Sivitas akademika Unhas akan disibukkan dengan pemilihan rektor pada bulan April mendatang. Pemilihan ini dilakukan untuk menentukan nahkoda kampus selanjutnya. Lantas, pemimpin seperti apakah yang diharapkan sivitas akademika Unhas?
Salah satu kriteria pokok seorang pemimpin ialah amanah. Konsep amanah ini pula yang disyaratkan bagi nabi dan rasul. Nabi dan rasul diutus oleh pencipta untuk menyampaikan wahyu. Sehingga, mustahil jika ia berkhianat. Ia harus dapat dipercaya dalam menerima wahyu, kemudian disampaikan kepada umatnya.
Menurut bahasa, kata amanah berasal dari bahasa arab yang berarti jujur atau dapat dipercaya. Namun, jika diselisik lebih jauh, arti amanah bahkan lebih dari itu. Dua Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Ivan Muhammad Agung dan Desam Husni menganalisis konsep amanah. Dalam penelitiannya yang berjudul Pengukuran Konsep Amanah dalam Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, mereka mengambil sampel sekitar 600 orang.
Hasilnya, kebanyakan orang menganggap bahwa amanah berarti dapat dipercaya. Arti lain menurut sebagian koresponden yakni bertanggung jawab, menjaga kepercayaan, mampu melaksanakan tugas, jujur, menepati janji, dan menyampaikan pesan dengan benar. Selain itu, beberapa mahasiswa menganggap seseorang dapat dikatakan amanah jika ia mampu menjaga rahasia, titipan, simpanan, bersifat baik, sikap dan perilaku seperti rasul, serta menjaga perkataan.
Beda pula dengan konsep amanah menurut ilmu psikologi. Amanah erat kaitannya dengan kepercayaan dan keterpercayaan. Kepercayaan ialah keinginan untuk menerima resiko atas harapan positif yang dimilikinya. Sedangkan, pantas tidaknya seseorang dipercaya disebut keterpercayaan. Tiap orang sepertinya memiliki pandangan pribadi soal amanah.
Amanah memang menjadi sifat wajib yang ada pada pemimpin. Lalu, bagaimana jadinya bila pemimpin itu seorang pengkhianat? Bukankah, negara atau lembaganya akan hancur, bermunculan konflik dan tindak kriminal.
Sifat amanah juga berperan penting dalam relasi interpersonal individu. Sikap dan perilaku amanah mampu membentuk hubungan positif antar individu dan kelompok, sehingga masyarakat dapat bekerja sama dengan mudah. Bayangkan, jika pemimpin kita memiliki sifat demikian. Lingkungan akan menjadi tentram dan damai, tanpa adanya konflik.
Sebenarnya, cerminan kepemimpinan yang amanah dapat dilihat pada kisah para pendahulu. Salah satunya Umar bin Abdul Aziz. Ia adalah khalifah kaum Banu Umayyah. Umar dikenal sebagai pemimpin yang amanah, baik di pemerintahan maupun keluarga.
Alkisah, Umar didatangi putranya saat ia sedang bekerja di istana. Kedatangan putranya sekadar untuk mencurahkan hati pada sang ayahanda. Sebelum ananda berbicara, ia bertanya terlebih dahulu. “Urusan kerajaan ataukah urusan keluarga?” Ananda menjawab. “Urusan keluarga, ayahanda”
Umar lalu berjalan menghampiri putranya sambil mematikan lampu istana. Sang putra keheranan melihat tingkah ayahnya itu.
“Kau harus ingat, lampu yang sedang ayah gunakan untuk bekerja ini adalah milik kerajaan. Minyak yang digunakan itu dibeli dengan menggunakan uang kerajaan, sedang perkara yang hendak ananda perbincangkan dengan ayahanda adalah perkara keluarga,” kata Umar.
Ia lalu meminta kepada pembantu untuk membawa lampu dari ruangan sebelah.“Sekarang lampu yang baru kita nyalakan ini adalah kepunyaan keluarga kita, minyak pun kita beli dengan uang kita sendiri,” ujarnya. Setelah itu, barulah Umar meminta putranya untuk menyampaikan hal yang ingin dibicarakan sedari tadi.
Begitulah sepenggal kisah Umar bin Abdul Aziz. Untuk para pemimpin sekiranya bisa belajar dari situ. Kadangkali amanah harus dimulai dari hal-hal kecil. Kepemimpinan Umar patutlah dicontoh oleh punggawa zaman now, utamanya Rektor Unhas.
Sri Hadriana
Penulis merupakan Redaktur Pelaksana
Penerbitan Kampus identitas Unhas Tahun 2018