Menurut laporan Digital Civility Index (DCI) tahun 2020 oleh Microsoft, netizen Indonesia menempati posisi 29 dari 32 negara yang disurvei terkait kesopanan, dan menjadi yang terendah se-Asia Tenggara. Mengutip CNN Indonesia, tiga risiko utama yang dihadapi masyarakat Indonesia di media sosial adalah hoax dan scam, ujaran kebencian, serta diskriminasi. Ini tentu bertentangan dengan stereotip masyarakat Indonesia yang dikenal menjunjung tinggi kesopanan dan adat istiadat. Dalam buku yang berjudul Sapiens di Ujung Tanduk karya Iqbal Aji Daryono, pembaca akan banyak menemukan esai-esai menarik seputar kelakukan netizen dalam mengarungi arus media sosial.
Media sosial kini telah menggantikan tempat bercengkerama yang sebelumnya diisi oleh lokasi fisik seperti angkringan. Pergeseran ini mencerminkan transformasi pola interaksi dari era analog ke digital. Jika dulu orang berkumpul secara langsung untuk berbagi cerita, kini interaksi tersebut berpindah ke dunia maya, seperti melalui grup WhatsApp atau kolom komentar di Instagram.
Di dunia digital, perilaku seseorang seringkali berbeda dari kehidupan nyata. Ada orang yang menjaga citranya di dunia nyata, tetapi merusaknya di media sosial. Sebaliknya, ada pula yang tampak sempurna di media sosial, namun dalam kehidupan sehari-hari perilakunya justru bertentangan dengan citra tersebut. Media sosial memberikan ruang bagi banyak orang untuk mengekspresikan diri, tetapi menariknya, banyak yang dengan sukarela menyerahkan sebagian eksistensinya kepada dunia digital.
Bahkan, bagi sebagian orang, ada rasa hampa jika satu hari saja tidak membuka Instagram. Ini mungkin karena media sosial menyediakan kemudahan dan kebebasan berpendapat, sesuatu yang tidak selalu bisa didapatkan di dunia nyata.
Meski media sosial memberikan kebebasan bersuara, Iqbal, melalui salah satu esainya yang berjudul “Sang Perampas Kemerdekaan”, menyoroti bahwa kebebasan berpikir juga acapkali terabaikan. Orang cenderung mencari kelompok yang sependapat dengan mereka, menciptakan bubble sosial di mana pendapat berbeda jarang diterima. Alih-alih berdialog dan berdebat, mereka sibuk meyakinkan satu sama lain bahwa pandangan mereka adalah yang paling benar. Akibatnya, kebebasan bersuara di media sosial justru memerangkap kebebasan berpikir.
Kepraktisan yang ditawarkan oleh teknologi seringkali tidak sepraktis yang dibayangkan. Meskipun memudahkan banyak hal, teknologi juga dapat membuat segala sesuatu menjadi lebih rumit. Kemudahan dalam mengakses informasi maupun barang membuat orang-orang cepat bosan. Hal-hal yang dulunya terasa istimewa kini menjadi biasa karena terlalu mudah diperoleh.
“Hari-hari esok kita mungkin adalah hari-hari yang murung, karena semakin tidak gampang bagi kita untuk menemukan lagi ha-hal yang istimewa,” tulis Iqbal di halaman 41.
Salah satu keunikan buku ini adalah cara penulis menggunakan fenomena viral dan perilaku netizen untuk menjelaskan pergeseran nilai-nilai sosial di era digital. Melalui 30 esai yang penuh ironi dan humor, Iqbal menyajikan pengamatan tajam tentang bagaimana manusia modern berinteraksi di dunia maya. Buku ini tak hanya menghibur, tetapi juga memancing pembaca untuk merenungkan dampak sosial dari digitalisasi terhadap budaya, etika, dan kebebasan berekspresi. Dengan gaya penulisan yang lugas dan ringan, Sapiens di Ujung Tanduk menjadi bacaan yang relevan.
Buku ini turut menjadi sebuah bacaan yang menyegarkan dan menggelitik tentang dinamika manusia di dunia maya. Penulis bahkan menyebutkan dirinya sebagai praktisi medsos penuh waktu, dan itu terbukti dari semua studi kasus, terutama kasus viral yang ia bawa ke buku ini. Iqbal adalah salah seorang esais dan kolumnis yang memulai menulis di media-media daring dan media sosial. Ia senang berbagi kegelisahan atau kegeliannya terhadap perilaku manusia di era digital ini.
Bagi kamu yang sering menghabiskan waktu di media sosial, buku ini akan memperkaya wawasanmu tentang cara beradaptasi di dunia digital. Kita perlu terus belajar dan bijak dalam menggunakan media sosial, karena jejak digital tidak bisa dihapus. Pikirkan matang-matang sebelum menulis atau berkomentar. Tidak ada kewajiban untuk membagikan semua kegiatanmu di media sosial.
Buku terbitan 2020 ini sekaligus mengajak kita untuk sesekali nikmati hidup untuk diri sendiri. Ingatlah, media sosial hanya persinggahan, jangan lupa untuk tetap hidup di dunia nyata!
Rika sartika