Universitas Hasanuddin (Unhas) belakangan ini sering menghadapi masalah yang ditimbulkan oleh mahasiswanya sendiri. Mulai dari kasus pembakaran di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), bentrok antara Fakultas Peternakan (Fapet) dan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP), hingga penempelan poster yang berisikan protes aturan jam malam.
Akan tetapi, penyelesaian masalah tersebut selalu melibatkan pihak kepolisian. Hal ini menimbulkan berbagai pandangan dari kalangan civitas academica maupun pihak yang berada di luar Unhas.
Mahasiswa yang terlibat dalam kasus penempelan poster, Andi Muhammad Fahrizal menuturkan, Unhas tidak memiliki keadilan dalam menangani masalah internalnya karena saat dirinya memperjuangkan aturan jam malam, ia tidak mendapatkan respons dari pihak kampus.
“Saat kami mengkritik dengan penempelan poster seperti ini, mereka malah berbalik memenjarakan kami,” ucap Fahrizal saat diwawancarai melalui telepon, Selasa (20/02).
Menanggapi persoalan ini, Koordinator Divisi Hak Sipol Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Muhammad Ansar SH menjelaskan, proses penyelesain masalah dengan mengikutsertakan polisi, pada akhirnya akan berujung pemenjaraan. Pendekatan ini dinilai kontraproduktif dengan demokrasi yang seharusnya dianut kampus.
Ansar juga berpendapat, penggunaan polisi mengindikasikan sebuah sistem itu sangat represif, sebab mekanisme penyelesaian masalahnya tidak menggunakan sistem yang ada di kampus terlebih dahulu.Menurutnya, tindakan represif bisa mematikan daya kritis seseorang. Ia merasa kampus seharusnya bisa membangkitkan jiwa kritis mahasiswanya.
“Hal ini mengindikasikan suatu kampus itu gagal menciptakan suasana damai dan harmoni,” tuturnya, Jumat (16/02).
Ia menyarankan agar kampus bisa membuka forum diskusi yang lebih demokratis sehingga tindakan yang tidak diinginkan bisa diredam.
Hal serupa juga disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Prof Dr Aminuddin Syam SKM MKes MMed Ed. Menurutnya, penggunaan polisi dalam menakut-nakuti mahasiswa dinilai tidak kreatif. Meskipun menjadi salah satu bentuk pemberian efek jera, akan tetapi cara pengimplementasiannya tidak benar.
Ia menilai, Unhas harusnya berbenah diri dengan mencari akar masalah dari kasus-kasus yang melibatkan mahasiswanya, sebab menurutnya, masalah tersebut bisa saja bermuara di sistem akademik yang dibuat Unhas sendiri.
“Saya melihat hal tersebut merasa sedih sekaligus ngeri, seolah-olah mereka tidak punya anak dan keluarga. Menghukum itu ada ukurannya. Jangan samakan antara kampus dengan kantor polisi,” ucap pria kelahiran Wajo itu, Kamis (22/02).
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Keamanan dan Ketertiban Unhas, Prof Dr Amir Ilyas SH MH menilai, pihaknya selalu berusaha melakukan mediasi dengan mahasiswa yang berkasus, namun ditolak oleh mahasiswa yang bersangkutan, bahkan ada yang berbalik mencaci maki dirinya.
Ia menyatakan, kasus yang pernah ditanganinya memang perlu disikapi dengan melibatkan polisi. Sebab menurutnya, Unhas waktu itu tidak punya cara dalam mengungkap dan menemukan para pelaku yang terlibat.
Ilyas menambahkan, kampus tidak perlu alergi dengan pelibatan polisi di ranah institusi pendidikan, sebab mereka tidak bertindak secara semena-mena dan selalu menaati Standard Operating Procedure (SOP) yang berlaku.
“Tujuannya kan untuk mengamankan situasi di dalam kampus, agar tidak terjadi gesekan. Hal itu juga dilakukan untuk menjaga aset-aset penting di Unhas,” ucap Guru Besar Ilmu Pidana Unhas itu saat diwawancarai di rumahnya, (27/02).
Menyikapi hal ini, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Unhas, Prof drg Muhammad Ruslin MKes PhD SpBM(K) menuturkan, kampus perlu membedakan masalah di ranah akademik dan ranah pidana, agar cara dalam menangani masalahnya itu tepat, serta tidak terjadi conflict of interest.
Ia melihat, tindakan yang dilakukan mahasiswa dalam kasus BEM FMIPA dan Bentrok antar fakultas, tidak bisa ditoleransi lagi karena menimbulkan kerusakan dan kekerasan.
Mantan Dekan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) itu juga menuturkan,tindakan yang Unhas telah lakukan merupakan proses mendidik mahasiswa, agar tidak mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan. “Banyak kekerasan di Unhas karena dulu tidak tegas,” tutur Ruslin di Lantai 7 Rektorat Unhas, Senin (04/03).
Walaupun banyak mendapat pertentangan di kalangan akademisi dan pakar, Unhas menilai pelibatan aparat kepolisian ampuh dalam meredam konflik, yang bisa mengakibatkan kerusakan dan kekerasan. Lalu, apakah Unhas tidak memiliki mekanisme tersendiri dalam menindaklanjuti berbagai pelanggaran kode etik mahasiswa tersebut?
Tim Lipsus
M. Ridwan, Otto Aditia, Nurfikri
*Liputan pertama kali terbit di Majalah identitas Edisi Maret 2024