Akses air bersih di Makassar kian sulit. Penelitian yang dirilis oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) baru-baru ini mengungkap bagaimana kondisi tersebut terjadi di Makassar. Kondisi ini memprihatinkan, sebab belakangan, Makassar tengah digadang-gadang sebagai kota dunia.
Penelitian setebal 78 halaman tersebut memaparkan beberapa permasalahan air bersih yang kerap dialami warga Makassar. Beberapa di antaranya yakni air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang tidak mengalir, air bersih yang sulit, sumber air jauh, air yang harus dibeli, dan kualitas air yang kurang baik. Adapun 86 responden lainnya yang diteliti mengungkap bahwa pemerintah yang tidak pernah mendengarkan keluhan air bersih warga.
Lalu, mengapa terjadi kelangkaan air bersih di Makassar? Dan bagaimana pemerintah seharusnya mengatasi permasalahan ini? Berikut wawancara khusus Reporter PK identitas Unhas, Muh Fadhel Perdana, bersama Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan, Slamet Riadi. PK identitas berkunjung ke kantornya yang berada di Jalan Aroepala, Kompleks Permata Hijau Lestari, Makassar, pada Senin (14/10).
Kami telah membaca laporan penelitian Anda berjudul ”Makassar, Kota Dunia yang Krisis Air”. Apa alasan utama melakukan penelitian ini?
Penelitian ini sebenarnya dilakukan karena beberapa alasan. Pertama adalah rasa penasaran, dan yang kedua adalah sudah waktunya untuk melihat mengapa di wilayah Tallo atau di Makassar Utara itu mengalami krisis air yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Beberapa warga mengatakan, mereka sudah bertahun-tahun mengalami krisis air. Untuk itu, kami coba melihat bahwa saat ini Makassar dibranding dua citra, yakni satu Makassar kota dunia, satunya lagi Makassar kota paling bahagia. Dua hal ini kan sangat kontradiktif. Kok ada kota dunia yang mengalami krisis air.
Bagaimana kondisi air bersih di Kota Makassar saat ini?
Saya rasa kondisinya sangat kurang baik. Karena masyarakat di bagian utara, khususnya di pesisir, ketika kemarau betul-betul mengalami kelangkaan air bersih. Sebab, wilayah itu tidak dialiri oleh PDAM dan air ledeng.
Kedua, opsi untuk memilih air bor atau menggunakan sumur bor itu tidak ada karena air tanahnya itu bau, tidak bisa digunakan. Saat musim kemarau tiba, maka betul-betul tidak ada pilihan untuk menggunakan air, baik air ledeng maupun air tanah. Makanya satu-satunya pilihan adalah mereka harus membeli air. Padahal air kan adalah hak asasi juga, bukan yang dijadikan komoditas.
Menurut Anda, apakah pemerintah belum serius mengatasi kelangkaan air bersih yang ada di daerah seperti Tallo, Antang, dan wilayah lainnya di Makassar sebagaimana yang tergambarkan dalam penelitian Anda?
Kalau dibilang tidak serius, sebenarnya tidak juga. Misalnya ketika warga itu mengalami kekeringan, pemerintah kota memberikan bantuan air bersih. Namun, kurang tepat penyelesaiannya, bisa dikatakan seperti itu.
Air tidak mengalir bukan karena masalah pipa. Persoalan mendasarnya adalah karena ada ketimpangan distribusi air di kota ini. Di Makassar utara, jumlah pelanggan PDAM banyak, tapi volume airnya sangat sedikit dialirkan. Beda dengan Makassar bagian barat, yang jumlah pelanggannya sedikit, tapi volume air yang disalurkan atau dialirkan itu empat kali lipat lebih banyak dibanding Makassar utara.
Pertanyaannya kenapa? Kami menemukan bahwa di Makassar bagian barat, memang ada banyak industri dan jasa, seperti hotel, yang memang membutuhkan banyak air dalam jumlah volume yang besar.
Jadi seharusnya masyarakat itu harus diperhatikan atas pemenuhan air bersihnya tadi. Kami sebenarnya menilai bahwa penyelesaian air bersih di kota Makassar, yang dilakukan selama ini oleh pemerintah itu tidak tepat sasaran. Sebab akarnya yang tidak kunjung diselesaikan, soal distribusi dan ketimpangan air bersih.
Pun juga pemerintah biasa berdalih bahwa soal air baku, sebenarnya bisa terjadi interkoneksi. Jadi air yang seharusnya banyak mengalir ke Makassar barat, sebenarnya bisa disubsidi ke Makassar utara juga. Karena sama-sama memerlukan dan membutuhkan air. Dan yang paling penting, karena air itu adalah hak asasi, di mana semua orang berhak untuk mendapatkan air bersih.
Dari hasil penelitian disebutkan bahwa PDAM tak mampu mencukupi semua kebutuhan air masyarakat. Namun sebagaimana yang kita lihat, ada dua bendungan besar di Sulawesi Selatan yakni Bendungan Bili-Bili dan Bendungan Lekupencing. Apakah dua bendungan itu tak cukup?
Dari pandangannya PDAM, air bakunya tidak mencukupi. Karena selama ini memang ada dua bendungan yang dipergunakan sumber air bakunya.
Tapi lagi-lagi dari hasil kajian kami menemukan bahwa bukan persoalan cukup atau tidak cukup sebenarnya. Persoalannya adalah ada wilayah yang dialiri air lebih besar dibanding dengan wilayah lain. Seandainya aliran air ini dibagi sesuai dengan jumlah pelanggan, saya kira tidak akan kekurangan. Karena distribusinya juga akan merata sesuai pelanggan yang tercatat.
Namun hal ini tak terlaksana. Makassar bagian utara yang pelanggannya banyak tapi aliran airnya sedikit. Sementara di Makassar bagian barat, pelanggannya sedikit tapi airnya yang dialiri banyak.
Jadi kalau persoalan tadi soal kekurangan air baku, saya kira itu bukan menjadi akar persoalannya. Memang itu menjadi masalah, tapi saya kira persoalan mendasarnya yang harus dibenahi untuk PDAM adalah soal ketimpangan dan distribusi air bersih.
Apakah ketimpangan sosial dan ketidakseimbangan pembangunan berhubungan dengan krisis hidrologi di Makassar?
Ya, saling berhubungan. Hidrologi itu sebuah sistem atau siklus air, baik air permukaan maupun air tanah, yang dimana secara kawasan harus melihat pendekatannya dari daerah aliran sungai (DAS). Ketika berbicara DAS, itu tidak bisa dilepaskan dari aksi melindungi kawasan hutan di hulunya atau di atasnya. Karena hutan itu punya banyak fungsi untuk menampung air, memberi nutrisi bagi tanah, dan menyimpan cadangan-cadangan.
Makanya sangat penting untuk melindungi DAS itu. Nah, dalam konteks pembangunan ini, Kota Makassar semakin rentan karena di hulunya saja tiga DAS itu rusak. Angkanya di bawah 30 persen.
Sementara di hilir sistem drainase dan RTH-nya juga sangat buruk. Dengan RTH masih di bawah 30 persen, dengan sistem drainase kotanya yang belum terkoneksi antara satu sama lain. Karena secanggih-canggihnya drainase itu dia harus menghubungkan antara drainase primer, sekunder, dan tersier.
Makassar jika kemarau itu akan kekeringan, namun jika musim hujan itu akan kebanjiran. Bagaimana menurut Anda terkait kondisi demikian?
Hal yang perlu kita ketahui adalah kondisi lingkungan yang semakin terdegradasi. Persoalan-persoalan lingkungan hidup itu tidak bisa lagi diselesaikan atau dibatasi oleh wilayah administrasi. Makanya pendekatan yang lebih tepat untuk melihat persoalan ini adalah pendekatan bentang alam atau kawasan.
Dalam hal ini, ketika berbicara soal banjir dan kekeringan, pendekatan yang tepat saya kira adalah dengan melihat DAS. Penting bagi Makassar atau bagi pemimpin Kota Makassar ke depan untuk menurunkan ego-nya. Wali kota semestinya bekerja sama dengan bupati-bupati di daerah lain seperti Takalar, Goa, dan Maros. Karena masa depan wilayah yang dia pimpin itu berada di tiga daerah itu sebenarnya.
Kalau hulu atau hutan di daerah, di tiga daerah itu dirusak, maka Makassar yang akan mendapatkan musibahnya. Secanggih apapun pendekatan teknologi yang dilakukan nantinya, itu tinggal menunggu waktu saja bencana akan datang.
Menurut Anda, apa yang semestinya dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi masalah ini?
Kami sekali lagi mendesak pemerintah Kota Makassar, termasuk wali kota yang terpilih nantinya, siapapun itu, untuk menyelesaikan akar persoalan krisis air di kota ini. Masalah utamanya bukan hanya soal pipa atau ketersediaan air baku, tetapi ketidakmerataan distribusi air.
Wilayah utara Makassar menerima aliran air yang sangat sedikit, padahal pelanggannya banyak. Sementara di wilayah barat, jumlah pelanggan lebih sedikit namun aliran airnya jauh lebih besar, hingga empat kali lipat dibandingkan yang diterima Makassar bagian utara.
Selain itu, masyarakat juga perlu berperan aktif, terutama dalam hal menjaga lingkungan. Misalnya dengan tidak membuang sampah sembarangan dan memperhatikan tempat tinggalnya. Infrastruktur yang berlebihan dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai juga sering kali mendorong perilaku masyarakat yang kurang baik, dan itu harus diperbaiki bersama.
Informasi narasumber:
Slamet Riyadi
Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulawesi Selatan
Pengajar Politik Lingkungan dan Sumber Daya Alam di Universitas Teknologi Sulawesi, Makassar
Riwayat pendidikan:
S1 Universitas Hasanuddin – Sastra Inggris (2016)
S2 Universitas Gadjah Mada – Antropologi (2019)