Citra orang-orang yang bekerja di bidang hukum, sering kali tidak sesuai dengan lambang keadilan “Dewi Keadilan.” Mengingat maraknya pemberitaan mengenai penahanan orang yang malah menekuni bidang hukum, apalagi pengacara.
Santy Kougawan dalam disertasinya berjudul “Bagaimana Pengacara Memenangkan Konflik Tanah Untuk Korporasi, Strategi Hukum dan pengaruhnya Dalam Prinsip Negara Hukum di Indonesia”, mencoba memberi pemahaman bagaimana sebenarnya praktik pengacara dalam menangani kasus.
Disertasi tersebut berhasil menarik perhatian dunia hukum Indonesia, mengingat hal tersebut merupakan sesuatu yang baru. Lantas apa yang menarik dari disertasi itu? Yuk, Simak wawancara Reporter identitas Unhas, Annur Nadia F. Denanda bersama Santy Kougawan berikut ini:
Apa yang melatarbelakangi Anda menulis disertasi ini?
Karya ilmiah yang dibuat untuk mereformasi hukum di Indonesia, sebab masih kurang pengetahuan hukum seperti pengetahuan tentang lapangan. Apalagi masih banyak yang menulis soal hukum, masih secara ideal, bukan sesuatu yang normatif.
Maka itu, saya ingin menulis tentang keseharian pengacara. Mulai dari bagaimana praktik seorang pengacara? Apa-apa saja yang mereka buat? Dari situ, kita baru bisa menilai, apakah praktik itu baik atau tidak? Masalahnya ada terkadang orang bilang pengacara sering menyuap hakim, benar tidak mereka menyuap hakim? Bagaimana caranya menyuap hakim?
Dalam disertasi ini, Anda menggolongkan pengacara dalam 3 tipe, yakni pengacara professional, brokers, dan fixers. Bisa anda jelaskan mengenai ini?
Temuan saya dilapangan, ada tiga macam pengacara. Dulu pengacara dibedakan dari yang kerja ke pengadilan dan tidak ke pengadilan (membuat kontrak). Namun, sekarang pengacara itu berbeda-beda, berdasarkan pandangan mereka tentang image dalam sistem hukum.
Nah, pengacara yang tidak melakukan praktik litigasi dan tidak pernah ke pengadilan adalah tipe pengacara profesional. Mereka menganggap diri mereka adalah pengacara yang beretika, tidak pernah menyogok hakim, tidak melakukan korupsi lantaran tidak pernah ke pengadilan. Jadi mereka sehari-harinya cuma membuat kontrak, duduk di kantor, meeting dengan klien, dan menulis email.
Kemudian ada brokers. Pengacara ini ke pengadilan untuk menangani kasus perceraian atau tindak kriminal seperti pencurian. Hanya saja, pengacara ini kebanyakan membuat kontrak berisi 2 halaman. Sedangkan yang sudah profesional biasa menulis kontrak mencapai ratusan halaman hanya dalam 1 kontrak. Untuk transaksi, kontrak bukan hanya 1 mungkin ada 10 kontrak dalam 1 kali tanda tangan dan itu bisa mencapai 1000 halaman untuk dibaca. Tetapi kalau untuk brokers, mereka hanya membuat 2 halaman, kontraknya hanya surat kuasa untuk membela klien.
Terakhir, pengacara yang paling penting yaitu fixers karena meraka bisa membuat kontrak yang kompleks seperti yang telah saya sebutkan, yang berisi beribu-ribu halaman, namun mereka juga mempunyai istilahnya ‘anak buah’ yang dapat mereka suruh ke pengadilan. Pengacara jenis ini bisa mempunyai klien dari perusahaan-perusahaan besar atau juga seorang individual penting.
Dari ketiga kategori pengacara ini, mayoritas yang dominan di dunia hukum Indonesia yang mana?
Dominan dalam artian kuat yang biasanya muncul dalam televisi atau dilihat di daerah jalan Sudirman di kota Jakarta misalnya itu masih fixers. Namun, yang banyak di pengadilan itu lebih ke brokers, mereka biasanya sedang menunggu klien atau menunggu sidang. Brokers masih punya impian kalau pekerjaan mereka penting dalam masyarakat. Tapi kalau fixers, bukan impian lagi tetapi mereka merasa pekerjaan ini penting buat klien dan untuk melayani klien mereka mendapatkan idealismenya sendiri.
Jadi, apakah pengategorian pengacara ini, ada yang bisa dikatakan pengacara yang tidak baik?
Tidak, sebenarnya yang buruk juga ada pada pengacara profesional. Kita tidak bisa bilang satu baik satu buruk dengan hanya melihat tipe-tipe pengacara. Mungkin fixers memang jelek kalau berbicara tentang keuangan atau lingkungan kerjanya. Tetapi, kalau berbicara mengenai tentang kerja profesional, si profesional ini kita bayangkan tiap hari mereka hanya duduk di kantor, tidak pernah ke pengadilan.
Justru mereka yang setiap harinya yang tanda tangan kontrak beratus-ratus juta dolar atau berpuluh-puluh juta dolar tentang suatu tambang atau perkebunan. Kita harus lihat juga si profesional ini seperti apa, soalnya mereka bilang mereka profesional, namun sebenarnya mereka tidak berkontribusi terhadap hukum di Indonesia. Mereka justru hanya pergi ke arbitrase.
Makanya, harapannya ada pada brokers sebab masih punya idealisme, mereka biasanya masih pengacara-pengacara muda, dan masih mencari jalannya dalam praktik hukum.
Bagaimana respon orang-orang sekitar terkait disertasi ini? Dikarenakan ini merupakan hal baru di dunia kepengacaraan Indonesia.
Lumayan antusias. Saya sebenarnya tidak terlalu mengembor-gemborkan kalau ada disertasi seperti ini, ini juga terbilang sensitif, jadi yang benar-benar tertarik saja. Kalau hanya membacanya setengah-setengah, bisa-bisa ada yang bilang saya orangnya sukanya mengkritik pengacara.
Bagaimana harapan Anda mengenai disertasi ini?
Berharap lebih banyak orang yang mengerti tentang praktik hukum di Indonesia. Orang-orang yang selama ini berpikir pengacara di televisi memiliki uang yang banyak pasti korupsi tidak lagi langsung menilai, supaya orang-orang juga mengerti bahwa jadi pengacara ternyata begini.
Artinya orang tidak terlalu menghakimi. Seperti yang dilihat sekarang ini banyak profesi hukum yang ditahan KPK, seperti pengacara dan hakim. Otomatis pasti kalau sudah ditahan pemikiran orang-orang mereka itu korupsi.
Data Narasumber :
Nama: Santy Kouwagam, SH LLM PhD
Pendikan:
S1: Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
S2: University of Pittsburgh
S3: Leiden Law School of Leiden University.