Sulawesi Barat dikenal sebagai provinsi di mana politik identitas kesukuan masih sangat kental. Etnis Mandar yang menguasai lebih dari 60 persen populasi secara historis mendominasi struktur kekuasaan politik lokal. Namun, pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, sesuatu yang tidak biasa terjadi, dua kandidat legislatif dari etnis minoritas Toraja berhasil merebut kursi DPRD Provinsi dari Dapil I dan Dapil II. Ini merupakan sebuah pencapaian yang nyaris mustahil di tengah kuatnya politik kesukuan.
Fenomena inilah yang menarik perhatian lulusan Program Doktor Ilmu Komunikasi Unhas, Dr Musra Awaluddin SH MSi dalam disertasinya tentang komunikasi politik etnis minoritas di Provinsi Sulawesi Barat. Melalui penelitian tersebut, Musra merumuskan lima model komunikasi yang bekerja secara sinergis setelah melakukan analisis mendalam terhadap strategi minoritas.
Temuan paling menonjol dari penelitiannya yaitu dominasi komunikasi interpersonal sebagai kunci keterpilihan. Misalnya, kandidat melakukan kunjungan langsung ke rumah warga, acara keluarga, pengajian, dan pasar. Kehadiran fisik di ruang-ruang komunal ini menunjukkan kesediaan kandidat untuk ‘turun’ ke level masyarakat.
Berbeda dengan kandidat lain yang mengandalkan kampanye formal, iklan politik, dan media massa, kandidat minoritas justru membangun kekuatan dari interaksi langsung dengan pemilih. Pendekatan ini menciptakan kedekatan personal yang sulit dibangun melalui media massa maupun media sosial.
“Interpersonal itu lebih mampu mengubah perilaku orang. Kalau kita ketemu langsung dengan orang, dia merasa berat untuk menolak,” ujar Prof Dr Hafied Cangara MSc selaku dosen pembimbing penelitian, Jumat (07/11).
Saat masa kampanye, kandidat menggunakan komunikasi verbal dengan bahasa lokal. Dengan sopan santun kandidat memberikan pesan politik sederhana yang dekat dengan keseharian pemilih. Selain itu, kandidat juga tidak menggunakan jargon politik rumit, melainkan berbicara tentang masalah konkret yang dihadapi warga.
Tidak hanya itu, komunikasi nonverbal dari kandidat seperti gestur hormat serta cara berpakaian yang sesuai adat dan etika Mandar dalam pertemuan juga memperkuat penerimaan sosial. Bahasa tubuh yang menghormati nilai-nilai lokal tersebut dapat memengaruhi pilihan pemilihan.
Strategi komunikasi berikut yaitu komunikasi berbasis persahabatan. Dengan komunikasi seperti itu, dapat membangun hubungan yang bukan sekadar hubungan transaksional kandidat-pemilih, melainkan layaknya teman atau kerabat. Kedekatan emosional ini menciptakan loyalitas yang tidak mudah goyah.
Trik terakhir yang kerap digunakan kandidat minoritas adalah shadow communication atau komunikasi bayangan. Shadow communication merupakan suatu pengaruh yang bekerja melalui jaringan informal seperti tokoh adat, pemuka agama, atau relasi lama yang merekomendasikan kandidat. Model ini sangat efektif karena rekomendasi datang dari figur yang dipercaya oleh masyarakat.
Selain itu, strategi yang tak kalah penting yang digunakan kandidat yakni adaptasi budaya. Kandidat minoritas tidak menonjolkan identitas asli mereka. Sebaliknya, mereka mempelajari dan menggunakan bahasa Mandar dalam komunikasi sehari-hari, menghadiri ritual adat Mandar, bahkan mengadopsi pola komunikasi dan etika lokal khas Mandar. Kandidat minoritas menggunakan pendekatan kultural untuk menembus ruang sosial masyarakat Mandar sebagai kelompok mayoritas.
“Itu namanya strategi. Semakin tinggi pendidikan orang, semakin kabur hubungan etnis, sebab cara berpikirnya semakin global. Namun, jika kurang pendidikannya, maka lebih ditonjolkan budayanya,” tambah Prof Dr Hafied.
Penggunaan simbol budaya ini merupakan bentuk penghormatan dan upaya sungguh-sungguh untuk menjadi bagian dari masyarakat. Di Sulawesi Barat, kandidat hadir dalam kenduri, pengajian, hingga pasar, ruang-ruang komunal. Pada kondisi tersebut komunikasi politik berlangsung secara natural dan tanpa tekanan.
Hafied juga menuturkan bahwa simbol-simbol budaya menjadi modal dasar untuk bersatu. Pemain politik dalam masyarakat yang masih bersifat tradisional sering kali memanfaatkan simbol-simbol kebudayaan guna menarik lebih banyak suara pemilih.
Pendekatan integratif ini efektif meredam potensi polarisasi etnis. Pemilih Mandar tidak melihat kandidat sebagai ‘orang luar’ yang mengancam dominasi mereka, melainkan sebagai tetangga, mitra usaha, atau teman yang sudah lama hidup berdampingan dan berkontribusi pada masyarakat.
Penelitian ini menawarkan perspektif penting tentang bagaimana politik lokal dapat melampaui batas-batas etnis yang sering dianggap kaku. Kepercayaan dan kedekatan sosial bukan identitas etnis yang lebih menentukan dalam keputusan politik masyarakat.
Akademisi sekaligus pakar Ilmu Komunikasi Indonesia itu mengatakan bahwa suatu etnis yang tidak tersentuh dengan etnis lain tidak akan maju. Kemajuan itu bisa dicapai dengan adanya percampuran satu etnis dengan etnis lain. Menurutnya, perbedaan itu adalah semacam sumber daya perubahan.
Penelitian yang dilakukan Musra telah membantah anggapan bahwa politik selalu identik dengan pertarungan identitas yang keras. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antarmanusia, penghargaan terhadap budaya lokal, dan kedekatan emosional justru lebih menentukan dalam memenangkan dukungan politik.
Nurul Fathiyah Salsabila A.
