Kampung Sampulungan Kecamatan Galesong Utara Takalar adalah pemekaran dari Desa Tamalate pada tahun 2012. Status masih baru mengakibatkan tata kelola desa dan pendidikan belum baik. Buta aksara di daerah pesisir ini terbilang tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2014 di Kabupaten Takalar, angka buta aksara mencapai 6,58 persen dari jumlah penduduk.
Adapun, Desa sampulungan memiliki fasilitas pendidikan yang sangat minim. Masing-masing satu Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Lantaran sibuk, pengelola dari pejabat desa kurang memperhatikan kondisi sekolah.
Pelbagai persoalan ini menggerakkan hati mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya, Nursandrawali Gosul membentuk komunitas literasi.
“Penduduk cenderung konsumtif, cari uang dan sebagainya ketimbang fokus pendidikan. Jadi, kami memberikan sedikit pencerahan kalau pendidikan itu penting,” katanya kepada reporter identitas, Senin, (30/18).
Ide ini muncul sejak tahun 2017. Namun, baru terealisasi tahun ini tepatnya bulan Mei. Bila sebelumnya Sandrawali tak dapat berbuat banyak lantaran kurang dana, kini ia bisa mengajukan ide membentuk komunitas literasi dalam Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat (PKM-M).
Dalam proposal itu, Sandra, begitu ia biasa disapa, mengajak dua junior di fakultasnya ikut bergabung merintis komunitas yang diberi nama Desa Literasi Sampulungan. Mereka ialah berturut-turut mahasiswa angkatan 2015 dan 2016, Alfiana dan Nursakinah.
Sasaran program ini, anak-anak dan pemuda. Anak-anak diajarkan membaca, dan menulis sedangkan, pemuda diajarkan mengelola perpustakaan.
“Sehingga, juga dapat terbentuk perkumpulan pemuda. Mereka nantinya dapat berdiskusi soal upaya pengembangan budaya literasi di Sampulungan,” lanjut Sandra.
Sandra tampaknya tak kesulitan mencari tempat merealisasi idenya ini. Ia memanfaatkan posyandu yang sudah sejak lama tak terpakai. Sebelumnya, bekas tempat mengimunisasi anak-anak ini sempat direnovasi menjadi perpustakaan oleh salah seorang mahasiswa Unhas.
Namun, kala itu kurang pengujung. Maka, Desa Literasi hadir untuk mengembangkan perpustakaan itu. Dan, kini juga sebagai lokasi Sekolah Inspirasi Sampulungan.
Sandra melakukan penelitian di tempat itu selama dua bulan yakni Mei hingga Juni. Ia menerapkan tiga konsep mengajar. Wanita kelahiran Bantaeng, 25 Desember 1996 ini menyebutnya kelas mimpi, maca’na, dan kelas kreatif.
Dalam kelas mimpi, tim PKM ini mengarahkan seraya memotivasi anak-anak dan pemuda untuk berusaha mewujudkan impian. Caranya, anak-anak menulis mimpi mereka di sticky note dan digantung di pohon harapan. Selain itu, tim juga mengajak para pemuda berdiskusi soal masa depan.
Lalu, metode Maccana. Nyatanya, ini merupakan singkatan dari membaca dan berwacana. Sesuai namanya, cara pembelajaran ini mengajarkan anak-anak dan pemuda membaca dan mendiskusikan hasil bacaannya.
“Kalau mau mulai kelas, kita beri waktu anak-anak dan pemuda untuk membaca buku. Setelah itu, bersama-sama kita mendiskusikan bacaan. Yang biasa juga memancing pemuda mengutarakan aspirasinya soal tata kelola desa,” lanjut Sandra.
Metode terakhir, kelas kreatif. Dalam kegiatan ini, anak-anak dan pemuda dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, mereka yang sudah tahu baca tulis. Sedang, kelompok dua yang belum tahu baca tulis.
“Kelompok satu diberikan waktu untuk menuliskan deskripsi dirinya, berupa kegemaran, cita-cita, deskripsi keseharian, lingkungan dan orang tua. Lalu membacakannya didepan peserta yang lain. Sementara itu, kelompok dua diberikan abjad dan angka untuk di tulis dalam Screat Book dan dilafalkan. Lalu, menghapalkannya sedikit demi sedikit. Anak-anak yang belum bisa sama sekali mengenali huruf diarahkan oleh pemuda untuk mengenali warna dengan cara mewarnai dan mengenali objek dalam buku dikaitkan dengan keseharian,” tulis Sandra dalam proposal PKM-nya
Kini, meski penelitian untuk memenuhi persyaratan PKM sudah terpenuhi. Tapi, Sandra bersama kawannya terus melatih anak-anak dan pemuda guna mengurangi angka buta aksara di Sampulungan.
Sri Hadriana