Awal tahun 2020 lalu, berita pelecehan seksual yang dilakukan Reynhard Tambos Maruli Tua Sinaga, warga Negara Indonesia yang berkuliah di Inggris sempat trending. Reynhard dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atas kejahatan yang dilakukannya di Inggris.
Ia dipenjara setelah melakukan tindak pemerkosaan dan serangan seksual terhadap 48 korban pria dalam 159 kasus di Manchester, Inggris. Polisi menemukan bukti rekaman video kejahatan yang didokumentasikan Reynhard di apartemennya.
Tak sampai di situ, kasus serupa kembali menjadi sorotan media, kali ini menyeret nama Ibrahim Malik. Alumnus Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, ia dikenal banyak orang sebagai motivator, ustaz muda, hafiz dan penyandang mahasiswa berprestasi tahun 2015 Universitas Islam Indonesia. Pemuda ini dikenal cerdas, banyak yang mengidolakan sosoknya. Ia kerap diundang mengisi berbagai kegiatan sebagai pemateri.
Ibrahim Malik saat ini melanjutlan studi magister-nya di Universitas Melbourne dengan bantuan beasiswa Australia Awards Scholarship. Saya pun sebagai mahasiswa sempat mengidolakannya, namun saya merasa ditipu oleh segudang prestasi dan sosoknya yang terlihat jauh dari perbuatan tercela. Namun apa guna segudang prestasi yang dimiliki seseorang bila ia pun dapat ditundukkan oleh nafsunya?
Kedua kasus tersebut menjadi bukti, pelecehan seksual dapat menimpa siapa saja, tidak memandang perempuan atau laki-laki. Pelecehan dapat dilakukan siapa pun dari berbagai latar belakang. Pelecehan seksual bukan hanya berbentuk pemerkosaan semata, tapi banyak bentuk-bentuk lainnya.
Misalnya saja jika seseorang dipaksa berhubungan badan dengan dipeluk, dicium atau bentuk tindakan menyentuh fisik lainnya. Pelecehan pun dapat berupa ucapan yang membuat seseorang merasa tak nyaman. Seseorang pun dapat dilecehkan dimana pun termasuk melalui obrolan di media sosial, seperti yang dialami para korban Ibrahim Malik.
Bersuara bagi korban pelecehan seksual tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan keberanian, kemampuan berdamai dengan diri sendiri, ketabahan dan mental yang tangguh. Pasalnya korban tahu konsekuensi dari niatnya jika berani berbicara. Maka konsekuensi itulah yang mereka takutkan.
Mereka takut disalahkan balik, didiskriminasi, masa depannya terancam, bahkan takut menjadi aib bagi keluarga. Ketakutan bercampur kekhawatiran itulah yang banyak dirasakan korban saat ini.
Rata-rata korban yang mendapat pelecehan seksual kebanyakan hidup tidak tenang karena diancam pelaku. Mereka bahkan merasa terisolasi, juga mengalami trauma dan sulit membuka diri. Hal itulah yang pernah dialami seorang kenalan saya di kampung. Ia adalah senior saya di sekolah menengah atas.
Senior saya tersebut dilecehkan ketika menumpang hidup untuk bersekolah di rumah saudara ibunya. Saya tak tahu persis bagaimana awalnya ia dilecehkan. Namun ancaman yang tiap kali dilontarkan pamannya saat meminta berhubungan badan, cukup membuat korban tak berkutik dan memilih bungkam selama lima tahun.
Hingga suatu hari di tahun ke lima ia mendapat pelecehan, entah dorongan dari mana ia berani menyuarakan semuanya. Senior saya membeberkan semua kebejatan pamannya. Ia mengaku sempat ingin lari dari kenyataan hidup yang menodongnya. Rasa bersalah dan hina sempat mengacaukan hidupnya. Awalnya ia ingin menceritakan kepada orang tuanya, tapi kemudian ia ragu.
Ketakutan mulai menguasai dirinya, dan ia pun hanya bertanya pada dirinya sendiri, bagaimana jika ia cerita lantas orang tuanya tak percaya? Atau orang tuanya percaya dan langsung mengamuk hingga membunuh pelaku? Lalu apa yang akan dikatakan orang-orang di kampungnya? Bagaimana ia bisa bertahan hidup dari belas kasihan karena menjadi korban pelecehan? Atau bagaimana jika ia dan keluarga menerima hujatan mengerikan di lingkungan sosialnya ? Pertanyaan itu cukup membuatnya bimbang dan takut. Ia dihantui perasaan berdosa.
Ngeri rasanya mengetahui kebenarannya. Saya tak mampu membayangkan bagaimana berada di posisinya. Bagaimana ia melalui hari-hari mengerikan 5 tahun itu dan menerima perlakuan layaknya binatang dari pamannya.
Bagaimana ia bisa menyembunyikan begitu rapat kepahitan hidupnya. Ia menjalani masa-masa yang berat selama 5 tanun itu. Perlakuan tak pantas diterimanya, sampai-sampai ia berpikir apakah ia kini telah menjadi seorang pelacur.
Untuk itu, penanganan kasus pelecehan seksual harus dilakukan secara hati-hati dan seadil-adilnya. Pemerintah Indonesia harus belajar banyak dari cara Inggris menangani kasus Reynhard. Dilansir dari Tempo.co Pengadilan Inggris membuktikan kesetiannya dalam menegakkan prinsip peradilan yang jujur, penegakan hukum, dan perlindungan privasi.
Saat persidangan tertutup digelar, pengadilan memberikan peringatan kepada jurnalis berupa larangan peliputan. Pengadilan melarang peliputan sidang pidana kasus kesusilaan demi melindungi korban yang mengalami trauma, menjaga objektivitas juri dan melindungi privasi terdakwa.
Mulai aturan tersebut diberlakukan, media pun patuh sampai larangan tersebut dicabut pengadilan. Indonesia sendiri dikabarkan belum memiliki aturan komprehensif terkait kasus kesusilaan. Berbeda di Inggris, sistem peradlilan Inggris dapat menjadi contoh ideal penerapan asas praduga tak bersalah.
Penulis: Badaria,
Merupakan Reporter PK identitas
Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik,
FISIP Unhas
Angkatan 2018.