Melindungi komoditi Indonesia secara indikasi geografis sangat diperlukan, disamping itu dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal.
Pengalaman produk Indonesia yang diakui oleh negara lain bukan cerita baru. Kasus pendaftaran merek kopi dengan nama Toraja oleh PT Toarco Coffee, perusahaan asal Jepang pada tahun 1976, merupakan salah satu contoh. Bahkan satu tahun kemudian perusahaan asal Jepang tersebut mendaftarkannya sebagai merek internasional. Sehingga untuk mengunakan merek ini harus meminta izin kepada PT Toarco Coffee.
Cerita lain, datang juga dari Reog Ponorog yang diklaim oleh Malaysia sebagai kesenian mereka, maupun kasus-kasus lainnya. Belajar dari pengalaman ini, perlu upaya dalam melindungi produk-produk yang berciri khas Indonesia dengan mengindikasikannya secara geografis.
Hal inilah yang dilakukan oleh Dosen Fakultas Hukum Unhas, Dr Hasbir Paserangi SH MH untuk melindungi Pulu Mandoti. Pulu Mandoti sendiri merupakan beras kentan wangi yang tumbuh di wilayah pengunungan dengan ketinggian sekitar 700 Mdpl. Beras ini hanya tumbuh di suatu desa di Kabupaten Enrekang.
Kata Hasbir Paserangi, Pulu Mandoti sudah dilirik oleh banyak peneliti, baik di kancah nasional maupun internasional. Bahkan Jepang pernah mempelajari dan mencoba menanam jenis padi ini di tempat lain, hasilnya tetap sama, tidak beraroma wangi.
“Kasus hukum terkait beras pulu’ Mandoti setahu saya tidak ada. Walaupun Jepang pernah mencoba menanam padi ini di negerinya, namun hasilnya tidak sewangi ketika ditanam di Enrekang,” ucapnya.
Penelitian ini pun disambut baik oleh masyarakat Enrekang khususnya Desa Salukanan, Kendenan, dan Pepandungan, Kecamatan Baraka sangat antusias, bahkan sudah lama sekali mereka menginginkan hasil alam mereka diberikan Indikasi Geografis (IG) milik Indonesia.
Hasbir Paserangi dibantu oleh kedua temannya yang juga dosen Hukum, Adistya Frandika Dwi Oktavianty Baramuli SH M KN, dan Ahmadi Miru SH MH melakukan kajian mengetahui peran pemerintah dalam mendorong tumbuhnya perlindungan IG ini.
Kajian ini melibatkan stakeholder seperti Kepala Dinas dan Staff Hukum Dinas Pertanian dan Perkebunan, Kepala Dinas dan Staff Sekertaris Daerah Bagian Hukum Kabupaten Enrekang, dan sepuluh petani padi.
Perlindungan hukum IG terhadap beras pulut mandoti belum terwujud secara optimal. Hal ini disebabkan antara lain, kurangnya informasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pendaftaran IG ini, serta lambatnya pemerintah dalam melakukan pengurusan berkas pendaftaran dan ketentuan mengenai IG di Indonesia yang masih kurang jelas.
Menurut Hasbir Paserangi pendaftaran Pulu Mandoti sebagai IG harus senantiasa diinformasikan kepada masyarakat agar mereka mengetahui sejauh mana proses berlangsung dan tidak terjadi kesalahpahaman antara masyarakat dan pemerintah.
Tanpa adanya dukungan dari pemerintah setempat, bisa dikatakan nihil. Pemerintah sangat berperan dalam mempromosikan, mendistribusikan, dan mengemas beras Enrekang ini dengan kemasan yang lebih menarik untuk dipasarkan ke seluruh Indonesia, bahkan ekspor ke luar negeri.
Peluang bisnis ini sangat menjanjikan karena pendaftaran IG sendiri sudah menjamin kualitas produk tersebut. “Karena beras ini melalui proses pengawasan yang ketat oleh anggota Asosiasi yang dibentuk oleh para kelompok petani yang ada di desa tersebut,” katanya.
Singkat cerita, untuk pendaftaran HKI dibutuhkan uji laboratorium. Maka itu dosen fakultas hukum ini melakukan uji kandungan Gabah, laboratorium pasca panen di Karawang, dan uji tanah di laboratorium tanah Unhas.
“Setelah itu, saya tindak lanjuti dengan pendaftaran Indikasi Geografis sebagai target luaran dalam penelitian ini. Alhamdulillah setelah melalui proses panjang akhirnya tahun 2020 sudah keluar sertifikat Indikasi Geografisnya atas produk Beras Pulu’ Mandoti Enrekang,” jelasnya Kamis, (18/2).
Dengan pendaftaran yang sudah dilakukan dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Namun jangan berhenti sampai di pulut mandoti, pemerintah kiranya terus menginventarisasi produk-produk lain khas Enrekang.
Selain itu, bukan berarti peneltian ini tidak mendapatkan kendala, dosen kenoktarian ini mengatakan jarak untuk mengumpulkan data cukup jauh dari pusat Kota Enrekang.
“Terkadang setengah perjalanan naik mobil, kemudian naik motor karena terkendala perbaikan jalan setapak. Namun disuguhi panorama alam yang indah, tak terasa ternyata telah menempuh perjalanan selama dua jam,” tuturnya.
“Hal lain juga dirasakan saat uji laboratorium di Karawang, butuh waktu 6 jam pulang pergi dari Jakarta-Karwang. Tapi alhamdulillah semua bisa diatasi,” jelasnya.
Hasbir mengatakan Pemda Enrekang harus lebih apresiatif atas Pendafatarn Indikasi Geografis beras Enrekang ini. Jangan berhenti setelah keluarnya sertifikat ini. “Perlu ada upaya secara aktif dan berkesinambungan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat petani pascapendaftaran. Apalagi proses mendaftar membutuhkan waktu yang lama, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit,” tutupnya.
Warda Atirah