“Merokok sangat diperlukan jika tidak ada yang bisa dicium.”
Ah terlalu dramatis Sigmund Freud, seorang pakar psikologi paling masyhur itu, yang juga seorang perokok aktif di umur 24 tahun. Namun fakta bahwa kenikmatan lain yang setara dengan mencium gadis impian adalah membakar sebatang rokok sehabis makan, lalu menghisapnya dengan perlahan, merupakan jenis kenikmatan hakiki yang tak bisa dirasakan oleh orang yang anti rokok.
Sayangnya, Januari kemarin, setelah pemerintah merenggut kebebasan berpendapat melalui Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), mereka juga rupanya ingin merenggut kenikmatan para perokok dengan menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar sepuluh persen selama dua tahun berturut-turut.
Bukan hanya itu, pemerintah juga mewacanakan untuk merevisi Peraturan Pemerintah No 109 tahun 2012. Wacana tersebut mulanya disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani pada November 2022 lalu dengan mengedepankan tiga alasan klise, yaitu untuk meningkatkan edukasi bahaya merokok, menekan perokok usia muda, dan mengendalikan konsumsi rokok.
Kemudian, pada 1 Januari kemarin, pemerintah resmi menaikkan CHT. Jika kita melihat trennya, selain perayaan tahun baru, 1 Januari juga ditandai dengan naiknya tarif CHT yang dampaknya bukan hanya pada industri rokok, tetapi juga bagi para buruh pabrik rokok, petani tembakau, petani cengkih, toko kelontong, hingga masyarakat.
Pertanyaan yang muncul pastinya apakah betul keputusan yang Menkeu lakukan itu tepat? Mari kita sama-sama menelaah satu per satu dari alasan yang ia sampaikan tiga bulan yang lalu.
Alasan pertama, untuk meningkatkan edukasi bahaya merokok, pemerintah ingin memperbesar ukuran pesan gambar pada bungkus rokok dan memperketat iklan, promosi, dan sponsorship yang berkaitan dengan produk rokok.
Bukankah hal tersebut sudah lama diterapkan? Dari iklan rokok di TV yang tidak menampilkan gambar produk rokoknya hingga tulisan peringatan yang menyiratkan ancaman rokok. Dan sekarang, mereka memvonis hal itu tidak memiliki dampak yang signifikan untuk mengurangi jumlah perokok.
Tidak cukupkah pemerintah menampilkan gambar seram berukuran lebar di bungkus rokoknya? Tidakkah mereka berpikir gambar tersebut akan menyebabkan salah kaprah? Bisa jadi orang-orang akan mengira rokok itu adalah brosur produk kesehatan.
Alasan kedua yang menurut saya sangat lucu, pemerintah menginginkan jumlah perokok usia muda itu turun dengan melarang penjualan rokok batangan, dengan asumsi, maraknya toko yang menjual rokok batangan akan mempermudah akses mereka untuk mendapatkan rokok.
Padahal mereka bukan lagi anak-anak yang tidak tahu bagaimana cara patungan untuk membeli sebungkus rokok, dan bukannya orang dewasa pun biasa membeli rokok batangan, apalagi kalau angka di kalender sudah berada di penghujung bulan. Malahan, kebijakan tersebut menghadirkan ketidakadilan pada kondisi ekonomi rakyat kecil, sebab akan banyak pedagang kecil yang berpotensi kehilangan pendapatannya.
Alasan ketiga seharusnya bisa dikaji lebih lanjut oleh Menkeu kita, data terbaru memang menunjukkan adanya penurunan jumlah perokok yang mencapai 28,26%, kurang 0,7% dibanding tahun 2021 yang sebesar 28,96%. Penurunan itu sangat kecil dibandingkan dengan jumlah 6 juta tenaga kerja di industri rokok, termasuk para buruh dan petani tembakau yang terancam harus kehilangan pekerjaannya apabila perusahaan rokok berhenti untuk memproduksi lagi.
Naiknya harga rokok pun sebenarnya tidak mengurangi jumlah perokok, mereka akan mencari alternatif baru dengan membeli rokok ilegal yang harganya lebih murah, hal tersebut dibuktikan dengan survei dari salah satu universitas terbesar di Indonesia, Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menyatakan bahwa adanya peningkatan rokok ilegal pada 2020 hanya sebesar 4,9%, kini menjadi 5,5%.
Selain tiga alasan di atas, Menkeu juga mengatakan rokok merupakan konsumsi kedua terbesar dari rumah tangga miskin. Salahkah jikalau masyarakat yang tergolong miskin itu menghabiskan sebagian uangnya untuk membeli rokok ?
Ketika masyarakat kaya memilih untuk menghabiskan uangnya untuk healing ke tempat-tempat rekreasi atau belanja barang-barang mewah, orang-orang yang mereka sebut miskin tersebut hanya memilih untuk membeli sebungkus rokok dengan tujuan menghilangkan penatnya setelah seharian bekerja di bawah matahari terik negara ini.
Saya pikir mengkonsumsi rokok adalah pilihan setiap orang, toh rokok juga tidak haram, banyak kok pemuka agama yang merokok seperti Emha Ainun Najib atau biasa kita kenal dengan nama Cak Nun yang merupakan perokok berat, sama halnya dengan pendiri bangsa ini yaitu Soekarno juga seorang perokok. Bisa jadi ide-ide cemerlangnya tentang bangsa ini lahir saat ia membaca sambil menghisap tembakau.
Tak terasa sudah sembilan batang rokok yang habis ketika saya menulis ini, mungkin tulisan ini bisa lebih panjang jika ada seseorang yang bersedia membelikan saya sebungkus rokok lagi, maklum harga rokok lagi mahal.
Achmad Ghiffary M
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Unhas angkatan 2021,
Sekaligus Reporter PK identitas