Apa yang akan terjadi jika Artificial Intelligence (AI) memiliki perasaan seperti manusia?
Fenomena inilah yang coba digambarkan dalam film yang berjudul The Creator. Berdurasi 2 jam 13 menit, film ini menghadirkan sebuah perpaduan yang menarik antara fiksi ilmiah yang canggih dan konflik moral dengan teknologi. Disutradarai oleh Gareth Edwards, yang sebelumnya sukses dengan Rogue One: A Star Wars Story pada tahun 2016, film ini menawarkan perspektif baru tentang hubungan antara manusia dan AI.
The Creator resmi tayang di bioskop Indonesia pada September tahun lalu dan dirilis di Disney+ pada Januari tahun ini. Film ini bercerita tentang lima belas tahun setelah AI menyebabkan ledakan nuklir di Los Angeles pada tahun 2070. Hal ini memicu perang antara manusia dan AI. Sejak saat itu, Amerika juga memutuskan untuk memerangi AI bahkan di wilayah yang bukan miliknya.
Film ini dimulai dengan kisah mantan militer bernama Joshua Taylor (John David Washington) yang harus menjalankan misi rahasianya di daerah New Asia. Ia ditugaskan mencari tahu identitas “creator” (pencipta), Nirmata yang telah menciptakan senjata misterius dengan kemampuan untuk mengakhiri perang ini.
Joshua diperintahkan untuk menghancurkan sebuah senjata AI yang berpotensi menjadi alat untuk memusnahkan umat manusia. Joshua harus berhadapan dengan wujud dari senjata AI yang menyerupai anak kecil. Meskipun begitu, alat tersebut memiliki kemampuan yang lebih canggih dibandingkan dengan AI yang ada di masa depan.
Dalam menjalankan tugasnya Joshua jatuh cinta dengan Maya (Gemma Chan) dan sebentar lagi mereka akan menjadi orang tua. Namun, kebahagiaan dan mimpi keduanya hancur ketika militer Amerika datang menyerang.
Setelah kehilangan istri dan calon anaknya, Joshua menjalani hidup seadanya. Namun, saat Kolonel Howell (Allison Janney) memberitahu bahwa Maya masih hidup, Joshua memutuskan untuk segera kembali ke New Asia. Perjalanan Joshua inilah yang akan mengubah nasib semua orang.
The Creator bukanlah film fiksi-ilmiah pertama yang mengangkat tema konflik antara AI dan manusia. Namun, dibandingkan dengan film serupa lainnya, film ini mampu mengemas tema yang terbilang umum ke dalam sebuah premis yang lebih orisinal. Tidak dapat dipungkiri bahwa eksekusi The Creator memang sangat berfokus pada aksi semata dengan akhir cerita yang sangat mudah ditebak.
Diluar momen aksinya, kisah cinta dan keluarga yang diselipkan dalam film ini juga cukup menghangatkan hati. Peran senjata AI dengan wujud anak kecil alias Alphie (Madeleine Yuna Voyles) benar-benar membuat penonton mendapat perasaan emosional yang mendalam. Performa Voyles dalam film ini juga memukau penonton, bahkan akting aktris cilik ini jauh lebih menonjol dibandingkan Washington.
Walaupun pada paruh awal film cukup datar, film ini berhasil menghibur dengan pemilihan musik yang menarik, terutama dengan kehadiran lagu-lagu bergenre rock Indonesia pra-milenium. Penggunaan instrumen lagu berjudul Kasih Suci, Hanny, dan Hari Yang Mulia oleh Golden Wing yang membawa penonton lebih dalam ke aksi petualangan mereka.
Edwards turut melakukan eksperimen baru dengan bekerjasama dengan sinematografer, Greig Faser dan Ore Soffer. Visual dalam The Creator direkam dengan lanskap yang besar dan lebar menggunakan kamera DSLR mampu memadukan nuansa klasik dan kontemporer. Film ini juga berhasil menciptakan detail-detail futuristik yang berhasil menghidupkan latar cerita.
Ia juga mengungkapkan bahwa tim produksi film ini bahkan melakukan perjalanan ke 80 lokasi berbeda di delapan negara untuk menciptakan latar yang autentik dan beragam. Lokasi-lokasi tersebut termasuk Vietnam, Kamboja, Jepang, Indonesia, Inggris di luar Pinewood Studios London, Thailand, Nepal, dan Amerika Serikat di Los Angeles. Perjalanan ini sekaligus memperkaya visual film agar terlihat lebih nyata.
Secara keseluruhan, The Creator adalah sebuah prestasi sinematik yang layak untuk diapresiasi. Meskipun terdapat beberapa kekurangan seperti tema yang diangkat cukup lumrah dan alur yang mudah ditebak. Namun, film ini mampu menciptakan pengalaman yang mengesankan dengan petualangan visual yang seru namun juga menghangatkan hati.
Rika Sartika