“Ketika kami ke lapangan, kami tidak hanya datang untuk mengajar, tetapi kami ingin bertumbuh bersama mereka.”
Saat ini, kesadaran pemuda akan pentingnya pelestarian alam dan budaya lokal semakin krusial dalam menjaga keseimbangan ekosistem serta kemajuan peradaban yang adil bagi seluruh generasi.
Komitmen pelestarian ini sangat relevan untuk dilakukan terutama pada tempat-tempat yang kaya akan warisan budaya serta memiliki keindahan alam yang ciamik. Salah satunya di wilayah karst, Sulawesi Selatan.
Namun, kawasan karst saat ini menghadapi tekanan yang semakin meningkat akibat perkembangan urbanisasi dan industri. Menurut Badan Pusat Statistik, (2021) produksi batu kapur mencapai 6.748.418 ton dan marmer sebesar 367.563 ton.
Angka yang terus meningkat ini, mencerminkan ancaman serius bagi ekosistem karst. Tidak hanya merusak formasi alam, aktivitas pertambangan juga mengganggu aliran air bawah tanah yang vital bagi ekosistem dan pasokan air bersih masyarakat setempat.
Oleh karena itu, Yayasan Bumi Toala Indonesia (YBTI) hadir dan berkomitmen melestarikan alam dan budaya lokal, mengingat eratnya keterkaitan antara warisan budaya dan keanekaragaman hayati.
Pelestarian ekologi dan budaya tidak hanya penting untuk menjaga keanekaragaman hayati, tetapi juga dapat mempertahankan warisan budaya lokal yang menjadi akar identitas serta merawat keberlanjutan masyarakat.
Maka dari itu, diperlukan kesadaran dan tindakan nyata dari berbagai pihak, terutama generasi muda, untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian alam serta budaya lokal.
Manajer Program YBTI, Muhammad Rizaldi, menjelaskan, yayasan ini didirikan oleh sekelompok akademisi dan peneliti, terutama dari latar belakang arkeologi. Namun, jejaring yayasan ini mencakup berbagai komunitas akar rumput, termasuk komunitas petani dan peternak yang berperan penting dalam mendukung visi dan misi yayasan.
YBTI terbentuk di Makassar dan memiliki basis terkuat di Maros, kawasan dengan lanskap peradaban masa lampau yang kaya dan menjadi fokus kegiatan komunitas.
“Meskipun YBTI secara resmi didirikan pada 28 Juni, teman-teman kami telah aktif bekerja di lapangan sejak 2010,” jelas Rizaldi saat diwawancarai, Kamis (26/09).
Selain di Makassar dan Maros, yayasan ini juga memiliki jaringan di daerah Malili dan Luwu Timur, akan tetapi belum diaktivasi kegiatan-kegiatan yang ada disana
“Tim kami belum sempat ke lokasi tersebut untuk memantau perkembangan yang terjadi. Oleh karena itu, saat ini, basis terbesar YBTI tetap berada di Maros,” ungkap Manajer Program YBTI itu.
Saat ini, program kerja YBTI yang sedang berlangsung ada lima. Salah satu yang baru saja selesai adalah Karst Heritage Festival. Selain itu, YBTI juga telah membentuk unit kerja bernama Toala Tripper Squad yang berfokus pada eksplorasi dan edukasi.
Melalui proyek seperti Sekolah Kampung, YBTI menciptakan ekosistem di mana masyarakat lokal dapat belajar dan berkontribusi dengan menggunakan pengetahuan yang sudah ada di komunitas, sehingga mendorong pertumbuhan berkelanjutan.
Selain itu, yayasan ini baru saja menyelesaikan proyek 3D virtual reality (VR) di Leang Karampuan dan Leang Jarie. Pada tahun 2023, YBTI juga bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Unhas, dan Griffith University dalam proyek Maros Pangkep untuk untuk mengekskavasi gua-gua yang ada di kawasan tersebut.
YBTI juga bekerja sama dengan berbagai komunitas di Maros, termasuk Bantimurung (KPE Bantimurung), Forum Pemuda Lopi-Lopi, Kreatif Kampung Ce’de, serta komunitas Sahabat Alam. Salah satu program yang diusung oleh YBTI adalah Emposi Patangeri (Empati), yang diadakan setiap Jumat.
Untuk mendukung programnya, YBTI mendirikan Maros Point, sebuah tempat berkumpul bagi berbagai organisasi dan komunitas, menciptakan ruang belajar yang produktif.
Rizaldi menjelaskan, Maros Point bisa disebut sebagai “rumah kreatif” atau tempat berkumpulnya ide-ide segar. Tempat ini tidak hanya sekadar lokasi untuk nongkrong, tetapi juga menjadi ruang di mana gagasan kreatif itu muncul dan lebih mudah untuk dieksekusi.
“Tempat seperti ini sangat penting untuk mendorong kolaborasi, berbagi ide, dan melahirkan inovasi yang berakar dari komunitas itu sendiri,” ujar Rizaldi.
Sebagai komunitas yang berfokus pada pelestarian alam dan budaya, YBTI menghadapi beberapa tantangan, terutama terkait keterbatasan sumber daya di basis utama mereka di Makassar dan rendahnya keterlibatan dari berbagai pihak.
Dalam upaya mengatasi hal ini, YBTI sering membuka kesempatan bagi mahasiswa untuk bergabung, terutama dalam kegiatan seperti festival. Meskipun ada beberapa mahasiswa yang terlibat, kebanyakan yang bergabung masih didominasi oleh para arkeolog.
Rizaldi menambahkan, generasi muda perlu mengambil peran aktif dalam menjaga kelestarian warisan budaya di daerah. Ia menekankan, kita tidak perlu menunggu segala fasilitas dan materi itu tersedia. Cukup dengan meluangkan waktu dan tenaga saja, kontribusi kita sudah dimulai.
Muh Fadhel Perdana