Masyarakat Indonesia dikenal memiliki berbagai jenis usaha budidaya pada sejumlah makhluk hidup. Mulai dari budidaya tanaman hingga hewan yang dapat bernilai ekonomi tinggi seringkali dijadikan sebagai sumber penghasilan. Selain itu, dengan adanya proses budidaya ini secara tidak langsung bermanfaat bagi pelestarian makhluk hidup itu sendiri.
Salah satu objek budidaya khususnya pada bidang perikanan yang banyak diminati oleh masyarakat adalah ikan nila. Hewan yang hidup di air tawar ini mudah untuk dipelihara dan salah satu ikan yang banyak digemari karena tekstur daging yang empuk, harganya terjangkau hingga kandungan proteinnya sangat baik untuk kesehatan tubuh.
Dalam proses budidaya nila, tentu memiliki teknik dan metode tersendiri. Beberapa petani nila memilih nila jantan sebagai objek budidaya dibandingkan dengan betinanya. Nila jantan memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dan lebih tahan terhadap lingkungan ekstrem.
Metode maskulinisasi atau kerap dikenal dengan pengarahan kelamin menggunakan hormon dilakukan untuk mendapatkan nila jantan. Petani nila kerap menggunakan hormon sintetik untuk menghasilkan nila jantan dari pengeraman benih betina. Namun, penggunaan hormon sintetik ini memiliki dampak negatif terhadap kualitas benih itu sendiri, salah satunya perkembangan ikan nila lebih lambat dibandingkan dengan hormon alami.
Berangkat dari hal tersebut, Dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Unhas, Dr Andi Aliah Hidayani SSi MSi dan tiga mahasiswa Budidaya Perairan (BDP) FIKP, yaitu Alifah Nurul Jannati, Atira Rewa, dan Archangela Ghiriani Gareso melakukan penelitian untuk membuat alternatif pengganti hormon sintetik agar dapat menghasilkan benih nila jantan yang berkualitas.
Penelitian tersebut kemudian tertuang dalam jurnal berjudul “Potensi Asam Lemak dan Testosterone Berbasis Limbah Jeroan Teripang (Holothuriidae) dalam Upaya Peningkatan Kualitas Benih Ikan Nila (Oreochromis Niloticus)”. Dalam penelitian ini, Aliah berupaya untuk menghadirkan alternatif pengganti hormon sintetik yang dapat menjaga kualitas nila, ramah lingkungan serta aman dikonsumsi oleh manusia.
Bahan untuk memacu hormon yang diteliti adalah jeroan Teripang. Jeroan, seluruh isi perut teripang seringkali dibuang dan menjadi limbah tidak termanfaatkan. “Teripang selalu diekspor keluar negeri dan jeroannya akan dikeluarkan dari dalam perutnya sehingga pada akhirnya hanya menjadi limbah organik bagi lingkungan yang tidak termanfaatkan,” ujar Aliah saat diwawancarai, Rabu (19/07).
Lebih lanjut, ia memilih jeroan teripang sebagai bahan, karena menurut beberapa hasil penelitian yang telah ada jeroan mengandung hormon testosterone. “Setelah saya baca beberapa paper, ternyata jeroan teripang itu mengandung testosterone yang kita butuhkan untuk menjantankan ikan,” tambahnya.
Uji coba jeroan teripang dijadikan pengganti hormon sintetik dalam metode maskulinisasi untuk mengarahkan benih nila agar mendapatkan anak jantan. Menurut Aliah, penggunaan hormon testosterone pada nila lebih efektif untuk meningkatkan kualitas dan persentase mendapatkan nila jantan tinggi. Metode maskulinisasi yang dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu proses perendaman, pencampuran pakan kering, dan penyuntikan hormon testosterone ke dalam larva.
Metode melalui perendaman sering dilakukan karena mudah dan efektif, benih nila yang telah menetas menjadi larva selanjutnya akan melalui masa diferensiasi seks atau tahap penentuan jenis kelamin. Kemudian, setelah larva berumur tiga sampai tujuh hari maka pada tahap itulah dilakukan proses perendaman dalam larutan yang mengandung hormon testosterone.
“Alasan mengapa larva ditunggu sampai berumur tiga sampai tujuh hari karena disitulah dia bisa terarah jenis kelaminnya dan setelah itu direndam dalam larutan yang mengandung hormon dari jeroan teripang agar menghasilkan nila jantan lebih besar,” ucap Dosen FIKP itu.
Dalam proses penelitian, Aliah dan ketiga mahasiswanya juga menggunakan metode monokuler untuk mendeteksi lebih awal persentase larva yang akan melalui tahapan pengarahan kelamin. Dengan menggunakan metode monokuler, benih nila yang awalnya baru dapat terdeteksi kelaminnya setelah berumur dua hingga tiga bulan lebih, dapat diketahui lebih cepat hanya dalam waktu satu bulan.
Ia mengungkapkan hasil dari penelitiannya tersebut dapat dikembangkan maupun dijadikan bahan referensi bagi peneliti dan masyarakat luas. Aliah berharap dengan penelitiannya masyarakat juga bisa menggunakan ikan konsumen atau ikan hias yang secara morfologi nilai jantan lebihnya menarik dibandingkan betinanya. Selain itu, penggunaan bahan alternatif juga bisa dilakukan dengan menggunakan hormon alami yang kandungan testosteronnya tinggi.
Ke depannya, Aliah merencanakan akan melakukan penelitian dengan menggunakan hormon testosterone jeroan teripang pada ikan endemik. “Dalam waktu dekat, kami berencana melakukan fermentasi jeroan teripang untuk dilakukan pada kepiting bakau,” pungkasnya.
Otto Aditia