil ngobrol berimbas pada meningkatnya pemasukan warkop, ” terangnya.
Seperti yang dikutip dari hasil penelitiannya, media massa dalam hal ini jurnalis “menegosiasikan” ruang publik untuk kepentingan ekonomi politik media dan pribadi. Kemudian dalam meningkatkan hasil penjualan dan citra sebagai warkop yang dominan, pemilik warkop menegosiasikan baik ke media, jurnalis maupun pengguna fasilitas publik lainnya, di mana warkop ingin eksistensinya meningkat, sisi lain, mengalami komersialisasi sebagai dampak dari persaingan antar warkop.
Sayang, keadaan ini belum mencerminkan bentuk ruang publik yang ideal. Masih banyak praktik kuasa seperti simbiosis yang terjalin, opini-opini publik yang terbentuk belum murni hasil pembicaraan semua golongan masyarakat, dari tidak dijangkaunya masyarakat miskin.
“Ruang publik itu sejatinya harus steril dari kepentingan-kepentingan kekuasaan, syaratnya, mereka harus jadi milik masyarakat, bagaimana supaya tukang becak memiliki hak yang sama di warkop atau bebas menyampaikan pendapat. Nah, ruang publik harus jadi kekuatan penyeimbang antara pemerintah dengan masyarakat.”
Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat belum mampu menjangkau pembicaraan di warkop, Ical beralasan biaya menjadi persoalan. “Starbucks, yang harganya 50-an akan sulit dicapai oleh tukang becak yang penghasilannya tidak seberapa,” katanya.
Namun begitu warkop dan apapun namanya menjadi ruang interaksi sosial politik. Bahkan telah mengalami politisasi ruang untuk kepentingan masing-masing pihak. Maka untuk mencapai bentuk ideal, Ical menyarankan agar fungsi ruang publik sebagai latar dan wilayah interaksi (public sphere) harus digabungkan menjadi satu.
Kendati demikian, mengingat tak ada kendala berarti yang dihadapinya selama meneliti. Dosen Sastra Prancis ini pun berharap nantinya masih diberi kesempatan untuk meneliti persoalan ruang publik lagi, terutama hubungannya dengan gender. “Seberapa banyak perempuan yang ngopi di warkop tradisional ketimbang warkop modern, apa sebab dan pengaruhnya,” harapnya.
Reporter : Oktafialni Rumengan