Seberapa sering Sobat iden berhadapan dengan birokrat? seberapa sering pula kamu mendapat tatapan sinis dari mereka? Mungkin kita semua (setidaknya sekali) pernah mengeluhkan pelayanan publik oleh birokrat tersebut. Tidak usah jauh-jauh, cukup lihat pelayanan publik di fakultas masing-masing.
Perlu diketahui bahwa birokrat merupakan aparatur yang berada dalam birokrasi. Max Weber mendefinisikan birokrasi sebagai sistem pemerintahan yang kompleks dan berlapis-lapis dan mengikuti hierarki tertentu. Untuk itu, dalam sistem pemerintahan birokrasi merupakan pondasi. Tahu kan Sobat iden kalau suatu bangunan pondasinya tidak kuat, maka bangunannya akan cepat rusak?
Dalam Ilmu Administrasi, birokrat yang bersentuhan langsung dengan pelayanan publik disebut street-level bureaucratic. Birokrat pada level ini memegang tanggung jawab yang besar karena kepuasan masyarakat tergantung pada pelayanan mereka. Pada saat yang sama, mereka pun harus mengambil keputusan dan menerapkan kebijakan yang telah dibuat oleh atasannya. Hal tersebut bisa saja menimbulkan efek evaporisasi (penguapan), yaitu ide pembuat kebijakan tidak dapat diterjemahkan oleh bawahan, para street-level bureaucratic menjadi kebijakan operasional.
Sejak era reformasi hingga saat ini, para birokrat yang berada pada level “street” masih memiliki mentalitas penguasa yang diwarisi oleh kolonial. Mereka menganggap, rakyatlah yang membutuhkan mereka. Padahal, hakikat pelayanan publik adalah pemberian layanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan dari kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Kalimat tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 6 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Kata “abdi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti orang bawahan; pelayan; hamba. Maka idealnya, para birokrat bekerja dengan orientasi kepuasan masyarakat. Pelayanan prima sendiri adalah pelayanan yang melebihi ekspektasi masyarakat itu sendiri.
Tidak jarang pula ditemukan para birokrat ini mengambil hak dari masyarakat dengan melakukan praktik korupsi. Korupsi tidak hanya berupa uang namun dapat berupa waktu maupun tugasnya. Indonesian Corruption Watch (ICW) mengungkapkan pada Semester 1 tahun 2021 ASN (Aparatur Sipil Negara) yang terjerat kasus korupsi sebanyak 162 orang.
Untuk itu, Indonesia sudah sejak lama berkomitmen untuk melakukan reformasi birokrasi. Hal tersebut terlihat dari upaya pemerintah membentuk peta jalan pelaksanaan reformasi birokrasi (Road Map Reformasi Birokrasi). Road Map ini tertuang dalam Peraturan Presiden No. 80 Tahun 2011 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia Tahun 2010-2025. Tujuan road map tersebut adalah menciptakan good and clean government yaitu pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa.
Reformasi birokrasi adalah upaya untuk melakukan perubahan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan.
Dari peraturan yang mengikat tersebut, maka para birokrat dipaksa untuk keluar dari zona nyamannya. Mereka haruslah mengubah pola kerja yang mungkin telah menjadi budaya di organisasi pemerintahan tersebut. Tantangan reformasi berada dalam tubuh birokrasi itu sendiri. Banyak birokrat yang resisten terhadap perubahan. Pola kerja yang sudah menjadi budaya seakan membuat birokrat enggan untuk menerima perubahan.
Dalam Road Map tersebut disebutkan pola kerja birokrasi akan berubah sepanjang waktu mengikuti zaman. Pada tahun 2010, birokrasi Indonesia menerapkan rule based bureaucracy, yaitu birokrasi berdasarkan aturan yang menyebabkan ASN tidak memiliki daya saing, kemudian akan berubah menjadi performance based bureaucracy yaitu birokrasi berdasarkan kinerja, dan dynamic governance yaitu pemerintahan yang dapat beradaptasi dengan perubahan.
Ketika kita mengulik Road Map tersebut kita akan menemukan reformasi birokrasi Indonesia berjalan sangat lamban. Disebutkan dalam peta perjalanan tersebut, pada tahun 2025 artinya dalam setahun kedepan, Indonesia akan mewujudkan pemerintahan berkelas dunia yaitu pelayanan publik yang berkualitas dan pemerintahan yang efektif-efisien.
Dikutip dari Lembaga Administrasi Negara (LAN), indikator keberhasilan reformasi birokrasi salah satunya yaitu Indeks Persepsi Korupsi. Namun, menurut Transparency International, Indonesia saat ini berada pada peringkat 115 dari 180 negara yang disurvei dalam keseriusannya memberantas korupsi. Korupsi sendiri merupakan patologi (penyakit) birokrasi yang tumbuh dalam tubuh birokrasi dan sepertinya telah menjadi budaya dan dianggap hal biasa.
Mampukah Indonesia berada pada level tersebut dalam waktu setahun dengan kondisi birokrasi saat ini?
Zakia Safitri Sijaya
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2021
Sekaligus Reporter PK identitas Unhas 2024