Enam tahun sudah Universitas Hasanuddin (Unhas) berstatus Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH). PTN-BH sendiri merupakan sistem yang dikeluarkan pemerintah berdasarkan Undang-Undang No 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
Status PTN-BH menjadikan Unhas memiliki kemandirian untuk mengelola aset-asetnya. Mulai dari hotel sebelas tingkat sampai hadirnya PT Hadin sebagai holding company berbagai usaha Unhas menjadi bentuk nyata implementasi status itu.
Membuka kembali lembaran lama, Unhas dalam perjalanannya mendapatkan status PTN-BH bukanlah hal mudah. Terjadi pergolakan dalam tubuh Kampus Merah, terlebih antara mahasiswa dan para pemimpin universitas. Berdasarkan terbitan identitas edisi awal Juni 2011, penolakan terhadap Undang-Undang No 12 Tahun 2012 mulai mencuat saat masih berupa Rancangan Undang-Undang (RUU). Penolakan tersebut terutama ramai dari kalangan mahasiswa.
Hingga pada 2014 penolakan mahasiswa semakin masif terlihat saat Unhas mendapatkan mandat dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen-Dikti) kala itu untuk menerapkan status PTN-BH. Dilansir dari berita Identitas edisi akhir Mei 2014, bentuk penolakan mahasiswa dilakukan dengan konsolidasi sampai aksi unjuk rasa. Hingga puncaknya dilaksanakan diskusi antara puluhan lembaga mahasiswa dengan Rektor Unhas kala itu.
Bukan tanpa alasan, penolakan mahasiswa dilandasi keresahan bahwa universitas nantinya akan berorientasi komersial, serta kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tidak berpihak pada mahasiswa. Kampus tidak lagi menjadi tempat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi menjadi instrumen mencari laba.
Lain halnya dengan mahasiswa, Rektor Unhas, Prof Dr Dwia Aries Tina Pulubuhu MA menyatakan Unhas akan kesulitan untuk berkembang jika tidak turut menjajakinya (sistem PTN-BH). “Jadi walaupun kita punya uang kita tidak punya hak untuk menggunakan sepenuhnya. Kalau ada yang tidak jelas menyangkut PTN-BH silahkan datang ke saya dan kita bicarakan baik-baik,” ucapnya.
Berselang dua tahun, Unhas kembali bergejolak saat ratusan mahasiswa menggelar aksi menolak PTN-BH. Dikutip dari berita identitas edisi akhir April 2016, alasan penolakan tersebut masih sama, yakni kekhawatiran komersialisasi kampus. Hal ini ditandai dengan kenaikan tarif sewa asrama mahasiswa, kantin, dan yang lainnya.
Setahun setelahnya, Kampus Merah resmi menyandang status PTN-BH saat Menteri Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti), Prof Drs H Mohammad Nasir Ak MSi PhD bertandang ke Unhas. Tak ayal, mahasiswa kembali melakukan aksi penolakan terhadap perubahan sistem perguruan tinggi itu. Mereka berkumpul di samping Perpustakaan Pusat Unhas kemudian bergerak ke arah Rektorat.
Peristiwa tersebut berujung malapetaka, terjadi bentrok antara mahasiswa dan satuan pengaman (satpam) kampus. Berdasarkan terbitan identitas edisi akhir Januari 2017, bentrok diawali dengan saling dorong antara mahasiswa dan satpam yang berujung pada pemukulan beberapa mahasiswa.
Kini, enam tahun berselang sejak Kampus Merah menyandang status PTN-BH, pro kontra status tersebut masih ada, namun seperti nasi yang telah menjadi bubur, tidak ada yang dapat dilakukan selain melihat ke depan. Harapannya pihak kampus dapat menemukan solusi dan mengurangi dampak negatif yang dikhawatirkan mahasiswa. Jika setiap pihak puas, tidak akan muncul aksi penolakan lainnya bukan?
M. Ridwan