Bayangkan bagaimana perasaan kamu sebagai anak kecil yang hanya ingin bermain, namun harus mengikuti aturan orang tua yang sangat otoriter. Itulah yang dirasakan oleh Sato Reang, seorang anak berusia tujuh tahun yang mencoba untuk memberontak perintah ayahnya, namun terlalu takut dan tidak bisa berbuat apa-apa. Perasaan ini tergambar dalam novel Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong karya Eka Kurniawan.
Aturan ayahnya dimulai ketika Sato Reang sudah disunat. Hal ini menjadi penanda bahwa dirinya harus mulai meninggalkan semua kebebasan yang dimiliki oleh anak seusianya. Ia diperintahkan oleh ayahnya untuk mengaji, sembahyang lima waktu, serta kewajiban lainnya yang membuat dirinya muak. Sato Reang pun mencari jati diri di tengah tekanan sosial dan religius yang ketat.
Tidak hanya ayahnya, Sato Reang juga dibuat muak oleh teman sekolahnya, Jamal. Keduanya sama-sama hidup di bawah pengawasan ketat, dengan orang tua yang sangat taat pada aturan agama. Namun tidak seperti Sato Reang, Jamal adalah anak saleh yang ikhlas melaksanakan perintah orang tuanya. Kedekatan kedua orang tua mereka membuat Sato Reang merasa diawasi oleh Jamal, sehingga ia tetap harus melaksanakan perintah ayahnya di sekolah.
Keinginan Sato Reang untuk bebas yang menggunung itu akhirnya meletus ketika ayahnya meninggal dunia. Ia mulai melakukan kenakalan yang dulu hanya bisa ia bayangkan. Tidak ingin bebas seorang diri, Sato Reang pun mencoba untuk memengaruhi Jamal agar melakukan hal serupa. Karena tidak sanggup menahan godaan serta tekanan dari Sato Reang dan teman-temannya, akhirnya Jamal mengikuti jejak Sato Reang. Malangnya, Jamal yang selama 16 tahun menjadi orang saleh meninggal dalam keadaan mabuk.
Setelah vakum selama delapan tahun, Eka Kurniawan kembali muncul dengan novel terbarunya yang berjudul Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong. Dalam novel ini, pertumbuhan kedewasaan Eka Kurniawan dapat dirasakan dalam menanggapi isu-isu sosial. Bukan hanya menyinggung soal pergulatan batin dalam beragama, ia juga mengangkat persoalan terkait trauma pengasuhan, makna kebebasan diri, hingga kesehatan mental. Salah satu isu yang menarik di novel ini adalah bagaimana pola asuh yang melahirkan sebuah konsekuensi dan Sato Reang menjadi salah satu contoh paling liar dari konsekuensi tersebut.
Buku ini ditulis dengan dua sudut pandang yang unik. Terkadang penulis masuk sebagai salah satu tokoh atau menjadi “aku”, terkadang juga menjadi orang ketiga serba tahu yang berada di luar cerita. Mungkin ini menggambarkan beberapa babak di mana ia merasa tidak menjadi dirinya sendiri.
Novelis Indonesia pertama yang karyanya masuk dalam nominasi penghargaan literatur bergengsi Man Booker International Prize 2016 ini, memiliki ciri khas tersendiri dalam tulisannya dan seolah-olah tidak terikat dalam aturan apapun. Ia tidak peduli dengan penggunaan tata bahasa sarkasme dalam tulisan yang ada di novel ini. Hal itu bukanlah sesuatu yang asing bagi Eka Kurniawan, karena pada karya-karya sebelumnya, teknik serupa juga ia gunakan.
Beberapa umpatan diungkapkan oleh tokoh dalam novel ini. Meskipun terbilang kasar, namun penggunaan gaya bahasa sarkasme berhasil membangun suasana. Selain itu, narasi mengenai alat kelamin pria dalam novel ini dapat dianggap kontroversial dan tidak pantas oleh sebagian pembaca.
Novel kelima karya Eka Kurniawan ini menghadirkan tema yang lebih ringan dibandingkan dengan novel-novel sebelumnya. Dengan mengangkat kenakalan anak-anak, membuat pembaca merasa lebih lekat. Selain itu, latar perkampungan yang sederhana terasa dekat dan mengingatkan pada masa kecil kebanyakan orang Indonesia.
Bagi yang belum pernah membaca karya Eka Kurniawan, buku ini bisa menjadi percobaan pertama bagi kamu karena bahasanya lebih mudah untuk dibaca dan dipahami dibandingkan dengan karya sebelumnya seperti Cantik Itu Luka dan O yang temanya cukup rumit.
Rika sartika