Untuk adik Kinanti tersayang. Sudah berapa purnama kita tak pernah bersua, mas rindu. Pulanglah, gadis kecil juga sudah lelah menahan rindu. Makan tak habis, tidur tak lelap “Mama di mana?” Dia selalu membangunkanku di pukul dua malam hanya untuk mengajukan pertanyaan yang bahkan jawabannya tak pernah ku ketahui. Dik, pulanglah, agar kita bisa berkumpul saat idul adha nanti.
Ini perihal Adam yang sudah dua tahun lamanya ditinggal merantau oleh sang istri ke negeri Jiran, Malaysia. Telepon tak pernah diangkat, surat tak pernah dibalasnya, namun Adam masih terus menanti sang istri untuk kembali. Ia resah, benar-benar gelisah tatkala tiap musimnya, selalu saja ada kabar mengenai tenaga kerja Indonesia yang mendapat perlakuan buruk di negeri perantauan.
Pekerjaan yang hanya sebatas buruh tani dengan modal lahan dari lurah setempat, membuat Kinanti memutar otak untuk membantu Adam demi menghidupi gadis kecilnya yang kala itu baru beranjak tujuh bulan. “Lalu mas pikir anak kita mau dipakaikan popok apa? Daun pisang saja?” Ucap Kinanti, disela perdebatannya dengan sang suami.
“Biar mas saja yang bekerja, dik. Kamu di rumah saja mengurus Lilis sambil membuka lapak lontong sayur di depan rumah,” balas Adam.
“Mas,” Ia menjeda, berhenti menyendok nasi ke dalam piring “Aku ini mau membantu. Memangnya lontong sayur itu untungnya berapa? Toh, yang makan juga cuma tukang ojek.”
Begitu seterusnya, hingga Adam benar-benar lelah dengan keinginan istrinya untuk menjadi tenaga kerja di negara tetangga.
Hampir satu bulan mengurus semua berkas untuk keberangkatannya, Kinanti akhirnya benar-benar memutuskan untuk merantau meninggalkan anak dan suaminya. “Tunggu aku yah mas, hanya enam bulan masa percobaan, lalu aku akan pulang.” Ucapnya, sebelum mencium telapak tangan sang suami, sebagai salam perpisahan.
“Maafkan mama, nak. Mama harus pergi meninggalkan Lilis dengan bapak.” Si gadis kecil hanya menggeliat dalam gendongan ibunya, tak mengerti apa-apa mengenai persoalan rumah tangga kedua orang tuanya.
Kurang lebih seperti itulah gambaran perpisahan sang istri yang masih terngiang di benak Adam hingga hari ini. Enam bulan, perjanjian awal Kinanti dengan pihak dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bertanggungjawab atas keberangkatannya, yang ia janjikan kepada Adam. Bulan-bulan pertama, telepon masih lancar, surat pun masih diterimanya tiap tanggal tiga puluh. Namun semakin ke sini, surat-surat yang dikirimkan ke alamat rumah majikan Kinanti sudah tak pernah mendapat balasan lagi. Boro-boro telepon diangkat, tersambung dengan operator pun tidak.
Adam semakin pusing, terlebih menghadapi anak yang semakin rewel akibat demam yang sudah tiga hari dideritanya. Malam-malam semakin panjang, handuk basah yang selalu Ia kompreskan ke kepala Lilis tidak memberi dampak apapun terhadap kesembuhannya. Buru-buru ia mengambil sepeda lalu melarikan sang anak ke puskesmas terdekat.
Tak berhenti di situ, sebagai ayah yang harus membanting tulang demi sang buah hati, mau tak mau, Ia pun harus menitipkan Lilis ke tetangga sebelah untuk ditinggal bekerja. Begitu seterusnya hingga sang anak beranjak tumbuh, dan kerutan semakin tergambar jelas di wajah Adam yang sudah tidak secerah dulu.
Hari berganti, kini sudah dua puluh bulan setelah sang istri meninggalkan tanah air. Bersama sang buah hati, Ia menuju kota dan mengunjungi kantor pengiriman TKI yang bertanggung jawab atas sang istri. Tak ada jawaban atas kepulangan Kinanti, hatinya justru semakin tersayat “Oh, ibu Kinanti tiga bulan lalu memutuskan untuk memperpanjang kontrak dan menetap di sana, pak.” Begitu keterangan salah seorang pegawai di sana. Jelas, hatinya teriris. Sakit sekali rasanya menahan rindu selama satu tahun lamanya, dan berujung dengan ketidakpastian. Antara percaya atau ingin menumpahkan air mata, kakinya terasa semakin berat untuk melangkah. Kenyataan di depan matanya adalah bahwa sang istri baru saja meninggalkannya bersama buah cinta yang selama ini Ia besarkan sendiri.
“Nak, kita akan berlayar jauh. Kita pergi menemui mamamu.” Ucap Adam, di suatu malam. Namun belum sampai niatnya untuk mengumpulkan pundi-pundi uang, lalu pegawai lurah menemui kediamannya, seperti di bulan-bulan pertama istrinya merantau. “Dam, ada surat. Dari istrimu!” Bukan main, betapa bahagianya Ia kala itu.
Untuk Lilis, anak kecil mama.
Lilis sayang, mama di sini, jauh. Lilis harus selalu mendengar cakap bapak, jadi anak solehah dan berbakti kepada bapak.
Maafkan, mama sudah tidak bisa kembali ke kampung. Apabila kembali, mungkin mama sudah tak bernyawa.
Lilis bilang ke bapak, kalau mama di sini juga amat rindu. Namun rasa malu ini tidak mungkin membawa mama kembali ke bapakmu.
Cepat besar, nak! Bulan depan, insha Allah kamu akan punya adik baru. Mama beri nama Abi.
Tersayang, mama.
Sekali lagi, dunia Adam dihancurkan. Tidaklah ada malam yang tak sunyi, tidaklah ada hati yang tak merasa sepi, di saat cintanya pergi dan takkan pernah kembali lagi. Kekecewaan yang dirasakannya benar-benar mengalahkan rasa amarah akibat penghianatan sang istri. Berawal dari hubungan yang penuh pertentangan dari orang tuanya, Ia tetap memilih untuk menikahi Kinanti dan meninggalkan kehidupannya bersama kedua orang tua.
Adam meraih sang anak lalu membawanya ke dalam pelukan, merasakan bahwa jiwa perempuan yang dicintainya ada di dalam raga sang buah hati. Benteng pertahanannya runtuh di depan gadis kecil yang tak tahu apapun mengenai dunia Adam. Air matanya tumpah ruah, cintanya kandas. Satu lagi, hubungan jarak jauh telah memakan korban, yaitu dirinya sendiri.
Pukul dua dini hari, air matanya sudah surut, melihat sang anak yang terlelap di hadapannya, membuat pria itu menerawang jauh. “Kinan, terima kasih atas kedua kelopak mata yang kau wariskan kepada si kecil. Aku akan selalu memandangmu melalui matanya. Cepat pulang, dik. Mas akan selalu merindukanmu.”
Penulis
Asmiyeni Islamiati
Jurusan Geofisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam