Ketua Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Sidney Jones, mengunjungi Rektor Unhas, Prof Dr Dwia Aries Tina Pulubuhu MA. Kunjungan ini dimaksudkan untuk berdiskusi tentang penculikan di Laut Sulu, Filipina yang menimpa Warga Negara Indonesia (WNI) asal Buton.
Diskusi yang berlangsung di Ruang Rektor, Lantai 8 Gedung Rektorat Unhas, Senin (27/01) ini dihadiri pula oleh Antropolog Unhas (Dr Tasrifin Tahara MSi) dan Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Keuangan, dan Infrastruktur (Prof Ir Sumbangan Baja M Phil PhD).
Sidney Jones yang juga pakar dan peneliti terorisme di Asia Tenggara itu juga menjelaskan, kejadian penculikan WNI, khususnya warga Buton dan Wakatobi ini tidak menjadi suatu isu di Indonesia. Ia menduga, kelompok teroris yang bertanggung jawab atas penculikan warga Buton ini ialah kelompok Abu Sayyaf. Kelompok yang berbasis di Filipina tersebut menjadikan perairan Malaysia sebagai area operasi. Sedangkan WNI yang berprofesi sebagai Anak Buah Kapal (ABK) di kapal perikanan Malaysia sebagai target penculikan.
“Aksi ini terus berulang di area dan waktu yang berdekatan. Kejadian ini seharusnya dipandang lebih serius lagi, sudah sepatutnya tiga negara (Indonesia, Filipina, dan Malaysia) duduk bersama dan membicarakan kembali pokok permasalahan dan bagaimana penyelesaiannya,” jelas Sidney.
Pemerintah Indonesia, Filipina, dan Malaysia sendiri telah menandatangani Trilateral Maritime Patrol (TMP) sejak tahun 2017 lalu. Di mana ketiga negara akan melakukan patroli di perairan perbatasan ketiga negara (Perairan Sabah dan Laut Sulu). Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan keamanan agar tidak ada celah bagi para kelompok lainnya untuk melakukan penculikan.
Sejak tahun 2016, tercatat sekitar 50 WNI telah diculik di sekitar perairan tersebut. Sementara, nilai tebusan untuk tiap WNI yang diminta oleh Kelompok Abu Sayyaf mencapai 3 Miliar Rupiah. Kasus terakhir terjadi pada tanggal 16 Januari 2020, dimana lima orang WNI asal Pulau Buton kembali menjadi korban penculikan.
“Ini lebih dari sekadar penculikan, ada permainan politik di belakangnya. Namun untuk menyelesaikan permasalahan ini tidak mudah, kita harus menelusuri banyak hal,” Kata Sidney.
Rektor Unhas, Prof Dwia yang juga mendalami studi konflik menjelaskan bahwa ada banyak aspek yang terlibat dalam penculikan yang melibatkan tiga negara ini. Sebagai institusi pendidikan tinggi yang harus memberikan sumbangsih kepada masyarakat, sudah sepatutnya Unhas mengambil peran dalam penyelesaian masalah ini.
“Dari penjelasan Sidney, kita bisa melihat bagaimana warga Buton yang telah merantau bekerja di kapal Malaysia ini diperlakukan tidak adil oleh kapten kapal mereka sendiri, bagaimana mereka menjadi korban. Inilah tugas kita, untuk menyampaikan dan membuat publik menjadi aware bahwa ada kejadian yang seperti ini,” jelas Prof Dwia.
Guru Besar Sosiologi ini juga menegaskan kesiapan Unhas untuk memfasilitasi, baik dialog maupun diskusi yang menghadirkan pakar-pakar ilmu sosial bidang penyelesaian konflik. Selain pakar, dalam dialog ini perlu mengundang tokoh asli daerah yang memahami betul serta memiliki kedekatan, baik secara geografis maupun emosional. Hasil dialog dan diskusi ini nantinya akan diberikan kepada pemerintah sebagai bahan pertimbangan untuk penyusunan strategi.
Wandi Janwar