Di tengah semangat inklusivitas yang mulai digaungkan di berbagai perguruan tinggi, realitas di lapangan masih menunjukkan adanya tantangan besar, terutama bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Di Universitas Hasanuddin (Unhas), keberadaan Pusat Disabilitas (Pusdis) sejak 2022 menjadi langkah awal yang patut diapresiasi. Namun, apakah itu cukup?
Mahasiswa Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Unhas, A. Febriani Tenri Sa’nna menjawab pertanyaan tersebut melalui penelitiannya yang bertajuk “Stress Level and Coping Strategies of Students with Disabilities at Hasanuddin University”. Melalui wawancara mendalam terhadap mahasiswa disabilitas, dosen, relawan, hingga pengelola Pusdis, Febriani membedah persoalan stres yang dialami mahasiswa disabilitas serta strategi mereka dalam menghadapi tantangan akademik maupun sosial.
Dalam wawancaranya bersama identitas, ia menyampaikan bahwa 70% mahasiswa disabilitas di Unhas mengalami stres sedang, sementara sisanya berada pada kategori ringan. Sumber stres tersebut bukan berasal dari dalam diri semata, melainkan bersumber dari tiga faktor besar, yaitu internal (psikologis dan sosial), eksternal (aksesibilitas dan kebijakan), serta akademik (proses pembelajaran).
“Mahasiswa disabilitas menghadapi kenyataan bahwa kampus yang luas ini belum sepenuhnya ramah. Banyak selokan yang terbuka, tangga tanpa pegangan, serta ruang kuliah yang berada di lantai tinggi tanpa akses lift,” ujarnya saat diwawancarai, Minggu (15/03).
Salah satu mahasiswa difabel bahkan mengalami insiden hampir terjatuh karena harus naik tangga dengan kruk dan membawa tas berat. Sementara itu, mahasiswa netra sering kali tidak dapat mendeteksi jalan berlubang atau selokan terbuka yang berujung pada risiko kecelakaan.
Selain kendala fisik, tantangan dalam proses pembelajaran juga menjadi penyumbang stres yang signifikan. Banyak dosen yang belum memahami kebutuhan mahasiswa disabilitas. Pada saat pembelajaran, materi kuliah hanya disampaikan secara lisan tanpa dukungan visual bagi mahasiswa tuli dan media presentasi digital yang tidak dikonversi dalam format ramah pembaca layar (screen reader) bagi mahasiswa netra.
“Teman-teman disabilitas masih dituntut untuk mengikuti kurikulum yang sama dengan mahasiswa umum, padahal bentuk disabilitas mereka berbeda-beda dan butuh pendekatan yang disesuaikan,” ungkapnya.
Beberapa mahasiswa disabilitas bahkan mengalami perlakuan diskriminatif dari teman sekelasnya, seperti tidak diajak bergabung dalam kelompok tugas karena dianggap tidak mampu berkontribusi.
Menghadapi situasi yang kompleks, mahasiswa disabilitas menunjukkan ketangguhan melalui strategi koping. Berdasarkan hasil penelitian, 60% mahasiswa mengadopsi problem-focused coping untuk mengatasi stres dengan mencari solusi langsung. Sementara sisanya menggunakan emotion-focused coping, yakni dengan mengelola emosi serta pikiran agar tetap tenang dan positif saat merasakan stres.
Strategi problem-focused dilakukan dengan berbagai cara, yaitu menggunakan alat bantu seperti tongkat putih atau aplikasi voice-to-text, meminjam catatan dari teman, hingga aktif berkomunikasi dengan dosen. Namun, strategi ini juga menemui kendala, seperti aplikasi voice-to-text yang sering terganggu suara bising di kelas.
Sementara itu, strategi emotion-focused muncul dalam bentuk penerimaan diri, afirmasi positif, hingga kesabaran menghadapi perlakuan diskriminatif. Ketika dihadapkan dengan masalah, teman-teman disabilitas kerap memberikan afirmasi positif ke dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa semua masalah akan terlewati dan mereka belajar untuk menerimanya.
Menariknya, beberapa mahasiswa memilih untuk menonjolkan keunikan atau personal branding mereka agar bisa diterima oleh lingkungan sosial. Hal ini menjadi bentuk strategi sosial yang sekaligus memperlihatkan bahwa keterbatasan fisik tidak menjadi batas dalam berkarya.
Peran relawan dan Pusdis terbukti sangat vital dalam menciptakan lingkungan kampus yang inklusi. Mereka tak hanya membantu mobilitas dari asrama ke kelas, tetapi juga menjadi penyambung materi pembelajaran dan sumber dukungan emosional.
“Relawan bukan cuma penunjuk arah. Mereka juga teman cerita, penyemangat, dan jembatan antara dunia disabilitas dan non-disabilitas,” ujar mahasiswa pascasarjana tersebut.
Kehadiran Pusdis juga menjadi tempat aman bagi mahasiswa disabilitas untuk mendapatkan dukungan sosial. Meskipun di lingkungan fakultas mereka kerap merasa tersisih, di Pusdis mereka merasa dihargai dan dilibatkan dalam berbagai aktivitas.
Unhas memang telah mengeluarkan Surat Keputusan Rektor terkait komitmen sebagai kampus inklusi. Namun, menurut Febriani, kebijakan ini masih belum terimplementasi secara merata. Beberapa fakultas masih menolak menerima mahasiswa disabilitas atau membatasi pilihan jurusan mereka.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa saat ini baru Fakultas Kesehatan Masyarakat yang mengeluarkan aturan wajib pendampingan mobilitas bagi mahasiswa disabilitas. Harapannya, hal serupa menjadi contoh bagi fakultas lain.
Febriani juga menegaskan pentingnya pelatihan dosen agar lebih peka dan terlatih dalam menyusun pembelajaran yang aksesibel. Menurutnya, inklusivitas tidak bisa dibangun setengah-setengah.
“Jangan pernah membuat kebijakan tentang disabilitas tanpa melibatkan disabilitas itu sendiri,” tegasnya.
Penelitian ini diharapkan terus berkembang lebih lanjut dengan sejumlah rekomendasi. Penting bagi kampus untuk melakukan pembenahan fisik terhadap fasilitas yang tidak aksesibel, memberikan pelatihan kepada dosen dan tenaga pendidik mengenai pengajaran inklusif, mengintegrasikan kebijakan inklusif dari bawah hingga atas, serta melibatkan mahasiswa disabilitas dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan mereka.
Inklusivitas bukan sekadar menerima, tetapi juga menyediakan. Bukan hanya membuka pintu, tapi memastikan setiap ruangan dapat dimasuki. Mahasiswa disabilitas di Unhas telah menunjukkan bahwa dengan atau tanpa dukungan penuh, mereka tetap bisa bertahan. Kini saatnya kita semua bertanya, apakah kita sudah benar-benar siap untuk berdiri sejajar bersama mereka?
Marcha Nurul Fadila Jalil
