Budaya Attarasa milik suku Konjo di Bulukumba mulai memudar. Tiga mahasiswa Fisip Unhas mecoba mencari tahu mengapa hal itu dapat terjadi dengan melakukan observasi secara langsung.
Tradisi. Sebuah diksi yang tak pernah bisa dilepaskan dari predikat masyarakat adat. Indonesia khususnya Sulawesi Selatan memiliki berbagai macam tradisi. Baik yang masih dilaksanakan hingga hari ini maupun yang telah punah.
Nah, berangkat dari rasa penasaran terhadap tradisi salah satu masyarakat adat di Sulawesi Selatan, yakni Suku Konjo, Irfan Badawi bersama dua temannya, Musril Muchtadi dan Hikmawati, membuat sebuah proposal penelitian. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas itu tertarik meneliti tradisi Attarasa Suku Konjo Hero Lange-Lange. Suatu tradisi meratakan gigi anak-anak yang telah memasuki masa remaja menggunakan batu asa.
“Waktu itu kami brainstorming dan melakukan pencarian untuk menilik lebih jauh kira-kira suku apa di Sulsel yang memiliki tradisi unik. Nah, kami pun menemukan kalau ada tradisi meratakan gigi bagi anak-anak Suku Konjo. Bagi kami itu unik sehingga kami pun memutuskan untuk menelitinya,” kata Musril kepada identitas.
Lebih lanjut, mahasiswa ilmu pemerintahan ini mengatakan bahwa tradisi tersebut kini mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya. Demi mengetahui alasan pudarnya tradisi itu, kelompok Pekan Ilmiah Mahasiswa Sosial Humaniora (PKM PSH) ini melakukan observasi langsung. Mereka mewawancarai tokoh agama, tokoh masyarakat, keluarga yang melaksanakan maupun yang tidak melaksanakan tradisi tersebut.
Dari sejumlah wawancara, mereka menemukan beberapa kepingan informasi terkait tradisi tersebut. Dulu, meratakan gigi anak-anak yang telah memiliki tanda memasuki masa remaja adalah suatu keharusan. Sehingga, keluarga yang tidak melakukan kebiasaan itu akan merasa malu. Bahkan kegiatan meratakan gigi selalu menjadi bagian dari acara sunatan anak-anak.
“Jadi ketika dia sudah disunat atau diislamkan, dia harus diattarasa atau giginya digosok dengan batu asa. Ini menjadi simbol bahwa anak itu sudah memasuki pintu dewasa,” lanjut mahasiswa angkatan 2018 itu.
Kurangnya guru-sebutan bagi orang yang melakukan prosesi perataan gigi-menjadi salah satu penyebab lunturnya budaya attarasa ini. Hal tersebut dipicu kurangnya minat masyarakat Suku Konjo untuk mengambil peran sebagai seorang guru. Suatu tradisi memang memiliki kecenderungan punah ketika tak lagi ada orang yang ingin meneruskan kebiasaan turun-temurun tersebut. Atau bahkan ketika memang ilmu atau kemampuan melakukan tradisi tersebut tidak diturunkan sama sekali.
Meski begitu, nyatanya masih juga ada yang setia merawat tradisi leluhur itu. Walau jumlahnya tak sebanyak dulu. Demi melestarikan budaya tersebut, pemerintah setempat memberikan kebebasan kepada masyarakatnya untuk mengembangkan kebudayaan mereka sendiri. Tak ada batasan sama sekali. Budaya attarasa ini penting untuk dipertahankan sebab merupakan ciri khas Suku Konjo yang tidak dimiliki oleh orang atau kelompok lain.
Seluruh informasi tersebut kemudian mereka himpun dalam sebuah karya tulis ilmiah yang diberi judul “Pudarnya Tradisi Attarasa Pada Prosesi Akil Balig Masyarakat Suku Konjo Hero Lange-Lange”. Pada akhirnya Musril berharap agar penelitian yang telah lolos pendanaan dari Dikti ini, memberikan manfaat bagi dirinya sendiri dan orang-orang yang telah mereka jadikan objek wawancara.
“Semoga penelitian ini mampu mendorong mereka (Suku Konjo) agar lebih menjaga tradisi attarasa yang sudah menjadi jati diri mereka,” pungkasnya.
Muh.Irfan