Sore itu, awan mendung menjadi saksi dari kebisuan hati Asma. Gadis cantik berdarah Toraja dengan kulit sawo matang tampak berdiri di depan kantin kampus. Bukan tanpa alasan, Asma sedang menunggu kedatangan seseorang yang sedari tadi membuat hatinya gelisah tak karuan.
Tidak berselang lama, sosok lelaki berbadan kekar perlahan melangkah ke arahnya.
“Halo Asma,” sapa lelaki itu.
“Hai Atha,” jawabnya sedikit menunduk malu.
Hanya sebuah sapaan namun mampu membuat jantung Asma berdetak kencang dan sesegera mungkin menyembunyikan wajahnya dari lelaki tampan bernama Atha. Asma khawatir jika kegelisahan itu terbaca di raut wajahnya.
Ini adalah pertemuan kedua mereka setelah sekian lama tidak bertemu. Atha bukan mahasiswa yang sekampus dengan Asma tetapi pertemanan mereka sudah terjalin setahun lamanya. Pertemanan itu bermula ketika mereka akan mengikuti kursus bahasa Inggris di Kediri. Waktu itu Atha dan rombongannya bertemu dengan Asma yang ternyata memiliki tujuan sama yaitu ke kampung Inggris. Atha tidak sungkan menawarkan Asma untuk berangkat bersama dengan dia dan rombongannya. Awalnya menolak tetapi akhirnya mengiyakan tawaran Atha dan percakapan pun berlanjut hingga mereka tiba, Kediri.
Atha adalah sosok sederhana yang mampu mengalihkan perhatikan perempuan ini dari deretan lelaki yang mendekatinya. Asma tidak tahu kapan dan mengapa rasa itu bisa tumbuh dalam dirinya.
“Sudah lama menunggu di sini?” tanya Atha.
“Belum lama kok, aku baru saja keluar kelas,” jawabnya.
Asma dan Atha pun masuk dan memesan makanan. Kebiasaan, Asma selalu memesan bakso dan segelas teh manis. Atha pun memesan hal serupa dengan Asma.
“Mengapa kamu mengajak bertemu?” tanyanya.
“Penasaran ya?” ucap Atha.
“Ngak, cuman nanya doang. Kalau tidak mau beri tahu ya tidak apa-apa kok” ucap Asma sedikit cuek.
“Makan saja dulu, nanti juga tahu alasan ke sini,” kata Atha
Percakapan pun terhenti dan mereka menyantap bakso yang telah disajikan. Kedatangan Atha ke kampus Asma bukan tanpa sebab tetapi dia ingin memberikan Asma sebuah kado. Seminggu yang lalu Asma berulang tahun dan Atha tidak sempat menemui Asma. Asma tidak pernah meminta kado di hari ulang tahunnya tetapi karena merasa bersalah tak menghadiri pesta ulang tahun perempuan ini, Atha pun menyiapkan sebuah kado. Makanan di atas meja telah habis dan mereka segera membayar makanan yang mereka santap. Asma dan Atha tidak langsung meninggalkan kantin karena hujan yang tadinya hanya rintik-rintik kini semakin deras.
“Asma!”
“Iya, ada apa?” jawabnya
“Sebenarnya aku ke sini untuk memberikan ini, “ ucap Atha seraya menyerahkan kado itu.
“Ini apa Atha?” tanyanya sedikit heran.
“Itu kado untukmu. Maaf tidak menghadiri pestamu kemarin” jawab Atha.
Atha pun meminta agar Asma jangan membukanya sekarang. Asma kemudian menyimpannya di dalam tas ransel. Ternyata di balik kesederhanaan seorang Atha juga tersimpan ketulusan yang teramat sangat.
“Asma, kemarin aku tidak bisa hadir karena sedang mengikuti lomba di Bali”
“Tidak apa-apa kok Atha. Santai saja!” ucap Asma
Kesederhanaan dan kedewasaan Atha membuat Asma semakin menyukainya. Percakapan yang begitu panjang hingga terlampu lama mereka menyadari bahwa hujan telah reda.
“Alhamdulillah hujannya sudah reda. Kalau begitu aku pamit dulu ya, Asma. Jangan lupa nanti kadonya di bukan ya!. Kuharap kamu menyukainya,” ucap Atha
Atha pun pergi dan seketika hilang dari pandangan Asma.
[Iya, aku pasti sangat menyukainya] kata Asma dalam hati
Asma segera kembali ke pondokannya. Malam meyambut, Asma hampir lupa dengan kado tadi siang. Dengan rasa penasaran, Asma membuka kado itu secara perlahan. Betapa senangnya melihat medali emas milik Atha yang diperoleh dari kejuaraan di Bali diberikan kepadanya. Tak hanya medali, juga sebuah gantungan kunci berwarna merah begitu indah dan sebuah surat terselip di dalam kado itu. Asma tidak menyangka Atha akan memberikan ini kepadanya dan berucaplah selembar kertas kepadanya.
“Kado ini kuberikan untuk orang yang istimewa sepertimu. Ini adalah sebuah medali yang kudapatkan beberapa hari yang lalu saat mengikuti kejuaraan di Bali dan kuharap kamu menyukainya. Medali ini sama berharganya dengan dirimu dan tolong dijaga dengan baik. Oh yaa untuk gantungan kuncinya juga sengaja kucari yang warna merah karena kutahu kau sangat menyukainya warna itu. Tolong, jangan berubah. Kau sahabatku dan akan selamanya menjadi sahabat terbaikku.”
Sebuah pesan singkat dalam surat membuat dada Asma seakan sesak dan air mata tiba-tiba jatuh membasahi pipinya. Kedekatan mereka begitu lama ternyata hanya sebatas persahabatan, tidak lebih. Bagaimana Asma akan melupakan kejadian hari ini. Sakit, lalu apa lagi, namun gadis ini harus menerima kenyataan bahwa dia hanya seorang sahabat.
Penulis : Armila Ansarullah
Mahasiswa Sastra Indonesia, angkatan 2018
Fakultas Ilmu Budaya, Unhas.