Ketika kita melihat seseorang tengah bersedih, cukup katakan “Semua akan baik-baik saja,”
Januari lalu, saya bersama tiga orang sahabat saya pergi ke bioskop, ketika itu kami terlambat tiba sehingga film yang kami rencana tonton bersama tak sempat terkejar. Salah satu film yang memungkinkan kami tonton saat itu “Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini”. Awalnya saya tidak berekspektasi tinggi pada film ini toh, filmnya hanya terpaksa kami tonton saja. Saat layar bioskop mulai menayangkan filmnya, cerita pun mulai berjalan, konflik mulai tercipta, hingga mempermainkan emosi penonton. Seisi bioskop terlihat mulai menyeka air mata. Pemandangan tersebut sontak mengubah pandangan saya, dan membuat saya mulai berpikir film ini luar biasa.
Intinya, film tersebut bercerita tentang sebuah keluarga dari pasangan suami istri, Narendra dan Ajeng yang mempunyai tiga orang anak bernama Angkasa, Aurora, dan Awan. Narendra mendapat peran sebagai kepala keluarga yang selalu berusaha keras agar keluarganya bisa hidup bahagia. Namun cara Narendra membuat keluarganya merasa bahagia justru terkesan memaksa, dan mengekang mereka dalam egonya. Hingga tiba ketika ketiga anaknya dewasa, konflik antara mereka semakin sering terjadi, dan berakhir pada seluruh anggota keluarga berbalik membangkang Narendra.
Adegan ketika ketiga anak Narendra menyalahkan ayahnya, atas kegagalan yang menimpa mereka yang memicu luapan emosi dan tangis penonton. Amarah anak sulungnya, Angkasa meledak dan dengan terlampau marah berteriak, “Bagaimana caranya mau bahagia? Kalau sedih aja, gak tahu rasanya kayak gimana!” Kalimat itu membuat saya sontak tersadar akan apa yang saya saksikan selama ini. Kesedihan ternyata juga merupakan hal yang tidak kalah berharga dibanding kebahagiaan.
Semenjak saya menyadarinya, saya menjadi risih bila seseorang berkata “Sudah, jangan sedih lagi,” ketika saya sedang bersedih. Meskipun itu adalah bentuk empatinya kepada saya, kesannya seakan melarang saya bersedih dan mengingkari sifat manusiawi saya. Itu bahkan jauh lebih jahat dari pada Narendra yang hanya memaksa keluarganya bahagia.
Kesedihan bukanlah sebuah kutukan yang harus disebalkan. Ibarat mendirikan bangunan, semen dibutuhkan untuk merekatkan susunan batu bata, begitu juga kesedihan yang dapat merekatkan kembali kepingan-kepingan hati yang hancur menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Kesedihan bukan berarti sebuah keterpurukan.Terkadang ada hal yang lebih mudah disadari ketika kita bersedih, ketimbang sedang bahagia.
Kesedihan pun dapat memicu motivasi baru, itu bisa hadir jika kesedihan dimanfaatkan dengan baik, bahkan karya yang luar biasa dapat tercipta. Seperti salah satu lagu Jepang favorit saya yang berjudul “Lemon”, yang dinyanyikan musisi Jepang, Kenshi Yonezu. Lagu tersebut ditulisnya untuk soundtrack serial drama berjudul Unnatural. Nahasnya, di tengah proses penulisan lagu Lemon, kakek yang sangat disayangi Kenshi meninggal dunia. Ia kemudian ikut menuangkan kesedihannya yang disembunyikan di balik setiap kalimat lirik lagunya. Kesedihan yang Kenshi tuangkan akhirnya sukses menempatkan Lemon di puncak lagu terbaik Jepang 2018. Hingga saat ini, Lemon sudah didengar hingga 600 juta kali di YouTube.Kisah lagu Lemon ini hanya salah satu dari sekian banyak contoh kekuatan dari kesedihan yang dimanfaatkan dengan baik.
Pada hakikatnya, kesedihan dan kebahagiaan adalah dua hal yang harusnya dianggap setara. Tidaklah benar jika seseorang dilarang untuk bersedih. Maka biarkanlah orang bersedih ketika punya kesempatan bersedih. Lagi pula hampir tidak dapat ditemui seseorang yang lebih suka mencari kesedihan dari pada kebahagiaan.
Jadi ketika kita melihat seseorang tengah bersedih, cukup katakan “Semua akan baik-baik saja,” itu lebih ampuh untuk menenangkannya. Pada intinya kesedihan dan kebahagiaan bagaikan yin dan yang dalam konsep filosofi Tionghoa. Dalam kebahagiaan ada kesedihan, begitu pun sebaliknya. Perlu ada keseimbangan diantara keduanya. Seperti yang dikatakan Angkasa pada Narendra ketika mereka bertengkar, untuk merasakan kebahagiaan yang sejati, hal pertama yang perlu lakukan adalah memahami rasa dan makna dari sebuah kesedihan.
Penulis Merupakan Reporter PK identitas,
Mahasiswa Departemen Sastra Jepang,
Angkatan 2019.