Universitas Hasanuddin (Unhas) resmi berdiri pada 1956. Kampus Unhas semula dibangun di daerah Baraya sehingga dikenal dengan sebutan Kampus Barayya. Namun, semasa Prof Ahmad Amiruddin menjabat sebagai Rektor Unhas, kampus Unhas dipindahkan ke daerah Tamalanrea pada 1973 hingga awal 1980-an.
Pemindahan kampus merah dari daerah Baraya ke Tamalanrea saat itu menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Tak hanya itu, kampus Unhas juga tersandung sengketa tanah dalam pembangunannya. Beberapa diantaranya adalah sengketa tanah pemakaman warga Kera-Kera di sekitar Kantor Lembaga Penerbitan Unhas (Lephas) dan sepetak tanah di Kompleks Perumahan Dosen Tamalanrea yang diselesaikan di meja hijau.
Tak lama kemudian, pembangunan Kampus II Unhas/Rumah Sakit Regional Dr Wahidin Sudirohusodo sekitar 1976 kembali tersandung permasalahan serupa. Sengketa tanah memicu konflik yang cukup serius antara pihak Unhas dan pemilik tanah yang belum menerima hak mereka dalam pembebasan tanah Kampus Unhas Tamalanrea.
Dalam sebuah pertemuan yang diadakan pada 30 Juni 2002, pemilik tanah yang mulai beranjak tua dan para ahli warisnya membahas langkah-langkah untuk menuntut hak mereka termasuk kemungkinan menempuh jalur hukum. Terbitan identitas Awal Juli 2002 mencatatkan pengalaman yang mereka hadapi saat mempertahankan tanahnya pada masa itu oleh salah satu ahli waris, Abdul Hamid SH.
“Dulu, keluarga yang tidak mau pindah dan tetap bertahan menunggu penyelesaian tanah mereka dievakuasi paksa oleh tentara. Tiang rumah mereka diikat, lalu ditarik oleh truk. Ada juga masyarakat dikumpulkan di lapangan terbuka dengan disediakan televisi, lalu ditangkap dan dibawa,” ucapnya kala itu.
Banyaknya ancaman yang diterima oleh warga membuat mereka memilih pindah ke kampung dan tidak lagi mempedulikan tanah mereka. Pada 24 Maret 2002, terbentuklah membentuk Tim Penyelesaian dan Pencari Fakta (TPPF) Kasus Tanah Pembangunan Kampus II Unhas/Rumah Sakit Regional Dr Wahidin Sudirohusodo. TPPF tersebut beranggotakan sekitar 70 orang pemilik tanah dan ahli waris yang telah berusaha hampir dua puluh tahun demi tanah mereka.
Setelah dua bulan bekerja, TPPF yang diketuai oleh Abdul Hamid SH berhasil mengumpulkan sejumlah data dan mengurus surat tanah penduduk yang bermasalah. Dari proses pengumpulan data tersebut, diketahui total tanah seluas 22,379 hektar masih bermasalah.
Dari total luas tanah tersebut delapan hektar di antaranya berstatus tanah milik dan sisanya adalah tanah garapan. Mereka kemudian meminta Camat Tamalanrea agar bersurat ke Unhas untuk membicarakan terkait penyelesaian sengketa tanah tersebut.
Pihak Unhas tampaknya enggan memberikan tanggapan. Mereka kemudian berencana mengirimkan surat kedua yang disertai ancaman bahwa beberapa tanah kosong di Unhas akan dipagari sebagai “sandera” penyelesaian kasus mereka dan bersiap menghadapi jalur hukum.
Menurut Rektor Unhas kala itu, Prof Radi A Gany, masalah tersebut sudah lama selesai. “Jika ingin menuntut, pakailah jalur hukum. Jangan kekerasan,” tegasnya.
Meski Unhas menganggap masalah ini telah selesai, namun para pemilik tanah masih menganggap telah banyak terjadi kecurangan yang menjadi penyebab ketidakcocokan data dengan keadaan sesungguhnya di lapangan.
Konflik sengketa tanah ini kemudian memuncak pada Minggu, 27 Oktober 2002. Sekitar 100 orang berkumpul sambil membawa kayu dan parang dengan penuh amarah. Mereka adalah para pemilik tanah yang menepati sumpahnya untuk menduduki Unhas jika perkara hak tanah mereka belum juga terselesaikan.
Sebelumnya, telah diadakan beberapa pertemuan untuk mencapai kesepakatan dan dibentuklah tim yang melibatkan pihak Unhas, masyarakat dan DPRD untuk melakukan penelitian keadaan tanah berdasarkan data-data dari masyarakat. Namun, dalam perkembangannya, ternyata pihak Unhas telah mengajukan kasus ini ke pengadilan.
Pemilik tanah merasa semakin kesulitan jika kasus ini sampai ke pengadilan karena keterbatasan biaya untuk menyewa pengacara yang dapat membela mereka. Bagi mereka, masalah ini dapat diselesaikan tanpa berbelit-belit hanya dengan pihak Unhas yang mencocokan bukti seberapa luas lahan yang sudah dibayar dengan data yang ditemukan oleh tim mereka.
Karena merasa dikhianati dan tak ada jalan penyelesaian lagi, para pemilik tanah kemudian meminta dukungan pihak mahasiswa melalui beberapa Senat Mahasiswa. Para pemilik tanah juga mulai beraksi dengan memagari lahan sekitar 22 hektar yang terletak di sebelah Fakultas Peternakan dan Fakultas Pertanian yang diklaim sebagai miliknya. Pihak Unhas melalui kuasa hukumnya, Mustafa Bola menegaskan tindakan tersebut dapat dilaporkan kepada polisi untuk diproses lebih lanjut.
Sengketa tanah ini menjadi salah satu tantangan yang dihadapi Unhas dalam membangun hubungan dengan masyarakat. Meskipun pembangunan Unhas menghadapi berbagai lika-liku, namun kini Unhas tetap berdiri sebagai salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Tentunya persoalan semacam ini diharapkan tidak terulang lagi di masa yang akan datang dan Unhas dapat membangun sinergi dengan masyarakat untuk kemajuan bersama.
Ni Made Dwi Jayanti