Sudah tak terhitung lagi berapa banyak kendaraan yang keluar masuk di kampus Universitas Hasanuddin (Unhas) setiap harinya. Semua kendaraan bebas berlalu-lalang melintasi pintu Unhas. Namun, hal ini berubah ketika Covid-19 mewabah, dan wilayah Kampus Tamalanrea Unhas masuk ke dalam zona merah yang menjadi area rawan penularan. Fasilitas kampus seperti sarana olahraga yang biasanya bebas digunakan masyarakat akhirnya ditutup.
Bahkan beberapa waktu lalu, Unhas mengumumkan akan menerapkan kebijakan untuk akses keluar masuk kampus. Kebijakan ini berupa pembatasan untuk masyarakat umum yang akan diberlakukan baik di Kampus Tamalanrea maupun Kampus Fakultas Teknik Gowa.
Kendaraan yang diperbolehkan memasuki wilayah kampus adalah milik sivitas akademika Unhas yang menggunakan stiker hologram. Stiker ini dapat diperoleh melalui unit kerja masing-masing. Khusus untuk pengunjung termasuk jasa pengantaran, akan diberikan entry pass ketika masuk dan dikembalikan setelah keluar dari wilayah kampus. Stikerisasi atau pelabelan tersebut bertujuan untuk membatasi jumlah kendaraan di wilayah kampus, memaksimalkan lahan parkir, menciptakan lingkungan kampus yang lebih nyaman, serta meminimalisir penyebaran Covid-19.
Namun, tahukah kalian bahwa sistem stikerisasi ini sudah pernah diberlakukan sebelumnya. Dilansir dari bundel PK identitas Unhas tahun 2003, kebijakan pembatasan akses masuk kampus pernah diterapkan dengan metode yang tidak jauh berbeda. Ketua Program Kebersihan, Keamanan, Ketertiban, Keindahan, dan Kenyamanan (5K), Prof Dr Ambo Ala menjelaskan bahwa kebijakan yang dilakukan sejak tanggal 1 September 2003 ini merupakan upaya untuk menggalakkan program 5K.
Kala itu, kendaraan yang hendak masuk ke wilayah kampus harus memiliki stiker untuk diperlihatkan kepada satuan pengaman (Satpam) Unhas saat berjaga di pintu satu. Stiker ini dapat diperoleh dengan membelinya di pintu satu Kampus Tamalanrea.
Harga untuk selembar stiker pun bervariasi, dikategorikan berdasarkan warna. Untuk mahasiswa akan diberi stiker berwarna merah seharga Rp1000, stiker berwarna biru untuk dosen dan pegawai seharga Rp2500. Khusus stiker berwarna kuning untuk transportasi publik (pete-pete), dibanderol dengan harga yang lebih tinggi, yaitu Rp150.000. Harga itu dipasang dengan tujuan mengontrol pete-pete yang saat itu berjumlah 412 unit.
Berbagai upaya pun dilakukan untuk menyukseskan program ini. Di antaranya bekerja sama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa setiap fakultas dalam rangka sosialisasi. Satpam juga akan mencegat kendaraan yang kedapatan tidak memiliki stiker.
Hingga tiga bulan kemudian, dalam pelaksanaan kebijakan ini rupanya menemui banyak kendala. Selama estimasi masa penjualan, stikerisasi kendaraan masih belum merata. Setiap hari, ada saja pengendara yang lolos dari pemeriksaan.
Hal itu juga dipengaruh karena banyaknya jalan yang dapat diakses untuk masuk ke wilayah kampus. Ditambah lagi aktivitas warga yang tinggal di belakang kampus menggunakan pintu kampus sebagai akses untuk keluar masuk. Tak hanya itu, sanksi bagi pemilik kendaraan yang kedapatan melanggar pun sebatas teguran yang dinilai kurang efektif memberikan efek jera.
Kegagalan program stikerisasi kendaraan ini tentu saja berujung pada kerugian. Stiker yang berhasil terjual hanya 25 persen dari total 3000 lembar. Jumlah tersebut rupanya tidak mampu menutupi biaya pencetakan yang menghabiskan dana senilai Rp9.000.000 dari pinjaman pribadi Prof Ambo Ala.
Lantas, bagaimana dengan kebijakan yang akan diberlakukan pada awal semester ganjil 2020 ini? Memanfaatkan momentum wabah covid-19, Unhas kembali berupayah untuk mewujudkan kebijakan yang pernah diberlakukan 17 tahun silam. Aturan ini rencananya akan diberlakukan secara permanen.
Ada beberapa hal yang diatur dalam kebijakan tersebut. Salah satunya adalah memberlakukan sistem satu pintu keluar masuk, dalam artian Pintu 0 (jalur samping kampus) dan Pintu 2 (jalur Rumah Sakit) akan ditutup secara permanen. Stiker berhologram yang akan dibagikan pun hanya boleh satu stiker untuk satu orang yang apabila disalahgunakan terancam dikenakan sanksi berupa pencabutan atau pembatalan stiker.
Dengan kebijakan stiker berhologram bagi sivitas akademika dan entry pass bagi pengunjung dan jasa pengantaran, diharapkan dapat mewujudkan lingkungan kampus yang lebih nyaman dan tertib. Kesuksesan program ini dapat berjalan dengan baik apabila pelaksanaannya dilakukan berdasarkan evaluasi dari kendala-kendala yang pernah terjadi sebelumnya, serta memaksimalkan potensi yang dapat dimanfaatkan di masa sekarang ini. Semoga kebijakan tersebut dapat membawa nama Kampus Merah menuju universitas kelas dunia.
Risman Amala Fitra