“Jadikan semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah. Tidak ada waktu untuk tidak belajar, karena ilmu itulah yang akan menjaga kita dari hal-hal buruk.”
Itulah pesan yang ditinggalkan oleh sosok yang begitu konsisten berbagi ilmu, gagasan, dan kepedulian. Setiap kali namanya disebut, kenangan yang muncul di benak keluarganya bukanlah deretan jabatan yang pernah ia emban, melainkan buku-buku yang selalu menyertai langkah hidupnya.
Ia pulang dari dinas dengan membawa kardus penuh bacaan, seolah-olah tak pernah puas menimba pengetahuan. Bahkan, saking cintanya membaca, ia sering kali membeli judul yang sama tanpa sadar. Dialah Dr H Aswar Hasan MSi.
Lahir pada 1963, ia menempuh pendidikan sarjana hingga doktoral di Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin (Unhas). Sedari muda, Aswar sudah aktif dalam berbagai organisasi Islam. Mulai dari Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI), hingga Keluarga Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Ia tidak pernah membatasi diri pada satu kelompok tertentu.
“Ayah saya dekat dengan semuanya, baik Wahdah, Muhammadiyah, maupun NU (Nahdlatul Ulama). Karena bagi dia, Islam itu adalah Islam, tidak perlu memilih-milih,” ujar sang anak, Ari Azhari, Jumat (22/08).
Namun, semangat berorganisasi itu sempat mengganggu perjalanannya di bangku kuliah. Ia nyaris gagal menyelesaikan studi sarjana karena terlalu sibuk beraktivitas di organisasi. Seorang sahabat, Iqbal Sultan, sampai memaksanya untuk berhenti sejenak dan fokus menulis skripsi, bahkan mengurungnya selama dua bulan agar konsentrasi penuh.
Dari pengalaman itu ia belajar tentang keseimbangan, bahwa idealisme organisasi harus tetap berjalan seiring dengan tanggung jawab akademik. Hal itu menjadi bekal berharga yang membentuk kedisiplinannya di masa depan.
Sejak 1992, ia resmi menjadi dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unhas. Sebagai akademisi, ia tidak hanya mengajar di ruang kuliah, melainkan juga aktif menulis di ruang publik. Pada awal 2000-an, ketika media cetak masih berada di puncak kejayaan, ia sering menyalurkan gagasannya di koran, bahkan berdebat secara elegan lewat opini di Media Fajar atau Tribun.
Baginya, tulisan adalah cara untuk menyelesaikan perbedaan pandangan, bertukar ide, sekaligus menyumbangkan gagasan bagi masyarakat luas. Keluarganya mengenang rubrik kecil “Secangkir Teh” sebagai warisan paling berkesan, karena di sana ia menuliskan hikmah-hikmah kehidupan dalam bahasa yang sederhana, ringan, namun menyentuh.
Selain di kampus dan media, Aswar Hasan juga aktif mengabdi di lembaga negara. Ia dipercaya sebagai Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Sulawesi Selatan (Sulsel) periode 2004–2007, lalu menjabat Ketua Komisi Informasi Publik Sulsel pada 2011–2015, hingga kemudian menjadi anggota KPI Pusat. Dalam setiap amanah itu, ia memandang tugas bukan sekadar jabatan, melainkan jalan pengabdian.
“Di mana ayah saya berpijak, di situ dia menjadikannya lautan ilmu,” kenang anaknya.
Salah satu keresahan yang kerap ia ungkapkan adalah tentang kualitas siaran publik. Ia gusar melihat televisi yang sarat dengan kekerasan, pornografi, dan tayangan yang tidak mendidik. Menurutnya, frekuensi publik adalah milik masyarakat dan harus dimanfaatkan untuk mencerdaskan.
Ia tidak ingin Makassar terus-menerus digambarkan hanya sebagai kota demonstrasi dan kerusuhan di layar kaca. Dari sanalah lahir perjuangannya agar publik mendapat tontonan yang sehat dan bermanfaat, sebuah visi yang ia pegang teguh sepanjang kiprahnya di dunia penyiaran.
Di rumah, dedikasi itu tak pernah padam. Kegiatan utama bersama keluarga tetaplah berkisar pada buku. Ia kerap berdebat dengan anaknya tentang isi bacaan, melatih daya kritis sekaligus mempererat hubungan. Dari perdebatan itu, lahir latihan argumentasi yang mengasah kemampuan berbicara, sekaligus menciptakan suasana intelektual hangat di tengah keluarga.
Ia juga meninggalkan pesan hidup yang sederhana tetapi kuat. Salah satunya adalah tentang warisan.
“Kita ini bukan orang kaya, dan satu-satunya hal yang paling berharga yang akan saya wariskan ke kau adalah buku-buku.”
Aswar Hasan berpulang pada 13 Agustus 2025 setelah menjalani perawatan di rumah sakit akibat serangan strok ketiga. Ia pergi dengan tenang, meninggalkan duka bagi keluarga, kolega, mahasiswa, dan sahabat-sahabatnya.
Namun, sebagaimana diyakini keluarganya, tulisan adalah cara seorang pemikir untuk tetap hidup. Saat ini keluarga berupaya mengumpulkan dan menerbitkan karya-karya yang belum sempat dipublikasikan, agar gagasan-gagasannya terus mengalir ke generasi berikutnya.
Sosoknya kini abadi dalam buku, artikel, opini, dan pesan-pesan sederhana yang pernah ia ucapkan. Ia membuktikan bahwa intelektual sejati tidak pernah benar-benar pergi.
Selama orang-orang masih membaca tulisannya, mengingat pesan hidupnya, dan melanjutkan perjuangan pikirannya, maka kehadirannya tetap terasa. Aswar Hasan meninggalkan dunia, tetapi hidup selamanya lewat kata-kata dan nilai yang diwariskan.
Afifah Khairunnisa
