Gadis tomboi yang sejak siang datang bersama lelaki berperawakan lebih muda darinya duduk di dekat pintu masuk warkop, dan tanpa aku sadari telah dikelilingi oleh beberapa orang berseragam hitam putih. Tampaknya, mereka yang berseragam hitam putih itu merupakan mahasiswa baru, sebab seluruh anak laki-laki di situ berkepala plontos, sedangkan perempuan mengenakan pita kuning di lengan kiri mereka.
Penampilan mereka hampir sama dengan penampilan saya beberapa tahun silam, saat menginjakkan kaki sebagai mahasiswa baru di dunia perkuliahan. Meskipun aku harus berhenti sebelum semester dua. Menurut saya perkuliahan belum tentu menjamin cita-cita, malah hanya menghambat keinginanku untuk kaya di usia muda. Ditambah lagi, hampir setiap hari merasa jengkel dengan perlakuan senior yang berlaku semena-mena. Aku dikenal sebagai pembangkang, karena acap kali menentang aturan mereka yang terlampau mengada-ada.
Sembari telunjuk dan pandangannya mengarah ke atas kepalaku, bibir gadis itu bergerak seolah sedang menjelaskan sesuatu kepada orang-orang itu. Tampaknya mereka sedang membincangkan sesuatu yang ada di atas kepalaku. Hal itu terjadi beberapa kali. Merasa tidak nyaman, aku segera memutar badan dan mendongak, melihat apa yang sebenarnya menjadi objek pembicaraan mereka. Terlihat, gambar seorang pemuda kekar tak berbaju dengan ikat kepala merah, dan tongkat tergenggam di tangannya, tergantung tepat sejajar dengan kepalaku. Gambar Arung Palakka.
“Akhhhhh! Penghianat bangsa”
Sontak memaki dengan nada lumayan tinggi, saat pandangan kembali kualihkan ke judi online di laptopku dan mendapati uang dalam rekening hampir habis. Uang itu hasil menjadi buruh pembangunan rel kereta api Trans Sulawesi bulan lalu. Setelahnya, saya hanya membating sebab sadar hampir seisi warkop menatapku akibat teriakan tadi. Meskipun tatapan mereka tidak berlangsung lama, tetapi aku rasa cukup untuk menciutkan nyali.
“Untuk apa warkop ini memajang lukisan penghianat bangsa yang mau kerja sama dengan penjajah?”
Sekali-kali, aku melirik ke arah orang-orang yang kini melanjutkan kesibukannya masing-masing. Aku pun berusaha kembali fokus untuk melanjutkan permainan. Chip di akun saya lagi-lagi menipis, sehingga segera menuju anjungan tunai mandiri atau atm untuk melakukan deposit dengan tekad mengejar dan mengambil kembali uang-uang yang sudah banyak direbut oleh pemain lain, karena admin sialan yang tak pernah memberi aku kartu bagus.
***
Sore hari, menjelang pertengahan November, langit baru saja berhenti mencumbu bumi, meninggalkan genangan pada jalan paving block yang belum juga dirampungkan. Aku dan Maman yang sore ini punya agenda berdiskusi dengan beberapa mahasiswa baru Jurusan Ilmu Sejarah perihal penyerangan Belanda terhadap Kerajaan Bone dan Gowa di awal Abad XX,
Kami datang ke warkop lebih awal, Maman memilih tempat duduk di dekat pintu masuk, sebab area itu cukup luas dan asik untuk dijadikan tempat diskusi. Kukeluarkan rokok yang Maman belikan, sebagai hadiah karena tidak banyak mengeluh ketika aku haid bulan lalu. Dua gelas kopi hitam tak bergula menjadi satu-satunya pesanan kami di hari menjelang tanggal tua ini.
Tatkala menunggu mereka yang katanya akan datang selepas hujan reda, sedikit-banyaknya kami membahas kemerdekaan Makassar yang kebetulan beberapa hari mendatang akan kembali diperingati. Maman yang sejak beberapa menit lalu gelisah tetapi masih tetap berbicara panjang lebar, menceritakan kemerdekaan Makassar sampai menjelaskan sejarah kerajaan-kerajaan di Sulawesi Bagian Selatan, segera mengangkat tubuhnya yang tidak tahan lagi menahan resah.
“Eh, Ika! saya ke toilet dulu nah”
Aku hanya mengangguk, sebab harus menjepit rokok ketiga yang tegak pasrah menanti nyala api menghabisinya. Tatapanku mengikuti jalan Maman hingga ia masuk toilet.
“Aku mulai menyukainya, lelaki yang cukup pendiam seperti dia, sangat cocok dengan gadis rewel sepertiku” itu yang kupikirkan.
Selepas mengikuti Maman, tatapanku tidak segera kualihkan di atas meja atau tempat yang lebih dekat. Kubiarkan ia berkelana menyusuri seisi warkop, dan tiba-tiba memilih berhenti pada lukisan Arung Palakka yang tergantung di pojok kiri ruangan.
Kubiarkan tatapanku melanjutkan perjalanannya, menyusuri setiap sisi warkop, melihat banyak orang yang menurutku sedang membincangkan Pilkada, yang akan digelar Desember di Kota Makassar. Lelah berkelana, dia kubiarkan kembali bersama para mahasiswa baru yang dari tadi kami tunggu, sementara Maman belum juga kembali dari toilet. Kupersilakan mereka duduk di bangku yang sudah kuminta untuk dikosongkan oleh penjaga warkop.
Sembari menunggu Maman kembali, aku melontarkan pertanyaan kepada para mahasiswa yang kelihatannya kaku. Pertanyaan itu didapati saat aku menatap menyusupi kepulan asap rokok yang kumainkan, kembali menancap pada lukisan di pojok ruangan itu
“Eh, menurut kalian bagaimana Arung Palakka?”.
BACA JUGA : Pahit Manis Perjuangan Revolusi Uruguay
BACA JUGA : Bangun Personal Branding demi Masa Depan
***
Maman harus menghentikan langkahnya di meja tak jauh dari tempat kami duduk, lantaran suara teriakan pria berumur sekitar 30-an. Sejak tadi laki-laki ini duduk di sudut ruangan dan berapa kali ke atm samping warkop ini. Dia juga sempat membalik-balikkan badannya dan mendongak, melihat gambar Arung Palakka yang baru saja kami bicarakan. Suara lelaki itu samar-samar ku dengar mengatakan kembali “penghianat bangsa”.
Aku menahan senyum, memperhatikan ekspresi orang-orang seisi warkop, termasuk para mahasiswa baru yang belum juga sempat menjawab hal yang kutanyakan. Kuperhatikan semua orang menatap heran lelaki itu. Namun semua itu tidak berlangsung lama. Dia segera berdiri berjalan kembali menuju atm, dan Maman sudah duduk kembali tepat di hadapanku. Hanya menebar sedikit senyum dan melirik ke arahku, Maman langsung memulai pembicaraan.
“Jadi, ketika Belanda diserang oleh Napoleon Bonaparte sekitar Tahun 800-an, Raja William V lari ke Inggris. Posisi Belanda melemah, dan akhirnya Hindia Belanda diambil alih oleh Inggris. Usaha mereka untuk menguasai seluruh Hindia Belanda itu, hingga Sulawesi Bagian Selatan ini. Namun, Kerajaan Bone menolak kedatangan Inggris itu, sehingga Inggris berusaha memperkuat Kerajaan Gowa, menguatnya Bone yang berlokasi di pedalaman mengakibatkan melemahnya Kerajaan Gowa. Meskipun upaya mereka itu sebenarnya bukan betul-betul untuk membantu Gowa agar mencapai kembali kejayaannya”
“Iya, teman-teman” aku menyambung cerita Maman.
“Lagi pula Inggris tidak lama di ‘Indonesia’, setelah itu Hinda Belanda kembali juga ke Sulawesi Bagian Selatan. Mereka membantu Gowa juga. Mungkin boleh dikata, mereka bekerja sama dengan Gowa untuk menyerang Bone, meskipun pada akhirnya pada permulaan abad XX Bone dan Gowa dibombardir oleh Belanda”
***
Lelaki di sudut ruangan itu tiba-tiba kembali berteriak, “Bajingan! penghianat”
Aku dan Ika hanya saling tatap dan tersenyum sementara seluruh isi warkop kembali memandanginya lebih lama, termasuk adik Mahasiswa yang baru pulang dari acara pembukaan Rapat Kerja Himpunan Ilmu Sejarah.
Ana, salah satu dari mereka yang turut hadir untuk berdiskusi, tiba-tiba memecah keheningan dengan langsung memantik tawa kami akibat pertanyaannya yang begitu polos.
“Jadi, siapa sebenarnya pengkhianat ini kak?”
Teman-temannya yang dari tadi tampak kaku, tidak dapat menahan diri untuk menertawai teman mereka itu. Sementara itu Ana tersipu.
Belum juga sempat kami menyelesaikan tawa, lelaki yang agaknya sedang mengalami masalah dengan emosinya itu segera pergi meninggalkan warkop. Ika tertawa sepuas-puasnya melihat ia pergi terseok-seok, semacam orang yang baru saja kalah berjudi.
Beberapa menit setelahnya, kami melanjutkan diskusi. Teman-teman pun kini kembali fokus untuk melanjutkan pembahasan. Diskusi meluas mencari tahu siapa sebenarnya pengkhianat dalam perjalanan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Bagian Selatan.
Penulis adalah Tulus La Mbuna lahir Muna,
mahasiswa Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin,
angkatan 2017