“Orang tua yang terus-menerus belajar dari anak pada akhirnya menipiskan ruang kosong penyebab konflik antara mereka.”
Menangis merupakan respon alamiah untuk mengekspresikan kesedihan. Namun nyatanya tak semua tangis mengekspresikan rasa sedih. Di sisi lain, tangis merupakan bentuk komunikasi bagi seorang bayi yang belum pandai bercakap. Dengan tangisan, sang bayi dapat menyampaikan perasaan gundah karena lapar, kepanasan, dan merasa tidak nyaman. Bahkan dalam sehari bayi dapat menangis 1-3 jam per hari, karena tangis adalah satu-satunya instrumen untuk mengutarakan keinginannya, supaya dapat dimengerti oleh orang tuanya.
Ayah dan Ibu adalah lingkungan pertama yang berinteraksi dengan anak, mereka juga adalah teman sekaligus pengajar tentang kehidupan bagi anak. Ketika masih balita orang tua mengajarkan anak mengucapkan kata ‘mama’ dan ‘papa’. Mereka mengajarkan anak melangkah, berjalan, hingga berlari.
Pengajaran yang diberikan oleh orang tua tidak hanya diberi secara verbal, namun anak cenderung lebih banyak diberi pengajaran dengan mengoreksi sikap dan perilakunya yang dianggap tidak sesuai dengan aturan. Anak harus belajar sabar, manajemen emosi, hingga mampu membedakan antara sikap salah dan benar. Dalam hal ini tidak hanya orang tua, namun anak juga harus banyak bersabar memahami Ayah dan Ibunya.
Padahal, untuk mengerti maksud dari perkataan manusia dewasa dan memahami kesalahan yang mereka perbuat nyatanya adalah tugas yang sulit bagi anak. Sementara itu, orang tua juga kerap kali dikecewakan dengan kemauan pribadi anak. Momen inilah yang pada akhirnya menimbulkan konflik antara orang tua dan anak.
Berdasarkan pengalaman pribadi, saya menyadari nyatanya tidak hanya anak yang belajar dari orang tua. Perilaku dan sikap anak yang bertentantangan faktanya memberi pengetahuan baru bagi orang tua agar saling lebih memahami.
Kejadian ini saya alami terjadi 10 tahun lalu ketika sedang dalam perjalanan pulang belanja bulanan bersama keluarga. Selayaknya orang tua pada umumnya, mereka menanyakan nilai dan kemampuan saya di sekolah. Ayah yang duduk di kursi pengemudi menegur dan memarahi saya karena selalu mendapat nilai matematika yang tidak sempurna sehingga tak memperoleh peringkat tiga besar di kelas.
Sudah menjadi makanan sehari-hari teguran ini, namun malam itu untuk pertama kalinya saya membantah. Saya bertanya dengan agak kesal, “Mengapa anak-anak harus dipaksa memiliki nilai tinggi pada subjek yang tidak mereka sukai ?” Seketika keadaan mobil menjadi hening selama kurang lebih 15 menit sampai akhirnya tiba di rumah.
Setelah hari itu, luar biasanya orang tua saya tidak lagi menegur maupun membahas nilai yang tidak begitu tinggi. Alih-alih menyoroti nilai rendah pada subjek matematika, Ayah dan Ibu fokus pada mata pelajaran kegemaran saya, bahkan mereka mendukung sepenuhnya dengan memberikan bimbingan belajar tambahan. Setiap akhir semester pun orang tua hanya fokus memuji dan memberi semangat pada saya agar terpacu lebih giat belajar.
Dari peristiwa ini, setelah 10 tahun berlalu akhirnya saya menyadari bahwa orang tua pun belajar dari kesalahan mereka dalam mendidik. Sehingga tahun-tahun berikutnya, orang tua saya tanpa henti mempelajari sikap dan perilaku keempat anaknya sampai terbangun pola asuh terbaik sesuai dengan karakter masing-masing. Dengan begitu, orang tua yang dulunya memaksa anak mengikuti aturan tak tertulis berangsur-angsur berubah menjadi menerima kegagalan, ketidakmampuan, dan ketidaksempurnaan anak sebagai bagian dari proses belajar.
Melihat orang tua yang terus belajar dari kesalahan dan kegagalan dalam konteks pola asuhnya, saya menyadari bahwa dengan begitu hubungan mereka dengan anaknya menjadi lebih harmonis. Orang tua yang terus-menerus belajar dari anak pada akhirnya menipiskan ruang kosong penyebab konflik antara mereka. Fenomena ini pada dasarnya adalah bukti dari perkataan pebisnis sukses asal Amerika Serikat, Henry Ford bahwa seseorang yang berhenti belajar adalah orang lanjut usia, meskipun umurnya masih remaja. Sedangkan, seseorang yang tidak pernah berhenti belajar akan selamanya jadi pemuda.
Pernyataan Henry Ford ini ternyata bisa dilihat dengan sudut pandang lain. Orang tua bisa selamanya menjadi muda dengan belajar dari proses perkembangan anaknya. Dengan hidup bersama orang tua yang mau sama-sama belajar, alhasil tanpa disadari mendekatkan jarak usianya dengan anak dalam konteks, topik pembicaraan, minat, dan pola pikir. Sehingga anak akan menjadi lebih terbuka untuk menceritakan apapun yang terjadi dalam kehidupannya.
Tulisan ini dibuat untuk mengajak para orang tua dan anak diluar sana untuk sama-sama belajar membangun pola asuh yang sehat dengan saling mendengarkan. Selain itu, tulisan ini juga dibuat sebagai dedikasi akan kehebatan orang tua saya dalam mendidik berdasarkan pengamatan saya.
Yaslinda Utari Kasim
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
program studi Ilmu Komunikasi
angkatan 2021
sekaligus reporter PK identitas Unhas tahun 2023