“Terima kasih, ding ding ding… Pemberhentian berikutnya Halte CSA 2.“
Deretan kalimat ini mungkin sudah tak asing di telinga mahasiswa, khususnya di Makassar. Kalimat tersebut kerap terdengar dari pengeras suara Teman Bus, salah satu armada transportasi publik yang melayani kawasan Makassar, Maros, Sungguminasa, hingga Takalar (Mamminasata). Layanan ini dikenal sebagai Trans Mamminasata, sebuah angkutan massal perkotaan yang mulai beroperasi sejak 2021 di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Bagi mahasiswa dan karyawan, kehadiran transportasi publik seperti ini tentu sangat membantu. Bagaimana tidak, hanya dengan membayar kurang dari Rp5.000, kita sudah bisa menempuh perjalanan jauh dengan nyaman dan aman. Apalagi jika kamu termasuk pelajar/mahasiswa, penyandang disabilitas, dan orang lanjut usia, kamu hanya perlu membayar tarif khusus Rp2.000 saja.
Meskipun begitu, kehadiran Trans Mamminasata tak lepas dari kontroversi. Beberapa bulan setelah diluncurkan, layanan ini sempat didemo oleh sejumlah sopir angkot karena dianggap mengurangi jumlah penumpang mereka. Beberapa rute Trans Mamminasata memang beririsan langsung dengan jalur angkot, yang menyebabkan penumpangnya berkurang drastis.
Apakah aksi protes para sopir angkot itu keliru? Tentu tidak. Pemerintah seharusnya merancang kebijakan yang mampu menyatukan seluruh moda transportasi. Bukankah angkot juga termasuk bagian dari layanan transportasi publik di Makassar? Sudah semestinya pemerintah mengupayakan kerja sama yang berkelanjutan antara berbagai jenis transportasi, agar tercipta ekosistem yang saling mendukung di kota ini.
Pernah mendengar slogan “Makassar Kota Dunia”? Sekarang pertanyaannya adalah apakah Kota Daeng ini masih pantas disebut demikian, jika transportasi publik saja masih belum memadai. Alih-alih terus menyalahkan pemerintah, kita juga perlu bertanya, sudahkah kita sadar betapa pentingnya transportasi umum?
Berdasarkan data dari World Population Review, jumlah penduduk Kota Makassar saat ini mencapai 1.737.390 jiwa, dan angka ini diperkirakan akan terus meningkat. Sementara itu, jumlah kendaraan yang beredar telah mencapai sekitar 2,4 juta unit. Jika dibandingkan dengan luas wilayah kota yang hanya sekitar 175,77 km², maka tak heran jika risiko kemacetan semakin tinggi. Kemacetan pun berdampak pada peningkatan polusi udara dan efisiensi waktu mobilitas yang terganggu.
Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), kendaraan motor dan mobil menyumbang emisi karbon sebesar 86,8 juta ton karbon dioksida, atau sekitar 57,9 persen dari total emisi nasional di sektor transportasi. Lantas, mengapa kita tidak mulai beralih menggunakan transportasi umum? Selain murah, transportasi publik juga mampu mengurangi kemacetan dan mempercepat mobilitas masyarakat.
Bayangkan saja, satu unit bus Trans Mamminasata berkapasitas sekitar 20 kursi dan satu angkot memiliki kapasitas 10 kursi itu, dapat menggantikan keberadaan belasan bahkan puluhan kendaraan pribadi di jalan secara bersamaan. Maka dari itu, jika lebih banyak orang yang menggunakan transportasi umum, maka kepadatan lalu lintas bisa ditekan secara signifikan.
Memang, bagi sebagian orang kendaraan pribadi sudah menjadi kebutuhan utama dalam aktivitas sehari-hari. Namun, berdasarkan penelitian oleh Morency dkk., risiko kecelakaan saat menggunakan bus kota tercatat sekitar empat kali lebih rendah dibandingkan menggunakan kendaraan pribadi. Hal ini tak lepas dari adanya prosedur keselamatan, pelatihan rutin bagi pengemudi, dan pemeriksaan berkala terhadap armada bus.
Sayangnya, pada tahun ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Republik Indonesia mencabut sebagian subsidi untuk armada Trans Mamminasata dan menyerahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah. Padahal, dukungan terhadap layanan transportasi publik seharusnya justru diperkuat, terutama di kawasan metropolitan.
Di Makassar hari ini, kita bisa melihat bahwa keberadaan kendaraan berplat kuning, yang menandakan angkutan umum, kian berkurang di jalanan. Sebagai contoh, saat ini Trans Mamminasata hanya melayani satu rute koridor saja. Dampaknya terasa langsung bagi para pengguna. Dengan hanya satu koridor yang aktif, penumpang kerap mengeluhkan lamanya waktu tunggu serta jarak tempuh yang tidak efisien. Hal ini tentu secara tidak langsung menurunkan minat masyarakat untuk menggunakan transportasi publik.
Namun, bukan berarti semua sudah terlambat. Kota ini masih punya peluang besar untuk mendorong penggunaan transportasi umum secara lebih masif. Kita harus mulai membayangkan bahwa memiliki kendaraan pribadi bukanlah satu-satunya pilihan untuk bisa bermobilitas. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan memiliki tanggung jawab untuk menyediakan layanan transportasi publik yang merata, terjangkau, dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
Sebagai mahasiswa, saya merasa pendidikan tentang pentingnya transportasi umum harus segera dikampanyekan. Masa depan transportasi di kota ini hanya akan terbentuk jika kita semua terlibat, baik pemerintah, mahasiswa, maupun masyarakat umum. Di sinilah peran saya sebagai generasi muda dan agen perubahan untuk menjadi tombak terakhir yang menentukan arah dan keberlanjutan sistem transportasi yang inklusif, aman, dan ramah lingkungan di masa depan. Mari sama-sama mendukung dengan mulai menggunakan transportasi publik yang ada di sekitar kita.
Muh. Fadhel Perdana
Mahasiswa Fakultas Teknik angkatan 2023
Sekaligus Reporter PK identitas Unhas 2025
