Masalah sampah plastik menjadi tantangan serius di Indonesia. Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia menghasilkan lebih dari 33 juta ton sampah. Sebanyak 17,07% di antaranya adalah sampah plastik. Ironisnya, sekitar 70% dari total sampah plastik tersebut tidak terkelola sehingga sebagian besar akhirnya mencemari perairan.
Permasalahan tersebut menjadi fokus penelitian Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof Dr Maskun SH LLM yang berjudul “Tinjauan Normatif Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Produsen dalam Pengaturan Tata Kelola Sampah Plastik di Indonesia”. Penelitian ini mencoba mengkaji peran penting produsen dalam mengatasi masalah sampah melalui prinsip Extended Producer Responsibility (EPR) dan Polluter Pays Principle.
Polluter Pays Principle atau Prinsip Pencemar Membayar adalah konsep dasar dalam hukum lingkungan internasional yang mengharuskan pihak penyebab pencemaran untuk menanggung biaya pemulihan atas dampak tersebut. Prinsip ini menegaskan bahwa biaya atas kerusakan lingkungan tidak boleh dibebankan kepada masyarakat umum atau pemerintah, melainkan kepada pelaku pencemaran itu sendiri.
Dalam hukum nasional, prinsip ini tercermin pada Pasal 87 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal ini menetapkan bahwa setiap pelaku usaha yang mencemari lingkungan wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu sebagai bentuk pertanggung jawaban.
Menjawab permasalahan tersebut, Prof Maskun menekankan bahwa penerapan prinsip polluter pays dapat diperkuat melalui instrumen yang bersifat memaksa seperti pajak sebagai instrumen paling mudah dan efektif. Ia menganggap bahwa masyarakat pada umumnya memiliki rasa takut terhadap pajak.
“Jika skema perpajakan ini dirancang dan dijalankan dengan baik, ke depannya dapat menjadi langkah strategi dalam mengurangi jumlah sampah plastik di Indonesia,” tutur Prof Maskun saat diwawancarai, Rabu (24/04).
Lebih lanjut, Dosen Hukum Unhas itu juga menjelaskan EPR sebagai solusi dari tata kelola sampah melalui kebijakan lingkungan. Pada prinsip ini tanggung jawab produsen tidak berhenti pada tahap produksi dan distribusi saja, melainkan diperluas hingga ke pengelolaan produk setelah digunakan oleh konsumen. Artinya, produsen bertanggung jawab atas keseluruhan siklus hidup produknya, termasuk tahap pasca-konsumen.
Pasal 15 UU No. 18 Tahun 2008 sebenarnya telah mengakomodasi prinsip EPR dengan menyebutkan bahwa produsen wajib mengelola kemasan atau barang yang tidak dapat atau sulit terurai. Meskipun penerapan prinsip polluter pays dan EPR sebenarnya sudah mulai tampak dalam beberapa instrumen hukum, Prof Maskun mengungkap implementasi konkret di tingkat daerah masih sangat terbatas. Dari lebih 500 kabupaten/kota di Indonesia, baru sebagian kecil yang memiliki peraturan daerah spesifik tentang pengelolaan sampah. Padahal, untuk mengoptimalkan pengelolaan sampah plastik, dibutuhkan harmonisasi regulasi dari tingkat nasional hingga daerah.
Lebih jauh lagi, Prof Maskun juga menekankan bahwa prinsip polluter mpays dan EPR tidak hanya berlaku untuk industri besar. Produsen kecil pun seharusnya tunduk pada prinsip yang sama, karena skala usaha tidak menghapus potensi dampak lingkungan. Dengan demikian, pendekatan berbasis prinsip ini dapat diterapkan secara menyeluruh, baik terhadap usaha skala besar maupun kecil.
Penerapan prinsip ini bukanlah hal yang tidak mungkin untuk dilakukan di Indonesia. Dalam hal ini, skema tanggung jawab produsen menjadi salah satu alternatif yang dapat dilakukan sebagai syarat mendapatkan izin lingkungan. Skema ini dapat dimasukkan ke dalam komponen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) yang merupakan kewajiban bagi setiap perusahaan. Dengan demikian, tanggung jawab produsen akan terikat pada prosedur yang jelas dan dapat dievaluasi secara berkala oleh instansi pemerintah yang berwenang.
Terdapat beberapa alasan mengapa penerapan prinsip ini penting untuk dilakukan. Pertama, karena produsen adalah pihak yang paling berkontribusi terhadap munculnya sampah plastik. Dengan begitu, masuk akal jika mereka bertanggung jawab terhadap limbah tersebut. Kedua, prinsip ini mendorong internalisasi biaya pencemaran ke dalam biaya produksi sehingga tidak lagi membebani pemerintah atau masyarakat. Ketiga, implementasi prinsip ini mendorong inovasi dalam desain produk yang lebih ramah lingkungan.
Namun, mengapa penerapan ini belum maksimal di Indonesia? Meskipun regulasi sudah tersedia, implementasi masih menemui banyak kendala. Salah satunya adalah lemahnya penegakan hukum dan rendahnya kesadaran masyarakat untuk menuntut tanggung jawab produsen.
“Aturan hukum sudah mengikat, namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaannya masih lemah, terutama karena kurangnya keberanian masyarakat untuk menggugat,” ungkap Prof Maskun.
Dalam konteks internasional, ada beberapa negara yang dapat menjadi contoh baik bagi Indonesia. Menurut Prof Maskun, Jepang dan Singapura adalah dua negara di Asia yang berhasil membangun sistem pengelolaan sampah yang efektif melalui penerapan prinsip tanggung jawab produsen. Malaysia juga mulai menunjukkan perbaikan dalam manajemen sampahnya. Kesadaran masyarakat di negara-negara ini sudah terbentuk dengan baik, ditopang oleh sistem regulasi yang kuat dan konsisten.
Untuk mengatasi masalah sampah plastik, Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan regulasi yang ada. Diperlukan komitmen politik yang kuat, peningkatan kesadaran masyarakat, serta penegakan hukum yang konsisten. Pemerintah harus segera menuntaskan seluruh amanah undang-undang dalam bentuk peraturan turunannya sampai ke tingkat daerah. Selain itu, penggunaan instrumen fiskal seperti pajak pencemaran harus dioptimalkan. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan Indonesia mampu mengurangi timbulan sampah plastik dan menghindari prediksi suram bahwa pada tahun 2050 jumlah sampah plastik di laut akan melebihi jumlah ikan.
Rika Sartika
