Suara ketikan terngiang di penjuru kamarku. Jam menunjukkan pukul 02:00 Wita, lalu kuputar lagu Arti Sahabat-Nidji tuk mengusir rasa sepi. Otakku kuajak membuat narasi ketika kakiku menginjak Banten tahun 2023 lalu, kala aku mengikuti program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) angkatan 3. Sambil menatap foto yang dihiasi bingkai coklat di sudut meja, ada rasa rindu yang datang tak terbendung.
Kenangan itu bermula pada suatu hari di bulan Agustus, ketika aku memandang langit dari jendela pesawat ditemani dengan hangatnya sinar mentari. Di sampingku duduk dua orang yang belum aku kenal. Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), tempat itu dipenuhi orang-orang yang datang dan pergi, dan sekelilingku ada mahasiswa memakai jas almamater kebanggaannya. Mereka turut menuntut ilmu sama seperti denganku untuk sementara.
Perjalanan dari bandara ke tempat tujuan memakan waktu hampir dua jam. Sepanjang jalan, aku terkejut karena perbedaan signifikan warna langit Jakarta dan kampungku. Namun pemandangan ini bukan sesuatu yang tidak wajar bagi kota metropolitan seperti jakarta.
Setelah perjalanan mulai terasa lama, aku sadar telah disambut oleh angin tanah jawara. Tepat di Kabupaten Serang, kepopuleran kata Jawara atau pendekar yang jago ilmu bela diri mulai eksis pada masa Kesultanan Banten. Di sinilah cerita berawal, kami terbagi menjadi beberapa kelompok, lalu memulai kisah dari terbitnya matahari hingga menanti senja.
Nama kelompok kami dinamakan Senjawara. Kata Senjawara sebenarnya tergantung pribadi yang mendefinisikannya. Tapi diriku menganggap Senjawara adalah gabungan dari “Senja” dan “Jawara”. Kami berjumlah 24 orang, ditambah bapak dosen Ezis dan mentor Bang Rofei. Selama lima bulan, kami akan menimba ilmu sementara di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Kalau diingat-ingat, awal pertemuan kami sangat canggung dan aneh. Bagaimana tidak, pertama kali bertemu orang-orang dengan latar belakang dan logat yang berbeda. Bayangkan saja ketika logat Makassar tattara’ berbicara dan dijawab dengan logat Batak, lalu yang mendengarkannya adalah orang Jawa.
Awalnya, ekspektasiku bersama Senjawara akan biasa-biasa saja. Pribadiku memang sulit untuk membangun interaksi dengan orang baru, apalagi dengan orang dari daerah berbeda. Hari demi hari, aku sadar dan justru persepsiku salah besar. Kami semua sesama anak rantauan, melihat rasa nyaman itu muncul saat berkumpul dan saling menguatkan bersama.
“Ayo turun, kita ngumpul di lapangan asrama.”
Itu adalah notifikasi pesan dari ketua kelompok kami yang paling aku tunggu setiap malam, bang Icang namanya. Terlalu nyaman dan seru bersama mereka, semua hal dibahas saat ngumpul. Mulai dari keseharian kuliah, gibahin orang, hingga rencana modul nusantara.

Sebagai informasi, program PMM itu identik dengan modul nusantara. Favoritku adalah modul nusantara kebhinekaan, karena kami akan mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan ikonik di Banten.
“Berwara-wiri hingga senja hari.”
Di antara banyak tempat yang kami kunjungi, tiga diantaranya berlokasi di pantai. Soal pantai jika Banten menominasikan Anyer, aku rasa itulah yang bakal menjadi juaranya. Semilir angin di Anyer mendatangkan kehangatan yang begitu manis. Ketika malam ingin datang, senja pun turut menampakkan dirinya. Aku suka suasana itu, tetapi lebih suka menikmati bersama dengan orang-orangnya.
Senjawara di mata orang adalah si paling solid. Jujur saja aku berani berkata demikian, karena memang fakta. Mereka selalu ribut, tapi hatinya lembut. Terkadang mereka pun agak lain, tapi disiplin. Kalau ada yang telat ngumpul, es teh gula batu pun jadi objek traktiran.
Dimanapun dan kapanpun selalu ribut. Pernah suatu ketika, kami liburan ke Ibukota Jakarta. Gerbong kereta lokal tujuan Rangkasbitung serasa milik pribadi, sampai ditegur ibu-ibu dengan logat khas Sunda-Banten. Tidak untuk ditiru sebenarnya, tapi cara kami bercakap sangat lucu menurutku. Mungkin menimbulkan rasa heran bagi penumpang lain.
Begitu banyak hal baru yang kualami. Aku kira selama bersama mereka akan banyak groginya, namun ternyata sebaliknya. Terlalu nyaman, hingga aku lupa kalau hari-hari yang kami lewati hanya sementara. Lima bulan adalah waktu yang cukup lama, namun anehnya itu terasa berlalu begitu cepat.
Malam akhir tahun, kami gunakan untuk membuat memori yang lebih indah. Kami saling bertukar kado sebagai kenang-kenangan, makan-makan bersama untuk terakhir kalinya, hingga memberi ucapan selamat tinggal. Sejujurnya, aku paling benci dengan perpisahan. Apalagi ketika sadar kalau kesempatan kami untuk bertemu hanya sedikit. Kami akan terpisah untuk waktu yang lama.
2 Januari 2024, waktu itu akhirnya datang tak diundang. Kami akan kembali ke kampung masing-masing. Air mata kami sukses pecah, kami memeluk satu sama lain. Bandara Soetta jadi saksi kedatangan dan pertemuan terakhir yang entah kapan bisa berkumpul kembali. Mungkin senja yang selanjutnya kulihat tak sama lagi suasananya. Namun sinar senja itu tidak akan pernah padam, bahkan malam tiba lagi. Semoga selalu sehat, Senjawaraku!
Nabila Rifqah Awaluddin
Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya 2021
Sekaligus Kru PK identitas Unhas
