Gubernur Sulawesi Selatan periode 2013-2018, Syahrul Yasin Limpo (SYL) diusulkan Senat Akademik Fakultas Hukum untuk diberikan gelar sebagai Professor tidak tetap Unhas. Hal ini dibenarkan Dekan Fakultas Hukum Unhas, Prof Dr Farida Patittingi SH MHum, saat ditemui identitas, Rabu (7/2).
“Saat ini tahap pengusulan Guru besar tidak tetap SYL sudah ada di Rektor dan prosedurnya sudah berlanjut di Rektor. Prosedurnya bukan di usulkan oleh SYL melainkan masyarakat dan beberapa masyarakat, guru besar yang menilai bahwa SYL layak untuk memperoleh guru besar tidak tetap,” ujar Prof Dr Farida Patittingi SH MHum.
Lebih lanjut, Prof Farida menjelaskan prosedur pemberian gelar Professor untuk SYL. Ia mengatakan bahwa hal ini ditentukan oleh Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti). Sedangkan Unhas, kata Prof Farida, hanya menentukan bahwa pengusulan layak untuk diteruskan atau tidak.
“Di Unhas, rapat senat fakultas sudah dilakukan, dan diputuskan bahwa pengusulan pak SYL layak, dan sekarang dilanjutkan rektor, (menyurat ke rektor) berlanjut ke Senat Akademik, kemudian dikembalikan ke Rektor dan akan diteruskan ke Dikti,” jelas Prof Farida.
Prof Farida juga mengungkapkan bahwa pengusulan ini berasal dari tiga pakar Hukum Tata Negara dari tiga universitas, yakni satu Professor dari Universitas Indonesia (UI), juga dari Prof Dr I Made Arya Utama selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.
“Kemudian diajukan juga oleh sekelompok masyarakat umum, masyarakat akademik, yang menilai bahwa Pak SYL memenuhi syarat atau berhak memperoleh gelar Guru Besar tidak tetap,” ujar Prof Farida.
Prof Farida juga menunjukkan ke identitas tentang adanya peraturan yang jadi landasan pemberian gelar ini ke orang nomor 1 di Sulsel sejak tahun 2008 ini. Prof Farida memperlihatkan ke identitas peraturan Senat Akademik Unhas dalam Nomor : 166477/UN4.2/OT.10/2017 tentang pengangkatan jabatan akademik professor tidak tetap, pemberian gelar doktor kehormatan (Doctor Honoris Causa), dan pemberian penghargaan.
Selain itu, menurut Prof Farida, terdapat juga landasan Undang-undang terkait pemberian gelar Professor mantan Bupati Kabupaten Gowa ini, yakni Undang-undang no 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi pasal 72 ayat 5 dan Peraturan menteri nomor 40 tahun 2012.
Dosen Unhas Tidak Setuju
Usulan pemberian gelar akademik tertinggi ini sontak membuat sejumlah dosen Unhas menyatakan rasa tidak setujunya. Seperti salah satu Guru Besar Fakultas Teknik Unhas, Prof Dr Eng Syafaruddin ST M Eng, yang menyampaikan ketidaksetujuannya melalui sebuah tulisan.
Pemberian gelar Professor ini, menurut Prof Syafaruddin dapat melukai hati dosen lain. Hal itu disampaikan Prof Syafaruddin lewat tulisannya yang dimuat Harian Fajar, 23 Januari 2018.
“Pemberian gelar profesor bagi seseorang yang bukan dosen tentu sangat memiriskan dan menciderai hati teman-teman sejawat akademisi… Semua teman dosen akan kecewa karena seseorang dengan mudahnya diusulkan untuk menjadi profesor tanpa kriteria penilaian akademik yang jelas, namun hanya karena faktor pertemanan, perkoncoan dan kekuasaan,” tulis Prof Syafaruddin di rubrik opini Harian Fajar.
Prof Syafaruddin menyampaikan pada gelar Professor terdapat hal sakral dan beban kinerja untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang di gelutinya. Selain itu, Prof Syafaruddin juga mengatakan gelar Professor juga harus memberikan solusi ke masyarakat sesuai bidang kepakarannya.
“Oleh karena itu, jika seseorang yang bukan akademisi dan tidak pernah berkecimpung dalam pengembangan riset ilmu pengetahuan dan teknologi, maka secara filosofi tidak pantas, tidak hormat dan tidak layak menyandang gelar professor,” tegas Prof Syafaruddin.
Prof Syafaruddin pun membandingkan, dalam tulisannya, kerja keras para dosen berstatus Lektor Kepala dengan pemberian gelar Professor ke SYL.
Prof Syafaruddin menyampaikan dosen yang bercita-cita menjadi Professor, bersusah payah menyiapkan dokumen, melewati tahap validasi mulai dari tingkat prodi hingga universitas. tidak hanya itu, kata Prof Syafaruddin, dosen Lektor Kepala juga harus menanti pemberian gelar Professornya disetujui Kemenristekdikti.
Setali tiga uang, Supratman SS MA, dosen Fakultas Ilmu Budaya juga menyampaikan rasa tidak setujunya terkait hal ini. Menurutnya, pemberian gelar Professor ke SYL akan menjadi sejarah kelam bagi Unhas.
“Sejarah kelam itu terjadi bila Unhas tidak mendapat rekomendasi, kemudian dengan begitu mudah memberikan gelar Professor kepada individu yang secara profesi dan tugas tidak berada dalam institusi akademik dan pendidikan,” ujar Supratman ketika dihubungi identitas, Senin (26/2).
Lebih lanjut, Supratman mempertanyakan landasan hukum yang mendasari pemberian gelar Professor ini.
“Hukum itu berlaku bila punya manfaat bagi masyarakat umum juga Negara, apa untungnya bila Syahrul diberi gelar Professor baik bagi pendidikan maupun Negara?” tanya dosen jurusan sastra Arab ini.
Menurut Supratman, Unhas sebagai pengusul harus membeberkan karya dari SYL ke public. hal itu karena public belum tahu SYL telah memenuhi syarat atau tidak, ujar Supratman.
“Karena dia pejabat public. harus di publish ke public pemenuhan (karya) akademik dari Syahrul, ini adalah bentuk pertanggungjawaban dia sebagai pejabat public,” jelas dosen yang tengah melanjutkan pendidikan doktornya di Iran ini.
Di kampus lain, di tanah Jawa, beberapa tokoh mendapat gelar Guru Besar tidak tetap, seperti Presiden RI ke 6, Susilo Bambang Yudhoyono dari Universitas Pertahanan Nasional, Otto Hasibuan dari Universitas Jayabaya dan Chairul Tanjung dari Universitas Airlangga.
Lantas seperti apa kelanjutan usulan pemberian gelar Professor ke SYL nanti?
Reporter: Fatyan Aulivia