Eksistensi Bissu di Sulawesi Selatan kian terancam. Jumlah Bissu dari tahun ke tahun terus menurun. Laporan media online detik.com pada 2019 menyebut, keberadaan Bissu yang awalnya berjumlah 40 orang kini terus mengalami penurunan menjadi 5 orang saja.
Dalam tradisi Bugis, Bissu adalah entitas yang unik. Mereka tidak sepenuhnya laki-laki, namun juga tidak sepenuhnya perempuan. Mereka memiliki peran spiritual yang signifikan terutama dalam ritual-ritual adat, dan dianggap sebagai perantara antara dunia manusia dan dunia dewa. Bagi masyarakat Bugis, Bissu adalah sosok yang sakral, dihormati, dan ditakuti.
Namun modernitas membuat eksistensi Bissu semakin menurun. Ada tiga faktor yang menyebabkan hal tersebut. Pertama, delegitimasi Bissu akibat adanya transisisi formal istana kerajaan menuju sistem politik modern pada tahun 1957 di Sulawesi Selatan. Kondisi ini menyebabkan Bissu kehilangan sumber penghidupan mereka dari lingkungan kerajaan.
Kedua, adanya operasi taubat yang dilakukan oleh Darul Islam/Tentara Islam Indonesi (DI/TII) Sulsel pimpinan Kahar Muzakkar pada 1960-an. Bissu dipaksa untuk menjadi laki-laki dengan diancam dianiaya atau dibunuh. Peralatan mereka juga dihancurkan dengan dibakar dan dibuang ke laut. Dan yang terakhir adalah penyebaran ideologi modernitas yang lebih mengedepankan ilmu pengetahuan dan pendidikan modern.
”Mereka semakin termarjinalisasi akibat rasionalisasi budaya dan didorong oleh Ipteks,” kata Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Dr. Andi Muhammad Akhmar SS MHum kepada identitas, Jumat (26/07).
Keberadaan Bissu yang semakin terancam dan termarjinalisasi membuat Akhmar mencoba meneliti lebih jauh terkait upaya Bissu dalam menghadapi tantangan tersebut. Dalam penelitiannya, ia kemudian menemukan bahwa Bissu terus berupaya resisten dalam menghadapi perkembangan zaman. Salah satu caranya adalah melalui pertunjukan Sere Bissu Maggiri’.
Ajang Unjuk Kesaktian dan Visiabilitas Gender
Sere Bissu Maggiriq (SBM) merupakan sebuah ritual tari (sere) yang dimainkan oleh para Bissu. Ritual ini umumnya dilakukan oleh 4 hingga 24 Bissu. Mereka menari untuk meminta izin, berdoa, dan menyembah kepada dewa-dewa agar mendatangkan kemakmuran dan menjaga kehidupan.
Di masa lalu, pelaksanaan SBM biasanya hanya dilakukan dalam acara-acara penting, seperti mappalili arajang (ritual penanaman padi) di Pangkep dan mattompang arajang (ritual penobatan raja) di Bone. Namun saat ini, SBM telah berkembang menjadi pertunjukan dalam acara budaya dan festival seni, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
Satu hal yang menarik sekaligus menjadi unsur utama dari SBM adalah “maggiriq”. Penampilan ini dilakukan dengan menusuk diri menggunakan benda tajam sebagai bukti bahwa Bissu memiliki roh dewa dalam tubuh mereka.
Setelah melafalkan mantra, Puang Matowa yang merupakan pemimpin Bissu bersama Bissu pasere (pendamping Bissu) membentuk formasi melingkar. Mereka kemudian melakukan gerakan yang disebut dengan sere lemmaq atau gerakan halus. Gerakan ini bertujuan agar roh dapat masuk ke dalam tubuh para Bissu.
Saat ketukan genrang (gendang) meningkat, Puang Matowa serta Bissu pasere menarik keris dari pinggang. Mereka kemudian menusukkan keris ke bagian-bagian tubuh yang lembut seperti kelopak mata, telapak tangan, leher, perut, dan paha tanpa berdarah.
Formasi melingkar dari awal tiba-tiba bubar ketika para bissu pasere bergabung dengan Puang Matowa untuk melakukan maggiriq dan berhamburan mengelilingi panggung. Ritual ini berakhir saat irama genderang mulai melambat. Puang Matowa kembali ke formasi melingkar dan perlahan sadar kembali.
Selain atraksi debus, SBM juga berupaya memperlihatkan visiabilitas gender Bissu. Dalam setiap pertunjukkan, Bissu seringkali menggunakan riasan wajah. Riasan ini memperlihatkan aspek feminitas Bissu dan memungkinkan mereka untuk menampilkan keahlian dalam menjaga riasan yang tahan lama dan tanpa noda. Mereka bahkan dijuluki sebagai indo botting atau ahli kecantikan.
”Ini berpengaruh kepada masyarakat bahwa bagus juga kalau perias pengantin itu Bissu karena ada kesaktiannya dan kualitasnya. Meskipun kesaktiannya tidak rasional,” kata Akhmar.
Sementara itu, pilihan pakaian selama pertunjukan mengungkapkan aspek maskulin para Bissu. Penggunaan baju bodo lengan pendek memungkinkan mereka untuk memamerkan tubuh kekar mereka. Sementara jas tutup lengan panjang memungkinkan mereka untuk tampil seperti pria.
Bissu Melawan Modernisasi
Pertunjukan SBM saat ini telah menjadi instrumen penting bagi Bissu untuk menunjukkan eksistensi mereka. Kurangnya perhatian terhadap Bissu sebagai bagian dari aspek budaya dapat kembali diperlihatkan melalui pertunjukan SBM tersebut.
“Untuk bangkit dalam situasi seperti sekarang ini, satu cara yang strategis untuk mendapatkan pengakuan adalah melalui pertunjukan SBM. Cara ini efektif untuk dilakukan,” tutur Akhmar lagi.
Perkembangan zaman yang semakin modern telah mengaburkan status SBM sebagai bahan ritual dan pertunjukan. Beberapa orang mengkritik pergeseran ini, dari hal yang sifatnya sakral menjadi hanya sekadar tontonan semata.
Halilintar Lathief misalnya, dalam bukunya berjudul Maggirik Tari Ekstase Bugis (2009), berpendapat bahwa pemerintah kini “menjual” Bissu sebagai suvenir, sementara partai politik menggunakannya untuk memenuhi kepentingan mereka. Hal ini membuat SBM kehilangan orisinalitasnya.
“Ini ada kaitannya dengan politik. Itu tergantung siapa yang mau jadi bupati atau gubernur. Kalau pemimpin politik tidak suka yang semacam ini ya dia tidak punya tempat untuk pertunjukan,” kata Akhmar.
Terlepas dari hal itu, pengadaan ritual dan pertunjukan ini memberikan para Bissu peningkatan visibilitas dan memungkinkan mereka untuk secara bertahap dikenali oleh publik. Akhmar menilai bahwa langkah ini juga termasuk dalam agenda pemajuan kebudayaan nasional. Dengan demikian, manfaat yang diperoleh dari pertunjukan SBM bisa dirasakan oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya, bukan hanya untuk Bissu, tetapi juga untuk bangsa dan negara.
Zidan Patrio