Judul Film : The Miracle Worker
Sutradara : Nadia Tass
Penulis Skenario : William Gibson, Monte Merrick
Tayang Perdana : 12 November 2000
Durasi : 88 Menit
Dalam hidup, setiap orang berhak memiliki mimpi dan menjaganya menjadi sebuah kenyataan. Dengan mimpi, tujuan hidup lebih tertata. Dengan mimpi, pandangan akan masa depan lebih terarah. Dan dengan mimpi, kita tak akan terbawa oleh plot kehidupan, bak aliran air yang hanya pasrah mengikuti alur.
Mimpi tanpa batas membuat banyak orang termotivasi untuk meraihnya. Rasanya begitu optimis, namun tak menjamin akan berjalan mudah. Terkadang ada fase di mana kita merasa bahwa mimpi tersebut sulit diwujudkan. Beban yang berat membuat kata ‘menyerah’ adalah satu-satunya jawaban yang tepat. Bukan karena tidak mampu mewujudkan, namun kekurangan pada diri memaksa kita untuk hampir meninggalkan impian tersebut.
“Tidak mudah bukan berarti tidak mungkin”
Sebuah kalimat yang sangat menggambarkan salah satu film legendaris yang terkenal di masanya. Film tersebut berjudul “The Miracle Worker” yang disutradarai oleh Nadia Tass. Film ini diangkat dari kisah nyata seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) asal Amerika Serikat bernama Helen Keller. Pada usia 19 bulan, ia menderita penyakit yang kemungkinan Rubella atau demam scarlet. Penyakit itu menyebabkannya buta, tuli, dan bisu sehingga Helen menjadi sulit berkomunikasi dan rentan marah sehingga sulit diajar.
Film ini diawali dengan kekhawatiran orang tua Helen dengan keadaannya yang tidak kunjung membaik hingga usia 10 tahun. Ayah Helen, Arthur Keller awalnya mengusulkan untuk membawanya ke rumah sakit jiwa, namun ditolak oleh istrinya, Kate Keller karena tidak mau terpisah jauh dengan putri semata wayangnya. Setelah berdebat, akhirnya Arthur memutuskan untuk memanggil seorang guru yang akan mengasuh dan mengajari Helen. Terpilihlah Anne Sullivan yang dirasa sangat cocok untuk mengajari Helen dengan berbagai keterbatasannya.
Singkat cerita, Anne mengunjungi kediaman Helen. Alih-alih disambut baik, sambutan untuknya malah kurang mengenakkan karena Helen justru menganggapnya sebagai ancaman. Helen melempar barang-barang Anne. Marah bukan menjadi alternatif Anne dalam membalas perbuatan Helen. Ia justru menyikapinya dengan sabar.
Awalnya, orang tua Helen kurang percaya dengan cara mengajar Anne setelah melihat Helen yang terus-terusan kabur darinya. Bahkan ia pernah mengunci Anne di dalam kamar dan menyembunyikan kunci di dalam mulutnya. Ketika sarapan, Helen mengambil makanan dari piring ibunya, ayahnya, dan kakak tirinya dengan menggunakan tangan. Orang tua Helen menganggap itu adalah hal wajar, namun tidak dengan Anne. Ia menganggap itu adalah pola asuh yang tidak baik untuk Helen, sehingga kedisiplinan merupakan pelajaran pertama untuk Helen.
Pada situasi ini, Anne mengajari Helen adab makan yang benar, seperti duduk dan memegang sendok. Proses ini tentu tidak mudah baginya karena Helen berperilaku manja dan sulit diatur. Dengan susah payah, Helen akhirnya berhasil makan di piring sendiri bahkan bisa melipat serbetnya.
Meski demikian, kemajuan ini ternyata tidak diapresiasi keluarga Keller. Hampir saja Anne dipecat akibat cara mengajarnya membuat Helen tertekan. Ia melihat Helen adalah anak yang cerdas meski memiliki banyak keterbatasan. Setelah diskusi, keluarga Keller akhirnya mengizinkan Anne mengajari Helen dengan caranya sendiri.
Di suatu malam, Anne melihat sebuah gudang dekat perkebunan yang letaknya tak jauh dari rumah Helen. Ia pun berpikir untuk mengajari Helen di tempat tersebut untuk sementara. Orang tua Helen sebenarnya tak setuju dengan rencana tersebut, namun karena keinginan besar Anne akhirnya mereka mengizinkannya tinggal bersama Helen selama dua minggu.
Helen diajak berkeliling menggunakan kereta selama berjam-jam agar ia merasa tempat tersebut jauh dari rumahnya. Helen awalnya sempat merasa takut dan terganggu jika hanya berdua dengan Anne, namun seiring waktu Anne dengan sabar mengajar Helen untuk beradaptasi di lingkungan baru, ia berfokus untuk mengajari Helen kosakata baru dari benda-benda yang ditemuinya. Tujuan Anne sebenarnya tak hanya melatih Helen dalam berkomunikasi, namun juga berperilaku baik mengingat Helen memiliki emosi yang sulit dikendalikan.
Dua minggu berlalu, Helen dengan cepat mampu menggunakan sandi tangan yang diajarkan Anne meski belum sepenuhnya memaknai kosakata yang diajarkan kepadanya. Pada hari dimana Helen harus pulang, Anne sempat meminta tambahan waktu oleh orang tua Helen, namun karena kerinduan dengan sang putri, Kate tidak ingin anaknya tinggal lebih lama lagi. Akhirnya, Helen pun dibawa pulang oleh keluarganya, meskipun Anne khawatir kebiasaan lama dari Helen muncul kembali.
Pada saat makan siang tiba, Helen kembali melupakan adab makan yang diajarkan Anne. Hal ini kemudian membuat Anne bersikeras meminta tambahan waktu mengajari Helen agar yang diajarkannya tidak sia-sia. Namun, lagi-lagi keluarga Helen tidak setuju dengan itu.
Lantas, bagaimana akhir dari cerita film ini? Akankah Anne berhasil mengajari Helen berkomunikasi? Ataukah Helen akan selamanya mendekam dalam gelapnya dunia?
Film yang berdurasi 88 menit ini berhasil menggugah emosi para penontonnya. Hal ini ditunjukkan oleh kepiawaian para pemainnya dalam berakting, terutama tokoh Helen Keller yang benar-benar terlihat buta, tuli, dan bisu. Begitu pun latar tempat, suasana, dan waktu yang membuat film benar-benar hidup.
Dari film ini, saya banyak belajar tentang kegigihan dan semangat yang luar biasa dalam belajar. Layaknya yang ditunjukkan Anne dalam mengajari Helen yang temperamental. Tak hanya itu, film ini memberikan arti penting bahwa potensi diri bukan terletak pada seberapa lengkap fungsi biologis dan psikologis diri kita, tetapi lebih kepada usaha keras dalam mengaktualisasikan nilai-nilai dalam hidup. Ini membuktikan bahwa tidak ada sesuatu yang tidak mungkin jika kita berusaha keras dan tekun dalam mewujudkannya.
Hingga akhirnya, saya merekomendasikan sobat iden untuk menonton film ini karena banyak pesan moral yang tersirat di dalamnya. Selain menyadarkan kita untuk menghormati dan menghargai seorang guru, juga mengajarkan kita arti bersyukur yang sebenarnya.
Miftahul Jannah