Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berapa pekan lalu, Selasa (6/12). Disahkannya undang-undang (UU) ini guna menggantikan KUHP lama, yang telah diberlakukan sejak masa kolonial. Lantas pengesahan tersebut rupanya menuai pro dan kontra di masyarakat.
Pihak yang mendukung secara lantang mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan KUHP yang baru saat ini. Namun di sisi lain ada pula yang menentang pengesahan UU tersebut karena dianggap terburu-buru. Ditambah lagi, munculnya sejumlah pasal-pasal yang menambah keruwetan isu pengesahan KUHP terbaru ini.
Lantas, bagaimana ahli hukum melihat hal tersebut? Reporter PK identitas Unhas, Zidan Patrio, melakukan wawancara langsung dengan Pakar Hukum Pidana Unhas, Dr Syarif Saddam Rivanie Parawansa SH MH, Kamis (15/12).
Sebenarnya apa esensi dari KUHP sehingga pemerintah terus mendesak untuk mengesah UU tersebut?
Jadi KUHP lama sebenarnya peninggalan dari zaman Belanda yang tentunya tidak relevan sekarang. Sifat hukum pada KUHP lama hanya pembalasan saja ketika orang melakukan kejahatan. Menurut saya, memang perlu dibuat kembali KUHP seperti yang disahkan baru-baru ini oleh pemerintah. KUHP sifatnya lex generalis atau bersifat umum. Berbeda dengan UU lain seperti UU Korupsi dan Pemberantasan Terorisme yang bersifat khusus atau lex specialis.
Sekarang masyarakat semakin modern, maka harus diikuti dengan hukum yang modern pula. Makanya, diperlukan revisi KUHP kembali. Kalau dianggap terburu-buru, KUHP ini sebenarnya sudah lama dirancang. Akan tetapi baru disahkan pada 6 Desember lalu. Untuk itu, perlu kita perhatikan secara baik-baik demi meningkatkan penegakan hukum di Indonesia.
Bagaimana Anda menilai tentang pasal penghinaan terhadap lembaga negara guna melindungi harkat dan martabat penguasa yang kontroversial di masyarakat?
Pemerintah harus memberikan batasan-batasan yang dianggap sebagai penghinaan, kritikan, saran, dan sebagainya. Jangan sampai ke depannya seorang berniat mengkritik lembaga negara, tetapi malah dianggap sebagai penghinaan.
Dalam KUHP lama, dijelaskan bahwa penghinaan adalah merendahkan harkat dan martabat seseorang. Misalnya si A meludahi mukanya si B, itu jelas merendahkan harkat dan martabat seseorang karena dia malu. Maka harus diberikan batasan terkait hal tersebut.
Apakah pasal yang menghukum hubungan seks bagi bukan suami istri berdampak signifikan ke depannya kepada masyarakat internasional?
Seharusnya pihak luar yang menghormati hukum kita. Ada yang disebut dengan asas teritorial, ketika orang asing melakukan kesalahan atau kejahatan di Indonesia maka harus dihukum sesuai negara kita. Mereka yang harus mengikuti peraturan negeri ini dan tidak boleh seenaknya. Memang di luar negeri banyak yang bukan suami istri kumpul kebo karena sesama suka. Kalau di Indonesia itu namanya zina.
Saya sempat baca berita yang mengatakan bahwa bila ada yang kedapatan kumpul kebo maka harus diadukan terlebih dahulu oleh orang tua dari salah satu pihak pelaku itu. Jadi ini termasuk pada delik aduan dimana harus mengadu dulu untuk mengetahui kerugian yang dirasakan masing-masing pihak.
Mayoritas masyarakat menolak untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengesahan KUHP, karena adanya rumor relasi kuasa antara MK dengan DPR. Bagaimana tanggapan Anda?
MK seharusnya profesional walaupun dianggap telah ‘dikuasai’ oleh pemerintah dan DPR. Mereka adalah penjaga marwah peraturan dari konstitusi kita. Putusan MK bersifat final dan mengikat, tidak ada lagi di atasnya. Jadi apa diputuskan MK maka itu yang harus dijalankan.
Sekarang bukan hanya MK saja yang tidak dipercaya tapi banyak juga lembaga lain. Hal ini yang seharusnya diperbaiki untuk meningkatkan kepercayaan publik. Baik itu citra, marwah, profesionalitas dan terutama integritas hakim.
Bagaimana harapan Anda kedepannya terkait KUHP ini?
Tentu harapan saya agar benar-benar KUHP dapat diterapkan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Jangan sampai terjadi kasus kriminalisasi atau dekriminalisasi. Peran dari aparat penegak hukum sangat diperlukan untuk terciptanya penegakkan hukum yang komprehensif dan baik kedepannya.
Dalam Teori Penegak Hukum menurut Lawrence M Friedman itu memuat tiga unsur yakni substansi, struktur, dan kultur. Substansi adalah isi dari peraturan perundang-undangan itu, kalau struktur terkait dengan aparat penegakkan hukum seperti polisi, hakim, advokat. Terakhir adalah kultur atau budaya penegakkan hukumnya. Mudah-mudahan dengan adanya KUHP yang baru ketiga faktor penegakkan hukum dapat betul-betul diterapkan.
Narasumber:
Nama: Dr Syarif Saddam Rivanie Parawansa SH MH
Tempat Tanggal Lahir: Surabaya, 16 Oktober 1991
Pendidikan:
S1: Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
S2: Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
S3: Fakultas Hukum Universitas Airlangga