Siapa yang tak kenal Universitas Hasanuddin (Unhas), kampus terbaik di Indonesia bagian timur ini telah menjadi primadona bagi para anak muda untuk melanjutkan studinya. Bangunan yang megah serta banyaknya pohon menjadikan Unhas kampus yang nyaman sebagai tempat belajar. Namun dibalik itu semua, kejelasan akan masa depan menjadi aspek utama ketertarikan para mahasiswa melabuhkan empat tahunnya di Unhas.
Kejelasan itu sebetulnya lahir dari kurikulum yang bisa mendorong kemampuan mahasiswa dalam belajar dan meningkatkan potensi yang dimiliki. Tak ayal, Unhas selalu merevisi kurikulum dengan harapan sesuai perkembangan zaman serta kebutuhan mahasiswa. Perubahan itu bisa disaksikan pada momen pergantian Rektor hingga kebijakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Jejak sejarah yang ditemukan dalam terbitan-terbitan identitas memaparkan beberapa perubahan yang telah terjadi dalam kurun waktu 20 tahun ke belakang. Seperti pada Januari 2002 silam, kurikulum yang tercantum pada Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) belum bisa memuaskan dosen. Mereka beranggapan kalau kurikulum tersebut sangat kaku dan statis, sehingga menuntut dosen bekerja ekstra dalam mengajar mahasiswanya.
”Dosen akan mengajar secara mekanik, berurut sesuai dengan GBPP tapi tanpa jiwa,” ungkap Pembantu Dekan (PD) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Drs Alimin Bado Ms.
Namun Pembantu Rektor I (PR I) waktu itu, Prof Natsir Nessa membantah dengan mengatakan bahwa kunci baiknya kurikulum terletak pada seluruh komponen kampus. Sampai-sampai ia dengan terbuka menyatakan siap untuk dikritik bila kurikulum tersebut bermasalah.
”Kalau tidak sesuai, silahkan demo ke rektorat,” tantangnya.
Berselang lima bulan, terbit Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) No 045/U/2002 Tentang Kurikulum Inti Pendidikan. Kurikulum ini menitikberatkan pada peningkatan kompetensi para lulusan dengan jalan memberikan tanggung jawab lebih pada fakultas dan jurusan dalam menentukan target yang harus dipenuhi para lulusannya.
Hal ini membuat tiap program studi (Prodi) bebas menetapkan kurikulum intinya dengan perbandingan beban dalam bentuk Satuan Kredit Semester (SKS). Mahasiswa pun leluasa untuk mengambil mata kuliah dan kuliah di fakultas manapun, meski yang berkenaan dengan mata kuliah dasar, karena mata kuliah itulah yang memiliki kecenderungan sama di setiap fakultas.
”Seperti Kalkulus Teknik dan Kalkulus MIPA kan sama, semuanya adalah kalkulus,” terang Dr Ir H Nadjamuddin Harun MS, selaku PD Fakultas Teknik (FT) waktu itu.
Tak seperti tahun sebelumnya, di 2003 kembali mencuat isu kurikulum yang dianggap tak lagi relevan dengan mahasiswa. Penyebabnya akibat para alumni Unhas yang merasa tak mendapatkan bekal pengetahuan dalam mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Hal tersebut diungkapkan oleh Alumni Sastra Unhas 2002, Muh Latando, ia mengeluh atas ketidakberdayaannya dalam mendapat pekerjaan setelah menyelesaikan studinya di Unhas. Bukan tanpa usaha, ia telah mendaftar ke banyak perusahaan yang sesuai dengan latar belakang studinya, tetapi ditolak.
”Selama ini Unhas hanya sibuk merevisi kurikulum yang buntut-buntutnya tidak relevan dengan peluang kerja nantinya,” kesal Latando dalam terbitan identitas 2003.
Menanggapi kekesalan itu, Pembantu Rektor I dimasa itu, DR Djabir Hamzah MA melalui SK Mendiknas No 232/U/2000 Tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) serta SK mendiknas No 045/U/2002, ia mencetuskan program yang membuat alumni Unhas berkualitas dan layak pakai. Kurikulum tersebut mengutamakan kompetensi dan profesionalisme pada dunia kerja.
”Kurikulum ini berperan sebagai jembatan menuju dunia kerja dengan tujuan menampilkan profil lulusan yang dibutuhkan,” terangnya.
Hampir sama di 2002, pada 2014 setelah ditunjuknya Mendikbud yang baru, Mohammad Nasir langsung mengeluarkan Kurikulum Dikti sesuai dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No 8 Tahun 2012. Dimana dalam KKNI, ingin menyamaratakan kemampuan semua lulusan, agar nantinya ada standar yang jelas ketika para lulusan Universitas melamar kerja.
Kurikulum Dikti itu memuat sembilan tingkatan capaian pembelajaran, tingkatan ini digambarkan dengan posisi peserta didik setelah lulus, seperti lulusan S1 yang ditampilkan dengan posisi manajer. Pembuatan kurikulum ini berdampak pada berubahnya beberapa mata kuliah dan jumlah SKS. Beberapa mata kuliah akan dihapus atau dikurangi jumlah SKS nya apabila tidak mendukung KKNI.
Adapun menurut Wakil Rektor Unhas yang menjabat pada periode 2006-2014, Prof Dadang A Suriamiharja Meng, kurikulum tersebut ada karena tuntutan perusahaan yang membutuhkan lulusan yang siap kerja, sehingga institusi pendidikan dituntut untuk menyediakan para alumni yang mampu bekerja. Namun di sisi lain, ia tidak terlalu setuju dengan kurikulum tersebut karena baginya tempat kerja seharusnya melatih sendiri para pekerjanya.
”Inilah rancunya dunia pendidikan dan dunia kerja, kalau menurut saya sebaiknya kita meluluskan mahasiswa yang siap latih saja,” tegasnya.
Tak disangka setelah lamanya tidak terdengar kabar mengenai perubahan kurikulum, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Unhas Periode 2022-2026, Prof drg Muhammad Ruslin Mkes PhD SpBM(K) menyatakan telah mempersiapkan kurikulum baru di semester ganjil tahun ajaran 2023-2024.
”Kita akan implementasi pada tahun ajaran yang akan datang, dan saat ini kami menunggu laporan kesiapan dari setiap fakultas,” ungkapnya, Minggu (14/5/2023).
Kurikulum ini katanya bisa mengakselerasi para mahasiswa Unhas dalam mencapai kompetensi serta kemampuannya secara maksimal. Ia juga menyebutkan, kurikulum ini nantinya mampu menciptakan suasana kampus yang kompetitif, sehingga mahasiswa bisa terus berkembang.
Berbagai sistem akademik pun tidak lepas dari perubahan dalam mewujudkan kurikulum tersebut, seperti pengurangan lama proses studi menjadi tujuh semester, serta adanya mata kuliah kompetensi di semester enam dan tujuh.
Achmad Ghiffary M