Data hasil Sensus Pertanian 2023 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik cukup mencengangkan. Jumlah petani yang ada di Indonesia masih didominasi oleh generasi X yakni 42,39 persen, petani milenial 25,61 persen, sementara generasi Z hanya 2,14 persen. Sangat timpang.
Kondisi ini benar-benar memprihatinkan. Padahal nasib pangan bangsa di masa yang akan datang ada di tangan pemuda, khususnya generasi Z atau Gen Z. Namun mengapa pemuda saat ini enggan untuk bertani?
Simak wawancara khusus reporter PK identitas, Nurfikri bersama pendiri Sekolah Rakyat Payo-Payo Maros sekaligus peneliti di lembaga riset Forest Society Research Group Fakultas Kehutanan Unhas, Karno B Batiran, Selasa (06/08). Berikut petikan wawancaranya.
Apa yang menyebabkan pemuda terutama Gen Z enggan untuk bertani?
Dari segi ekonomi dan sosial, sektor pertanian memang kurang menarik. Secara ekonomi, bertani sering dianggap sebagai aktivitas yang berisiko tinggi. Misalnya, ketika kita menanam jagung dengan harga awal Rp4.800–Rp5.000 per kilogram. Harga saat panen belum tentu sama atau lebih tinggi. Harganya bisa saja turun drastis hingga Rp2.500 per kilogram. Hal ini terjadi pada hampir seluruh komoditas.
Kepemilikan lahan pertanian juga semakin berkurang. Akibatnya, jumlah petani muda terus menurun, menjadikan sektor ini semakin didominasi oleh generasi yang lebih tua dan terlihat sebagai sektor yang menua.
Walaupun banyak orang-orang yang berkuliah di pertanian, namun hanya sebagian kecil dari mereka yang ingin bertani. Kalaupun masih berhubungan dengan pertanian, mereka akan lebih memilih untuk menjadi penyuluh pertanian, dosen, kerja di perusahaan agrikultur, bahkan menjadi pegawai bank. Selain itu, banyak ilmu yang diajarkan di perkuliahan tidak relevan dengan kondisi nyata di lapangan.
Apa ancaman yang akan terjadi jika ke depannya Gen Z tidak lagi ingin menjadi petani?
Pertama, seiring bertambahnya usia petani, produktivitas pertanian akan semakin menurun. Kedua, dan ini yang paling mengkhawatirkan, jika tidak ada lagi petani, lahan pertanian akan disewakan kepada perusahaan-perusahaan, dan mereka yang akan mengelolanya. Akibatnya, sistem produksi pangan di Indonesia bisa berada di bawah kendali segelintir perusahaan agroteknologi.
Apakah kurangnya petani indonesia yang menyebabkan Indonesia harus mengimpor beras dari luar negeri?
Masalah Impor beras tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor. Tetapi salah satu penyebab utamanya karena produktivitas produksi beras di Indonesia yang tidak mencukupi kebutuhan. Begitu pula dengan komoditas lainnya seperti jagung yang harus diimpor dari Vietnam karena produksi domestik tidak dapat memenuhi sejumlah mulut yang harus diberi makan.
Apa saja upaya yang telah pemerintah lakukan untuk meningkatkan minat generasi muda untuk bertani?
Sudah ada beberapa program pemerintah yang telah diluncurkan. Namun tampaknya upaya tersebut tidak mempertimbangkan dengan matang saat dirancang. Misalnya program petani milennial Youth Entrepreneurship And Employment Support Services (YESS) dari Kementerian Pertanian yang sering kali menjanjikan kemudahan dalam bertani, iming-iming petani modern dan digital. Namun kenyataannya, bertani ya tetap bertani, memerlukan kerja keras, seperti berurusan dengan tanah, bekerja di bawah matahari, dan menggunakan alat seperti cangkul atau traktor.
Nah, masalahnya sektor pertanian itu mudah membuat orang sakit hati. Apabila ada anak muda yang awalnya sangat tertarik untuk bertani lalu mengikuti program YESS dengan pertimbangan bertani akan lebih mudah, dan setelah melakukan uji coba lalu gagal, pasti mereka akan merasa kecewa. Hal ini ini bisa menjauhkan mereka dari pertanian.
Jadi sebenarnya yang perlu dibangun adalah mindset terlebih dahulu. Daripada alih-alih memberi mimpi tentang bertani milenial, digital, ataupun modern.
Apa yang sebaiknya pemerintah lakukan agar pemuda mau bertani?
Langkah awal yang perlu kita lakukan sekarang adalah mengadakan pendidikan rakyat yang mendidik anak muda, orang tua, petani, dan orang desa untuk berpikir tentang bagaimana memajukan lingkungan desanya. Bukan menimbulkan mindset untuk pergi dari desa. Karena sebenarnya, kalau di Indonesia itu sektor yang paling mungkin menyediakan lapangan kerja skala luas, skala masif itu hanya sektor pertanian.
Selain itu, program-program yang dihadirkan juga jangan bersifat “tabrak lari”. Sudah diberi pelatihan satu kali langsung selesai, karena belum tentu para pemuda itu akan langsung praktik. Jadi memang butuh usaha yang lebih lama dan lebih panjang.
Saat ini kita juga mengenal bahwa pemerintah telah membuka sekolah khusus pertanian seperti Polbangtan bagi mahasiswa yang ingin mempelajari pertanian, apakah hal ini efektif?
Di satu sisi memang memberikan ilmu teknis dalam ilmu pertanian. Namun yang menjadi masalah mereka selalu diajarkan hitung-hitung uangnya terlebih dahulu. Mestinya, pertanian itu menjadi budaya yang dilakukan terus menerus. Makanya bertani disebut juga dengan istilah agriculture.
Jika kita lebih memikirkan usaha taninya terlebih dahulu dibandingkan dengan budidayanya, maka para petani khususnya di Sulawesi Selatan sering menanam komoditas yang paling laku di pasar. Padahal komoditas itu lah yang harganya rawan anjlok. Sebaiknya kita menanam apa yang kita paling paham dengan komoditas tersebut.
Jadi kalau kita bertani dengan baik, biarpun singkong saja yang kita tanam akan tetapi kita terus konsisten, dipelihara dengan baik, paham bagaimana cara perawatan, dan mengatasi hamanya, itu pasti menghasilkan uang.
Apakah memperkenalkan teknologi atau inovasi di sektor pertanian kepada pemuda bisa menjadi solusi atas permasalahan ini?
Saya tidak sepenuhnya setuju bahwa inovasi teknologi saja sudah cukup untuk memajukan pertanian. Meskipun teknologi pertanian seperti drone, irigasi tetes, kecerdasan buatan (AI), dan Internet of Things (IoT) sudah banyak digunakan, pada dasarnya teknologi ini adalah alat bantu. Mindset petani yang sudah baik dan konsisten dalam bertani harus ada terlebih dahulu sebelum alat-alat tersebut diperkenalkan. Banyak alat bantuan dari Kementerian Pertanian yang harganya sangat tinggi hanya menjadi “museum” di desa dan sering kali tidak digunakan.
Inovasi seharusnya muncul setelah kita mengidentifikasi dan memahami masalah yang ada. Inovasi yang datang lebih awal, terutama yang tidak disesuaikan dengan kondisi lokal, sering kali tidak efektif. Misalnya, ketika saya bertani di Kalimantan pada 33 hektar lahan selama beberapa musim, banyak alat pertanian yang saya gunakan ternyata tidak dapat diandalkan. Beberapa alat rusak setelah satu musim penggunaan, dan perbaikannya sulit karena sering kali dibuat dengan perspektif teknis tanpa mempertimbangkan kebutuhan petani.
Contoh lain, alat tanam jagung yang saya beli cepat rusak karena tidak dirancang untuk kondisi tanah yang saya hadapi. Alat-alat yang banyak dipromosikan, termasuk merk-merk Jepang, sering kali tidak memenuhi kebutuhan lokal karena kita mengadopsi teknologi asing tanpa memahami cara perawatannya yang benar. Teknologi dari Jepang memang canggih, tetapi mereka sudah memahami cara merawat dan memeliharanya, sedangkan kita sering kali hanya mencari kemudahan tanpa memperhatikan aspek tersebut.
Apa yang ingin anda sampaikan kepada anak muda, terkhusus Gen Z, terkait bertani?
Pertanian sebenarnya memiliki potensi yang besar, terutama bagi anak-anak muda di desa, karena modal yang diperlukan relatif mudah diakses. Memulai usaha seperti berdagang atau berjualan cenderung lebih sulit dibandingkan dengan bertani. Petani sudah memiliki tanah. Jika tidak ada tanah, terdapat teknik bertani lahan terbatas seperti urban farming dan vertical farming yang sedang dikembangkan.
Sayangnya, banyak anak muda yang tidak melihat peluang ini dan lebih memilih pekerjaan di luar desa. Salah satu kendala utama adalah kurangnya kepercayaan dari orang dewasa di desa terhadap anak muda. Hal ini menciptakan lingkaran setan, di mana anak muda tidak memiliki sesuatu untuk ditawarkan, sementara orang dewasa tidak mempercayai mereka.
Untuk mengatasi masalah ini, anak muda perlu mempersenjatai diri dengan keterampilan teknis yang relevan dan berguna di desa, seperti membantu di kantor desa. Dengan menunjukkan kemampuan dan partisipasi aktif, mereka bisa mendapatkan kepercayaan dari masyarakat desa.
Informasi narasumber:
Karno B. Batiran
Riwayat pendidikan:
Magister Manajemen & Sains, Pembangunan dan Manajemen Pedesaan, College of Humanities and Development, China Agriculture University. 2011
Doktor Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin. 2024