Sam Ratulangi ialah salah satu pahlawan nasional yang terukir dalam lembaran sejarah Indonesia. Ia merupakan politikus, jurnalis, guru, dan tokoh penting di balik kemerdekaan dan kemajuan pendidikan Indonesia. Di momen istimewa Hari Pahlawan ini, nama Sam Ratulangi kembali dikenang sebagai pembawa panji-panji kemerdekaan hingga ke Pulau Sulawesi.
Dr Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau lebih dikenal Sam Ratulangi lahir di Tondano, Sulawesi Utara pada 5 November 1890. Ratulangi berasal dari keluarga Aristokrat Minahasa dan sejak kecil telah terpapar dengan nilai-nilai pendidikan. Ia menempuh pendidikan doktor Ilmu Pasti Universitas Zurich pada 1919 dan menjadi salah satu sarjana pertama di Indonesia.
Ratulangi dikenal sebagai sosok yang memadukan ilmu pengetahuan dengan kecintaannya terhadap tanah air. Filosofinya yang terkenal, “Si Tou Timou Tumou Tou” atau “Manusia hidup untuk memanusiakan orang lain,” mencerminkan keyakinannya akan pentingnya pendidikan dan pembangunan manusia sebagai jalan menuju kemerdekaan sejati. Pandangan ini pun menjadi dasar bagi banyak pemikiran dan tindakannya di masa pergerakan nasional.
Pada 1927, Ratulangi menjadi anggota Dewan Rakyat Hindia Belanda (Volksraad). Lembaga ini berfungsi memperjuangkan hak-hak rakyat serta mengkritik kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Sebagai anggota Volksraad, Ratulangi mengajukan tuntutan terhadap pemerintah Belanda agar segera menghapuskan perbedaan politik, ekonomi, serta pendidikan antara orang Indonesia dan Belanda.
Pada tahun yang sama, tepatnya 16 Agustus 1927, Ratulangi bersama dr Tumbelaka mendirikan Partai Persatuan Minahasa yang berfokus pada perjuangan kepentingan daerah Minahasa. Namun seiring waktu, partai ini berkembang menjadi partai besar dengan tujuan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Pada masa penjajahan Jepang, Ratulangi sempat menjadi Penasehat Angkatan Laut di Makassar untuk wilayah timur Indonesia sambil terus berjuang secara diam-diam untuk kepentingan Indonesia. Hingga pada proklamasi kemerdekaan 19 Agustus 1945, perjuangan Ratulangi kian memuncak saat dirinya menyebarkan kabar proklamasi kemerdekaan di Pulau Sulawesi bersama Andi Pangeran Pettarani, Andi Sultan Daeng Raja, dan Andi Zaenal Abidin.
Meski sempat tertahan oleh Jepang, Ratulangi tetap membacakan naskah proklamasi di Ujung Pandang dan menyusun strategi penyebaran berita ke seluruh Sulawesi. Atas dukungan Andi Zaenal Abidin, Ratulangi mengorganisir penyebaran kabar kemerdekaan secara formal di wilayah utara, sementara penyebaran ke selatan dilakukan tim Lanto Daeng Pasewang.
Keberanian Ratulangi dan timnya membuahkan hasil ketika berita proklamasi mulai diterima masyarakat Sulawesi secara luas. Pada 29 Agustus, berita tersebut diumumkan di harian Pewarta Celebes yang meningkatkan antusiasme rakyat, khususnya di Makassar.
Pengumuman ini mendorong perlawanan dan dukungan rakyat untuk kemerdekaan Indonesia hingga rakyat berkumpul di Lapangan Hasanuddin untuk mengibarkan bendera merah putih sebagai simbol kebebasan dan persatuan.
Berkat perjuangannya, Ratulangi diangkat sebagai Gubernur pertama Sulawesi oleh Soekarno karena dianggap memiliki pengalaman luas dalam bidang politik dan pemerintahan, termasuk perannya dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Komitmen Ratulangi terhadap pendidikan dan kesejahteraan rakyat juga membuatnya dikenal sebagai Bapak Pendidikan Sulawesi, sejalan dengan visi pemerintah untuk membangun bangsa melalui pendidikan. Dengan alasan ini, Ratulangi dipandang sebagai sosok yang tepat untuk memimpin Sulawesi menuju masa depan yang lebih baik.
Selama masa pemerintahannya, pergerakan Ratulangi saat itu ternyata belum lepas dari pantauan Belanda. Pada 5 April 1946, Belanda menangkap Ratulangi bersama enam rekannya karena dinilai sebagai tujuh oknum berbahaya dan mengasingkan mereka ke Serui, Papua.
Di sana, Ratulangi dan temannya justru disambut hangat dan dijuluki “Tuan-tuan Merdeka” oleh warga lokal karena memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Saat pengasingan itu juga hingga 1948, Ratulangi mendirikan Perkumpulan Kemerdekaan Irian sebagai wadah perlawanan terhadap Belanda.
Setelah Perjanjian Renville, Ratulangi kembali ke Indonesia dan pergi ke Yogyakarta. Di sana, ia berupaya mengintegrasikan negara Indonesia Timur ke dalam negara kesatuan yang pulih. Ia juga menggagas Petisi Ratulangi yang menyatakan Sulawesi sebagai bagian tak terpisahkan dari Indonesia dan mengirimnya ke Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendapat dukungan internasional.
Namun sangat disayangkan, hingga akhir hayatnya, Ratulangi kembali ditangkap oleh Belanda selama Agresi Militer II dan meninggal pada 30 Juni 1949 di usia 59 tahun. Keberanian dan dedikasinya menjadikan Ratulangi sebagai simbol perjuangan kemerdekaan di Indonesia.
Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional secara anumerta pada 10 November 1958 sebagai penghormatan atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan hak-hak rakyat dan kemerdekaan bangsa. Makamnya terletak di Tondano dan menjadi tempat ziarah bagi mereka yang ingin mengenang perjuangannya.
Wahyu Alim Syah