Lebih dari 17 juta orang di seluruh dunia menderita Cerebral Palsy (CP) atau kelumpuhan otak. Di Indonesia, terdapat 1-5 dari 1000 angka kelahiran hidup juga mengalami hal yang serupa.
CP merupakan kondisi kelainan yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk bergerak dan menjaga keseimbangan dan postur tubuh. Menurut Center for Disease Control and Prevention pada 2021, sebanyak 40,8 persen penderita mengalami gangguan motorik dasar dan 33,3 persen tidak memiliki kemampuan berjalan sehingga kelumpuhan otak ini menjadi penyebab gangguan motorik paling umum pada anak di dunia.
Dari permasalahan tersebut, mahasiswa Program Studi Fisioterapi Unhas bersama tim, yang terdiri dari 5 orang anggota, membuat sebuah inovasi yang dapat membantu intervensi terapi pada penderita Cerebral Palsy pada anak. Inovasi ini dikompetisikan dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dan Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) ke-36 di Universitas Padjadjaran tahun 2023.
Inovasi ini diberi nama Smart Skeleton yang dirancang berdasarkan prinsip Neurodevelopmental Therapy (NDT), yang terdiri dari tiga prinsip utama, yaitu inhibisi gerak dan postur abnormal, fasilitasi gerak penderita, dan stimulasi sistem saraf.
Ketua Tim, Anjaswari Resti Arimbi menyebut, awal mula munculnya ide Smart Skeleton ini muncul setelah melakukan observasi di salah satu Yayasan Peduli Anak Cacat (YPAC) di Kota Makassar. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukannya, anak-anak CP cenderung merasa tidak nyaman saat melakukan terapi di sana karena alat yang digunakan terbilang kurang kompatibel untuk usia tumbuh kembang anak.
“Jadi waktu PKM itu saya langsung kepikiran untuk buat sebuah alat yang menerapkan metode NDT yang dipakai sama fisioterapis dalam menangani semua pasien CP. Rehabilitasi anak dengan cerebral palsy itu membutuhkan waktu yang panjang, jadi dia terapinya itu seumur hidup,” ungkapnya.
Teknologi yang dapat membantu anak CP ini sebenarnya telah banyak dibuat di berbagai negara, di antaranya adalah orthosis, walking frame, exoskeleton, dan atlas pediatric exo. Namun, alat yang dibuat oleh tim PKM ini memiliki keunggulan tersendiri yang membedakannya dengan penemuan sebelumnya.
Smart Skeleton ini memiliki keunggulan yang belum ada pada penemuan sebelumnya. Alat ini menerapkan tiga prinsip dari NDT serta menggunakan servo motor terbaik dan termurah di kelasnya dengan torsi yang cukup besar, yakni sekitar 21,8 kilogram/centimeter.
Selain itu, alat ini juga menggunakan brace yang berfungsi untuk menahan posisi anatomis anak. Brace pada alat ini menggunakan bahan yang tidak iritan dan dapat dilepas pasang sehingga kehigienisan dapat terjaga dengan dicuci.
“Pada Smart Skeleton ini kami menambahkan electrical Stimulation sebagai stimulasi sistem saraf sensorik dan motoriknya bagi anak penderita CP, karena untuk mencapai sebuah peningkatan motorik, kita butuh mengaktivasi Sensor Motorik Integration (SMI),” imbuhnya.
Perempuan yang disapa Ara itu menyebut, Smart Skeleton ramah digunakan karena menggunakan karbon fiber yang terbukti kuat dan ringan untuk menahan beban hingga 4000 newton. Alat ini juga dilengkapi dengan sensor jarak untuk mendeteksi objek yang berbahaya bagi penggunanya. Sensor pada alat ini dapat mendeteksi objek yang berada di depan dengan jarak sekitar 2 centimeter sampai 4,5 meter dengan catatan objek tersebut rata dan besar.
“Sensor ini terhubung dengan buzzer seperti bel yang akan berbunyi ketika berada di dekat objek. Sensor ini juga memiliki sifat yang sama dengan mobil, kalau semakin dekat dengan objeknya bunyinya juga akan semakin cepat dan nyaring sehingga kami rasa ini sudah bisa memberikan keamanan yang cukup bagi pengguna,” kata Ara.
Terkait daya tahan Smart Skeleton ini, mahasiswa fisioterapi Unhas itu mengungkapkan, aktuator yang menjadi penggerak pada alat ini dapat digunakan selama 4-5 jam dengan waktu pengisian ulang hanya kurang dari 1 jam. Waktu penggunaan ini terbilang cukup untuk seluruh rangkaian pada Smart Skeleton dengan yang disesuaikan dengan dosis terapi.
Meskipun Smart Skeleton ini masih belum di uji langsung pada penderita CP, alat ini telah melalui berbagai macam uji fungsi. Uji fungsi ini mencakup uji sistem elektrikal dan sistem mekanikal untuk mengetahui apakah servo motor dapat bekerja dengan baik sesuai dengan derajat range of motion yang dibutuhkan oleh penderita CP.
“Kami lakukan pemeriksaan sudut gerak dan juga menguji arus yang dikeluarkan oleh stimulasi listrik, apakah memenuhi dosis untuk penderita CP atau tidak,” jelasnya.
Meskipun alatnya belum diujicobakan langsung terhadap penderita CP, ia tetap menyimpan harapan akan pengembangan alat ini lebih lanjut. Ara berharap agar alat yang dibuatnya ini dapat diuji langsung keefektifannya pada penderita CP dengan jangkauan penggunanya yang lebih luas lagi.
“Sebenarnya alat ini dapat dicobakan ke penderita CP, tapi menurut kami ini masih butuh pengembangan lebih lanjut untuk menghasilkan sebuah alat yang memang benar-benar kokoh dan kompeten,” tutupnya.
Jum Nabillah