Perhelatan konferensi iklim atau yang disebut dengan COP29 di Baku, Azerbaijan, telah dilaksanakan dalam dua pekan terakhir. Perhelatan ini bak oase di tengah gurun yang diharapkan menghasilkan solusi yang konkret atas isu iklim yang kini menjadi momok bagi masyarakat internasional.
Partisipan COP29 yang juga merupakan pegiat lingkungan, Nurul Habaib Al-Mukarramah, mengungkapkan bahwa COP29 kali ini menjadi konferensi yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Sebab, topik utama COP kali ini difokuskan pada aksi pendanaan iklim bagi negara-negara berkembang, yang ditarget mencapai 1 triliun dolar AS.
Meski begitu, konferensi yang berlangsung sejak 11 November ini hampir saja gagal, setelah sempat mengalami kebuntuan menjelang penutupan pada Jumat kemarin. Pada akhirnya, pendanaan iklim yang berhasil disepakati dan diumumkan pada Minggu (24/11) hanya sepertiga dari total yang telah diajukan, yakni 300 miliar dolar AS.
Lalu apa urgensi pendanaan iklim ini, dan solusi apa yang diperlukan untuk mengatasi perubahan iklim lebih lanjut? Redaktur identitas, Zidan Patrio, berkesempatan mewawancarai Nurul Habaib melalui Zoom meeting, Sabtu (23/11). Berikut petikan wawancaranya.
Boleh dijelaskan apa itu COP dan apa saja yang dibahas dalam COP29 kali ini?
Proses seperti Conference of Parties (COP) itu sudah ada sejak tahun 1972, tapi secara formal baru dilaksanakan pada 1995 setelah UN Earth Summit 1992. Tahun 1992 menjadi awal yang fundamental karena kalau Anda tahu, Konferensi di Rio De Janiero menghasilkan Rio Declaration dan United Nations Framework on Climate Change (UNFCCC). Salah satu proses pengambilan keputusan di UNFCCC adalah melalui COP di mana negara-negara anggota dari UNFCCC ini bertemu setahun sekali dengan tuan rumah yang bergiliran untuk membahas, menegosiasikan, dan mengambil keputusan penting tentang iklim dan lingkungan kita.
Adapun COP tahun ini punya julukan sendiri. Namanya ”The Finance COP”. Jadi saya pikir COP29 ini memang dikhususkan untuk merumuskan target, memutuskan target, dan menyelesaikan target-target pendanaan iklim yang sejak dulu belum sempat diputuskan. Salah satunya adalah soal dana tentang kerusakan dan kerugian akibat dari dampak perubahan iklim. Selain dari hal itu, ada banyak hal lain sebenarnya juga yang turut didiskusikan. Juga termasuk mekanisme operasionalisasi dari pasal 6 Paris Agreement terkait skema pasar karbon. Jadi itu yang juga menjadi salah satu diskusi yang sangat penting selain dari hal-hal yang berkenaan dengan pendanaan iklim.
Seberapa urgen pendanaan iklim ini bagi negara-negara miskin?
Sebenarnya sangat urgen dan ini berhubungan dengan kenaikan permintaan dana iklim, dari yang dulu targetnya 100 miliar dolar per tahun naik jadi 1 triliun dollar per tahun. Ini tidak lepas dari meningkatnya kebutuhan dana untuk mengurangi jumlah emisi gas rumah kaca atau yang biasa kita kenal dengan mitigasi perubahan iklim.
Dan yang kedua, yang lebih mahal lagi adalah untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan itu yang sudah kita mulai rasakan sekarang. Setiap tahunnya kebutuhan dana untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim itu semakin besar. Ada banyak studi yang memang sudah memperlihatkan bahwa tiap tahunnya kalau misalnya kita tetap menggunakan skenario business as usual di dalam ambisi kita untuk mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca dan menahan laju kenaikan suhu sampai 1,5 derajat, pasti traction dana yang dibutuhkan turut naik. Jadi Itulah kenapa di saat yang sama, 100 miliar dolar itu tidak cukup dan harus ditingkatkan.
Negara-negara maju hanya mampu menyepakati pendanaan sepertiga dari yang diajukan. Menurut Anda bagaimana?
Saya belum melihat hal itu. Tapi saya pikir kita tidak ingin mengulangi kejadian dalam Kyoto Protocol dulu di 1997. Kyoto Protocol itu membagi kewajiban negara berdasarkan annex (indeks) developing country untuk pembagian tanggung jawab mengurangi emisinya. Tapi justru itu gagal. Pembagian itu tidak efektif. Saya tidak melihat secara pasti cara apa atau metode apa yang sebenarnya diadopsi oleh UNFCCC untuk menginventarisir negara mana saja dan berapa yang harus dibayarkan. Saya pikir target 1 triliun dolar itu juga merupakan jalan panjang yang saya tidak tahu pasti apakah akan tercapai atau tidak. Kalau misalnya tercapai, maka bagus. Tapi kalau tidak, kita hanya mengulangi masalah di COP26. Berjanji tapi enggak tercapai.
Tapi apakah target 1 trilliun dollar itu realistis?
Kalau misalnya porsi kontribusinya jelas, maka realistis. Lebih tepatnya untuk besaran dana. Dan juga kalau misalnya kita mau setting satu triliun dollar tercapai misalnya dalam 5 tahun, harus di-breakdown, di tahun pertama terkumpulnya berapa, sumbernya dari mana, terus tahun kedua terkumpulnya berapa. Jadi levelnya harus dibuat pencapaian.
Dan karena ini rencananya benar-benar satu triliun dolar per tahun, saya pikir kalau bercermin dari dari janji-janji di COP yang lalu, saya merasa kalau misalnya mereka bisa memastikan dan mem-breakdown tujuan itu menjadi small achievable step, itu mungkin saja. Tapi menjadi challenge lagi untuk memastikan bahwa dana itu memang bisa terkumpul. Kalaupun dia terkumpul, mobilizing dananya itu harus dipikirkan bagaimana caranya.
Salah satu hambatan konferensi kali ini adalah perubahan geopolitik global. Ada beberapa negara yang enggan menindaklanjuti kebijakan iklim lebih jauh karena pemimpinnya tidak percaya perubahan iklim. Menurut Anda bagaimana?
Dalam hal persoalan geopolitik, itu adalah kedaulatan negara untuk memutuskan apakah mereka mau menarik diri atau terlibat dalam suatu negosiasi yang bersifat high politic. Dulu saat Donald Trump terpilih untuk pertama kalinya, Amerika Serikat menarik diri dari Perjanjian Paris. Itu memang hak mereka, tapi tentu itu adalah salah satu langkah mundur untuk mengendalikan perubahan iklim. Karena salah satu kontributor Global terhadap emisi gas rumah kaca yang mempercepat laju perubahan iklim itu secara historis maupun sekarang, itu adalah Amerika Serikat.
Apa yang bisa kita lakukan dengan dengan situasi geopolitik ini paling tidak melalui mekanisme instrumen soft law atau hukum lunak. Karena memang kalau misalnya mereka menarik diri, hukum internasional tidak serta merta bisa mengikat semua negara-negara. Yang bisa kita lakukan hanyalah lewat cara-cara negosiasi, lewat cara-cara instrumen hukum lunak, atau melalui people power. Karena saya pikir untuk untuk membawa perubahan itu kita harus mempengaruhi warga yang ada yang ada di negara itu. Dan jika bisa mempengaruhi mereka, sistemnya juga akan berubah, agenda prioritas juga bakalan berubah.
Selain masalah pendanaan, topik lain yang juga dibahas dalam CO29 kali ini adalah masalah perdagangan karbon. Sebenarnya apa itu perdagangan karbon dan seberapa efektif untuk mengatasi krisis iklim?
Perdagangan karbon ini termasuk dalam pasal 6 Perjanjian Paris. Esensinya adalah kerjasama internasional untuk mengurangi emisi. Kadangkala ketika negara itu punya pendanaan yang cukup, tapi mereka tidak punya misalnya carbon sink yang banyak, mereka bisa melakukan kerja sama dalam bentuk sukarela. Mereka bisa bekerja sama dengan negara-negara penyerap karbon dengan mendanai proyek di negara B, misalnya, yang punya banyak hutan tapi membutuhkan dana untuk melakukan penyerapan karbon. Nanti hasil dari karbon yang diserap itu kita ditransfer ke negara pembayar dan negara pembayar itu bisa mencatatkan pengurangan emisi karbon itu sebagai capaian dari NDC mereka.
Perdagangan karbon menurut saya secara personal itu adalah salah satu solusi, tapi bukan satu-satunya solusi. Jadi yang harus didorong itu sebenarnya aksi-aksi mitigasi dengan upaya sendiri dulu, yakni pengurangan emisinya. Jangan langsung ke melompat ke perdagangan karbon. Tapi bukan berarti bahwa perdagangan karbon itu semuanya tidak baik, tidak semua. Perdagangan karbon itu hanyalah salah satu alat untuk memastikan bahwa NDC itu bisa tercapai.
Memang ada beberapa lembaga-lembaga atau NGO yang mengatakan kalau perdagangan karbon ini adalah “solusi palsu”. Tapi kalau Anda sendiri, solusi yang nyata untuk perubahan iklim itu seperti apa?
Saya memahami itu. Jadi apa yang bisa kita lakukan? Pertama dan yang paling terpenting sebenarnya adalah memastikan dana untuk adaptasi bagi negara-negara berkembang, negara-negara yang sudah terdampak terhadap perubahan iklim. Lebih baik jika pendanaan itu diberikan dalam bentuk hibah, jangan dalam bentuk pinjaman. Negara-negara berkembang kayak kita itu sudah dibebani dampak perubahan iklim, terus dikasih pinjaman lagi. Itu bukan solusi sama sekali.
Kemudian, salah satu alat yang paling powerful untuk solusi itu adalah melalui kebijakan regional dan lokal. Selama ini kalau kita menggunakan kebijakan internasional salah satu challenge-nya sebenarnya adalah menerjemahkan peraturan hukum internasional itu ke dalam Aksi Nasional regional lokal gitu. Saat ini, sudah ada Peraturan Menteri LHK No.12/2024 yang mewajibkan Gubernur dan Walikota itu untuk membuat rencana aksi adaptasi dan rencana aksi mitigasi perubahan iklim. Jadi, itu yang perlu kita kawal.
Yang terakhir, menurut saya, harus lebih banyak anak muda yang terlibat dalam proses proses COP ini. Karena saya pikir kadangkala COP sering dijadikan sesuatu yang for business only, jadi tanpa ada anak muda yang bisa menjadi watchdog, itu menurut saya justru akan menjadi suatu hal yang mengkhawatirkan. Jadi, keterlibatan anak muda itu harus lebih banyak didorong dalam proses-proses pengambilan keputusan tingkat tinggi seperti COP.
Kalau kita lihat memang dalam COP itu ada sisi khusus untuk anak muda gitu ya. Sebenarnya peran pemuda dalam hal ini secara spesifiknya apa?
Kalau berbicara peran anak muda, itu ada beberapa kesempatan bagi anak muda di dalamnya. Contohnya, ada beberapa teman-teman saya yang menjadi utusan khusus untuk Sekretaris Jenderal PBB dan mereka memberikan advice dari perspektif anak muda untuk pengambilan keputusan di COP. Dan itu menurut saya peran yang sangat strategis, karena anak muda bisa memberikan pengaruh melalui saran yang diberikan.
Ada juga namanya Conference of Youth (COY) yang dilaksanakan di COP juga. Lalu kalau misalnya kita tidak bisa mengakses pemegang keputusan kunci, bisa melalui partisipasi pada side event. Jadi ada beberapa sesi panel yang memang diisi oleh anak muda dan bertujuan untuk menggaet suara-suara anak muda dari berbagai negara.
Bagaimana harapan Anda ke depannya terkait dengan isu ini terutama dengan peran anak muda di dalamnya?
Harapan saya untuk para pemuda adalah stay informed, stay critical, keep being that stubborn optimist.
Anak muda yang paling tahu apa concern generasi mereka. Jadi representasi anak muda itu harus selalu ada di dalam lini percakapan apapun mengenai masalah iklim dan lingkungan. Being informed akan membantu kita untuk memilah mana hal yang baik, salah, dan yang perlu kita diskusikan bersama. Terakhir, di antara semua negosiasi ataupun pengambilan keputusan yang ada, anak muda harus bisa terus menjadi pembawa harapan. Karena kalau misalnya semua orang jadi pesimis, we will not be there to solving climate problem.
Informasi narasumber:
Nurul Habaib Al-Mukarramah
Lulusan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (2023)
Fokus studi hukum internasional lingkungan dan perubahan iklim
Karir:
Konsultan pada Proyek Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (Saat ini)
Asisten Riset di Fakultas Hukum Unhas (2020-2023)
Pencapaian:
Youth delegate dalam COP28 Dubai, Uni Emirat Arab
Delegate dalam COP29 Baku, Azerbaijan (online)