Sebuah upaya baik bagi pemerintah dalam pengendalian Covid-19, tidak selalu dianggap sebagai kebaikan bagi masyarakat. Setiap orang selalu berdiri dengan pendirian yang didasari pada preferensi dan latar belakang masing-masing. Itu kemudian yang membentuk opini, sikap dan tindakan.
Opini maupun persepsi yang terbentuk sebagai sebuah sudut pandang bisa memiliki rentang kendali yang sangat lebar. Mulai dari sangat setuju hingga sangat tidak setuju, seperti dalam skala likert. Pandangan perorangan akan selalu dilatari pada keluasan wawasan dan literasi kesehatan yang dimiliki.
Mengapa ada serangan hoaks terhadap program pengendalian Covid-19? Hal ini karena keragaman daya tangkap warga terhadap program yang ditawarkan oleh pemerintah. Satu program bisa multi perspektif. Karena itu, selalu dipaparkan bahwa pemilihan istilah nilai, norma dan bentuk verbal terhadap sebuah kebijakan yang akan diluncurkan harus dapat dipahami dengan bahasa yang sintas, tidak multi tafsir, sederhana dan tidak bersifat konotatif.
Penguatan literasi kesehatan menjadi sebuah keniscayaan pada darurat kesehatan masyarakat ini. Memberikan akses seluas luasnya kepada warga untuk mengakses informasi yang benar tentang masalah kesehatan. Selanjutnya, warga secara mandiri dan kesadaran penuh mengikuti anjuran kesehatan tanpa tekanan.
Penyimpangan atau bias informasi termasuk hoaks Covid-19 dapat terjadi di sumber informasi, saluran informasi dan penerimanya. Bentuk hoax juga semakin variatif dari media offline hingga video.
Pembuatan kontent hoaks memiliki banyak motif, dari yang sifatnya kejahilan, meningkatkan follower, bisnis, menjatuhkan lawan politik, serangan aqidah, hingga untuk menghancurkan suatu bangsa.
Ancaman hoaks bagi program Covid-19 tentu berdampak buruk terhadap capaian cakupan program. Kepercayaan warga yang turun hingga tingkat partisipasi terhadap protokol kesehatan yang semakin luntur.
Secara sederhana hoaks dapat dikendalikan dengan meningkatkan daya ktitis terhadap informasi yang diterima. Perhatikan sumber informasinya, apakah berasal dari sumber yang terpercaya misalnya lembaga resmi pemerintah atau NGO.
Perhatikan isi pesannya, apakah bersifat agitatif atau informatif. Isi pesan yang baik bersifat netral. Cermati pesan secara keseluruhan, hati-hati jebakan judul yang profokatif. Nilai kembali kemanfaatan informasi yang diterima. Kalau memberikan manfaat yang baik, dipertimbangkan untuk dibagikan ke sejawat yang dianggap membutuhkan. Kalu dinilai tidak bermanfaat, jangan disiarkan.
Jadilah bagian dari yang memberikan solusi terhadap masalah yang sedang di hadapi bangsa ini. Karena sejatinya berita hoaks adalah serangan terhadap kehidupan kebangsaan. Menimbulkan kegaduhan, keresahan warga hingga adu domba adalah target utama setiap penyimpangan berita atau hoaks.
Seiring perkembangan waktu dengan kecepatan transformasi informasi yang bersifat multi platform, memberi konsekuensi pada penerima informasi atau pemirsa. Setiap pembaca informasi harus menempatkan diri secara proporsional kritis dalam menanggapi setiap perkembangan berita. Sehingga tidak hanyut dalam pemikiran yang sempit.
Situasi berkembang sangat dinamis, bahkan diluar prediksi sebelumnya. Simpul simpul peradaban termasuk simpul berita akan bergeser drastis dari single sources menjadi multiple sources. Sehingga setiap orang akan menjadi pewarta sekaligus permirsa di ruang ruang media yang beragam.
Prinsipnya dengan otoritas pengelolaan sumber berita, saluran berita dan penerima berita dalam diri setiap orang yang sangat tinggi maka literasi media sangat penting. Self dan locus control setiap orang harus jauh lebih matang untuk tetap menyarring aspek baik,, buruk, etik dan normative sebuah berita yang di tayangkan.
Penulis Ridwan Amiruddin,
Merupakan Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia Sulsel,
Ketua tim ahli pengendalian Covid-19 Sulsel,
Dan Ketum Persakmi Indonesia.