“No one is free until we are all free.” -Where Olive Trees Weep.
Where Olive Trees Weep adalah sebuah dokumenter yang mendalam tentang perjuangan di Palestina. Film ini tidak hanya berfokus pada konflik fisik, tetapi juga pada perjuangan kemanusiaan. Disutradarai oleh Zaya dan Maurizio Benazzo, film ini membawa penonton pada sebuah perjalanan emosional ke dalam penderitaan rakyat Palestina di bawah penjajahan Israel.
Olive Trees atau pohon zaitun bukan hanya sekadar tanaman, tetapi juga menjadi simbol perlawanan dan ketahanan. Pohon zaitun yang kokoh berdiri di tengah gurun pasir menjadi metafora bagi semangat juang rakyat Palestina. Pohon-pohon ini telah menyaksikan sejarah panjang penderitaan dan perjuangan, namun tetap tegar berdiri seolah menjadi saksi bisu.
Diawali dengan cerita Ashira Darwish, seorang jurnalis Palestina yang mengalami kekejaman brutal oleh tentara Israel saat masih berusia 16 tahun. Ia berbagi kisah traumatisnya yang mengerikan saat harus dipenjara. Bekas luka fisik menjadi ingatan pahit baginya, sementara trauma psikologis Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang ia dapatkan telah mengubah hidupnya secara drastis.
Selain Ashira, Where Olive Trees Weep juga menyoroti sosok Bassem Tamimi yang merupakan ayah dari aktivis muda Palestina, Ahed Tamimi. Ada pula pemimpin salah satu kelompok akar rumput yang berfokus pada perjuangan tanpa kekerasan, yaitu Komite Koordinasi Perjuangan Rakyat Nabi Saleh di Tepi Barat. Meskipun mereka telah berupaya untuk berfokus pada perjuangan tanpa kekerasan, mereka justru menghadapi balasan yang brutal bahkan penangkapan yang kejam.
Salah satu isu yang turut diangkat dalam film ini adalah krisis air yang dialami oleh warga Palestina di Lembah Yordan. Film ini secara gamblang menampilkan bagaimana kebijakan Israel yang diskriminatif telah menyebabkan kelangkaan air bersih bagi masyarakat Palestina. Lembah Yordan, yang dikenal sebagai “keranjang roti” Palestina karena kesuburan tanahnya, seharusnya menjadi sumber daya yang melimpah.
Namun, sejak pendudukan Israel pada 1967, kontrol ketat Israel terhadap sumber daya air telah membatasi akses warga Palestina. Perintah Militer 158 yang dikeluarkan pada November 1967 melarang pembangunan instalasi air baru tanpa izin Israel. Akibatnya, warga Palestina tidak dapat membangun sumur baru atau mengakses air dari Sungai Yordan. Ironisnya, di sisi lain, pemukiman Yahudi yang dibangun di tanah Palestina justru menikmati pasokan air yang melimpah.
Where Olive Trees Weep tidak hanya menyoroti penderitaan, tetapi juga menyuarakan harapan. Film ini menunjukkan bahwa meskipun menghadapi tantangan yang begitu besar, semangat perlawanan rakyat Palestina tetap berkobar. Melalui aksi-aksi non kekerasan, mereka terus berjuang untuk mendapatkan keadilan dan kebebasan.
“Sangat penting bagi masyarakat untuk memahami penjajahan agar dapat memahami apa yang terjadi di dunia dan di sini, di Palestina,” ucap aktivis Israel anti zionis, Neta Golan, dalam salah satu scene.
Mengemas sebuah jeritan bisu dari bumi Palestina, Where Olive Trees Weep mengajak kita untuk tidak berpaling dan terus mendukung perjuangan mereka untuk mendapatkan keadilan dan kebebasan.
Film ini juga berhasil dikemas dengan sinematografinya yang memukau dengan menciptakan visual yang kuat dan emosional, menyandingkan keindahan alam Palestina dengan kekejaman yang terjadi di dalamnya. Penggunaan teknik close-up kamera pada wajah para tokoh, terutama saat mereka berbagi cerita tentang pengalaman traumatis, sangat efektif dalam menyampaikan emosi yang mendalam.
Ekspresi wajah yang penuh kesedihan, kemarahan, dan harapan berhasil menyentuh hati penonton. Wajah Ashira Darwish saat menceritakan pengalaman penyiksaannya adalah salah satu adegan yang paling membekas dalam ingatan. Perpaduan apik setiap adegan dalam film ini berhasil mengubah setiap frame menjadi sebuah puisi visual yang menyayat hati.
Selama menonton film dokumenter ini, terlihat penderitaan yang tak berujung, namun juga semangat juang yang tak pernah padam. Film ini juga menjadi sebuah pengingat bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dengan damai dan sejahtera.
Athaya Najibah Alatas