“Kecil, wajahmu meraut sedih
Siapa yang berlayar pergi
Melatihmu sendiri
Menertawakan sunyi
Sampai hatimu lupa terbiasa perih”
Lirik diatas merupakan bait pembuka dari lagu berjudul “Seperti Tulang” oleh Nadin Amizah, musisi muda yang namanya perlahan melesat di belantika musik Indonesia. Lagu ini bukan sekadar rangkaian nada dan kata, tetapi juga memoar pribadi sang penyanyi. Sebuah kisah tentang luka yang tak sepenuhnya sembuh.
“Seperti Tulang” menjadi salah satu lagu yang saya rasa liriknya begitu magis. Lagu ini mengilustrasikan tentang manusia layaknya seorang penipu mahir. Penipu mahir yang begitu lihai dan pandai menyembunyikan luka-luka dalam tawanya. Namun, tak peduli seberapa keras upayanya, luka itu tetap ada dan tak akan benar-benar hilang.
“Kecil, seorang penipu mahir
Sehingga tak ada lagi tanya
Apakah kau tak apa
Menertawakan rintih
Sampai ragamu lupa
Terbiasa letih”
Dalam lagu ini, ‘Kecil’ adalah simbol manusia. Sebagai seorang penipu yang mahir, ia gemar sekali berbohong. Ia tertawa, tetapi hatinya terluka. Pertanyaan yang menghantuinya pun tetap sama: siapa yang meninggalkan bekas luka itu? Seperti sebuah mekanisme bertahan hidup. Bukan berarti lukanya sembuh, melainkan ia hanya terbiasa menanggungnya.
“Menertawakan rintih” adalah ironi yang menyayat. Kesedihan yang bertumpuk-tumpuk itu justru menjadi lelucon yang membuatnya mati rasa. Pada akhirnya, tubuh dan jiwanya menerima keletihan sebagai bagian dari hidup.
“Tawa harusnya meminta maaf
Padamu yang lama ia tinggalkan.”
Bukannya membawa kegembiraan, ia merasa tawa justru kembali sebagai perasaan yang canggung. Seakan menyadari bahwa dirinya telah lama meninggalkan sosok yang seharusnya ia bahagiakan.
Lagi-lagi, kupikir lagu ini hanya akan mengajarkan memaknai kesedihan si penipu mahir yang lihai menutupi lukanya. Sang ‘Kecil’ ternyata belajar mengikhlaskan. Seperti tulang yang patah, rasa sakitnya mungkin menyiksa di awal. Ia butuh waktu dan ruang untuk menyatu dengan caranya sendiri.
Dan saat ia akhirnya pulih, akan selalu da bekas yang tetap tinggal. Mungkin seperti sebuah gurat tipis yang tak bisa dihapus atau seperti kenangan yang tak ingin pergi. Ia tak lagi melawan, tetapi mengizinkan dirinya sendiri untuk tumbuh meski perih.
Dalam dunia medis, ketika tulang mengalami cedera tubuh akan membentuk kalus (sebuah jaringan baru yang tumbuh untuk menyatukan kembali bagian yang terpisah). Proses ini memakan waktu, melewati fase peradangan, perbaikan, hingga akhirnya pemodelan ulang. Tulang yang telah patah tak benar-benar kembali seperti semula seolah mengingatkan pernah ada bagian yang hancur sebelum akhirnya menyatu kembali.
Begitu pula dengan kehidupan. Seperti halnya tulang yang patah, ada peristiwa-peristiwa yang menggoreskan jejak dalam diri dan memaksa kita melewati fase kesakitan sebelum akhirnya menemukan cara untuk berdamai. Karena itulah, tak heran jika manusia sering kali merasa akrab dengan kesedihan. Tapi benarkah kesedihan menjadi salah satu objek paling manusiawi dalam memahami segala peristiwa?
Atau adakah penipu mahir di antara kita?
“Tak sepenuhnya pernah sembuh, dari luka…”
Lirik ini benar-benar menyadarkan bahwa nyatanya luka yang pernah didapatkan tak pernah sembuh seutuhnya. Manusia hanya terlalu pandai menutupinya. Ada banyak penipu mahir diantara kita, menjelma seperti sosok Kecil yang cakap menipu diri. Berharap hidup baik-baik saja, karena nyatanya berbohong memang telah menjadi kawan lama manusia.
Mungkin terdengar klise, tetapi luka-luka itu tak selalu perlu dihilangkan agar bisa sembuh. Ada kalanya ia harus disimpan di salah satu sudut ruangan yang ada di dalam diri, agar kiranya kita semua dapat lebih berbesar hati.
Di lain sisi, lagu ini adalah tentang kita semua, tentang penipu mahir di antara semua. Lahir dengan tulang ringkih yang selalu berharap agar kuat atas segala benturan. Namun siapa sangka justru luka-luka tersebut kini menjadi serpihan yang menguatkan dan mengiringi langkah-langkah setiap dari kita untuk tetap bertahan.
Lewat lagu Seperti Tulang, Nadin seolah ingin menuturkan kisah luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Rasa sakitnya tak serta-merta hilang, melainkan menetap dalam bentuk lain. “Seperti tulang yang patah dan tumbuh tidak sempurna,” begitu lagu ini diakhiri dan lewat tulisan ini menjadi harap untuk kita semua agar tetap tumbuh, walau beberapa luka tak benar-benar sembuh.
Nur Muthmainah
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Reporter PK identitas Unhas